Ivory dengan sigap menuju kamar yang disediakan untuknya oleh Adrian, setelah ia mendengar apa yang disampaikan oleh Adrian dan wanita cantik itu.
Ivory tidak ingin bila akhirnya Yoga mengambilnya kembali dari rumah ini.
Itu akan menyulitkannya saja. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan rumah ini. Pernikahannya dengan Yoga seperti neraka, ia tidak ingin mengulanginya lagi.
Usai merapikan baju yang ia kenakan, Ivory mengendap-endap melangkah keluar, turun dari tangga, melewati meja makan dan ruang keluarga, beruntung keadaan sedang sunyi jadi dia bebas melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Sesampainya di ruang tamu ia melihat ada bibi, pembantu rumah tangga yang kemarin membantu membersihkan lukanya.
"Mau kemana, mbak ?" Tanya bibi saat melihat Ivory menuju ruang depan.
Ivory gugup karena terkejut. Ia seenaknya saja menjawab.
"Saya ingin duduk di taman, Bi."
"Oh, silahkan." Bibi memberi jalan untuk Ivory menuju taman. Ivory melenggang santai, ia duduk sejenak di kursi taman itu.
"Mang Ujang, tolong diperhatikan ya."
"Siapa, Bi ?"
"Mbak yang itu."
"Mbak yang mana ?"
"Yang duduk di taman itu." Ucap bibi sambil menunjuk pada Ivory.
Bibi bergegas menemui Adrian di kamarnya.
"Mas Adrian." Panggil bibi sambil langkahnya tergopoh-gopoh. Di rumah ini hanya bibi yang boleh memanggil Adrian dengan sebutan Mas Adrian. Karena sejak kecil bibi yang merawat Adrian. Sejak mama mereka meninggal dunia.
"Iya, ada apa, Bu ?" Tanya Adrian heran.
"Itu, mbak Ivory sepertinya ada yang tidak beres."
"Tidak beres kenap, Bi?"
"Sepertinya mbak Ivory mau lari mas."
"Lari, kenapa?"
"Bibi juga ga ngerti mas tapi sebaiknya mas susul saja ke depan."
Dalam kebingungannya Adrian mengikuti langkah bibi. Menuju taman, tapi Ivory tidak ada di sana. Adrian bingung. Ia mencari Ivory ke ujung rumahnya hingga ke garasi mobil juga nggak ada. Sampai pada paviliyun kecil tempat para pembantunya tinggal Ivory tak dapat ditemui. Adrian makin gelisah.
Ia duduk di kursi taman yang terbuat dari besi bermotif bunga. Pikirannya menerawang. Ivory kemana? Mengapa dia tidak bilang kalau ingin jalan-jalan? Mestinya dia ngomong dong kalau ingin pergi supaya ia bisa mengantarkan, sangat tidak aman berjalan sendirian dengan kakinya yang masih sakit.
Adrian terus memikirkan Ivory. Ia sudah coba keliling komplek tapi nihil. "Mungkin memang bukan jodoh ku." Bisik Adrian lirih.
"What's jodoh ?" Kenapa aku berpikir tentang jodoh ? Sedangkan selama 33 tahun aku hidup aku belum pernah tertarik untuk serius dengan satu wanita pun di dunia ini. Kenapa sekarang bicara jodoh ?
Adrian menghela napas nya yang mendadak menjadi berat. Ia melangkah menuju rumahnya hendak beristirahat. Belum sampai ia masuk dalam rumahnya ia mendengar suara riuh. Kaki panjang dan badan tegapnya mendekati ruang satpam bermaksud hendak melihat keriuhan yang terjadi.
Betapa terkejutnya ia, "Ivory ?"
Ivory memandang mata coklat Adrian dengan pandangan sayu berharap kesalahan nya diampuni. Ia tadi memang bermaksud pergi dari rumah ini namun sayang Mang Ujang terlebih dahulu melihat dan mengikuti langkah ivory lalu menariknya kembali menuju rumah Adrian.
Adrian merasa iba melihat tangan Ivory di pegang dengan erat oleh Mang Ujang.
"Sudah, Mang. Tolong lepaskan." Perintah Adrian pada Mang Ujang, seketika itu juga Mang Ujang melepaskan cengkraman nya di pergelangan tangan Ivory.
Ivory nampak lega, ia berterima kasih pada Adrian.
"Terimakasih," suara Ivory gugup.
"Ayo masuk." Adrian meminta Ivory masuk, Adrian mengajak Ivory duduk di sofa santai berwarna hitam dengan sandaran hitam lebar, bertabur permata.
"Duduklah."
Ivory duduk.
"Kenapa kamu ingin melarikan diri dari rumah ini?" Tanya Adrian pada Ivory. Ivory masih diam, kepalanya menunduk dalam.
"Ijinkan aku pergi, aku mohon."
Adrian takjub, sepertinya Ivory benar-benar ingin pergi, Adrian ingin mencari alasannya.
"Boleh ku tahu alasannya apa?"
"Aku takut."
"Takut apa ?" Tanya Adrian lagi. Ivory tetap diam.
"Hallo, kamu takut apa?" Adrian bertanya lagi. Kali ini ia makin mendekat.
"Aku mendengar kalian berbincang pagi tadi." Dengan terbata Ivory menjelaskan.
"Oh,"
"Aku tidak mau wanita itu membawaku pada nomer yang tertera di selebaran yang di tempel di kampusnya." Ivory mendekap bantal kecil yang ada di kursi mirip kursi kerajaan itu.
"Jadi benar, wanita yang di maksudkan itu kamu? Kamu belum melihat selebarannya bukan?" Tanya Adrian pelan.
"Iya, itu pasti aku." Ivory mengepalkan jemarinya dan Adrian makin bingung.
"Itu pasti aku."
"Kesalahan mu apa ?" Tanya Adrian.
Nampak Ivory kian takut, hingga Adrian menggenggam jemari Ivory berharap genggaman itu membuat Ivory tenang.
"Tolong, jelaskan perlahan-lahan, aku janji akan membantu mu, percayalah." Mata mereka saling menatap, ada getar yang mengalir di tubuh Adrian saat ia bersirobok pandang dengan mata bening milik Ivory.
Ivory mengumpulkan kekuatan untuk bicara, namun sayang belum sempat ia bicara seseorang telah datang membuyarkan perbincangan Ivory dan Adrian.
"Kak, ini selebaran nya." Ucap gadis itu pada Adrian, ia tidak tahu ada Ivory disamping Adrian kakaknya.