“Mas,” Panggil Vania saat ia masuk ke dalam kamar.
“Soal Zahra kamu gausah khawatir nanti dia baik sendiri.” Vania duduk di kursi depan meja rias.
“Mas Adrian juga jangan terlalu keras sama Zahra. Aku ngerti kalau Zahra emang belum bisa terima aku, lagian Zahra tadi emang nggak sengaja.” Adrian menghela nafasnya.
“Saya tahu kalau Zahra nggak sengaja tetap saja saya tidak pernah mengajarkan dia jadi anak yang nggak sopan seperti itu.” Vania hanya bisa diam enggan untuk menjawab lagi, takut jatuhnya jadi bertengkar.
“Mas udah makan? Aku tadi udah masak, aku bisa panasin lagi kalau Mas mau.”
“Nggak usah, saya udah makan.” Vania hanya tersenyum simpul, lagi dirinya ditolak. Memang hanya Aska yang bisa menerimanya.
“Lemari kamu besok jadinya datang, maaf kalau terlambat.”
“Iya Mas gapapa.” Lagi Vania hanya bisa tersenyum masam. Ia tidak memperdulikan soal lemari, ia hanya ingin dihargai selayaknya jadi istri Adrian.
“Oh iya Mas tadi aku ketemu sama Ibu-ibu kompleks katanya ini emang perumahan khusus dari perusahaan Mas Adrian ya?”
“Iya, tapi rumah ini bukan dari perusahaan. Ini aku bangun sendiri, terus aku ajuin perusahaan buat bangun rumah di daerah ini.” Vania menganggukkan kepalanya mengerti.
“Terus katanya emang ada acara rutin Ibu-ibu gitu ya Mas di akhir bulan?”
“Iya ikutin aja itu wajib. Belajar aja dulu, nanti kamu ngerti sendiri. Jabatan kamu juga nanti jadinya naik, kamu bakalan pimpin mereka.”
“Kenapa gitu Mas? Kan aku masih baru, biarlah Ibu-ibu yang lain aja aku ikut aja.”
“Gabisa emang udah kayak gitu ketentuannya. Karena kamu istri saya, lagian kamu nggak sendiri nanti kamu juga bakalan di bantu sama Ibu-ibu lainnya.”
“Kalau emang kayak gitu aku bisa apa. Tapi aku boleh nggak Mas dipanggil Vania aja nggak usah Ibu sama Ibu-ibu lainnya? Aku tadi udah minta gitu tapi di tolak karena katanya takut Mas Adrian marah.” Vania menundukkan kepalanya karena Adrian sudah menghela nafasnya dan menatap Vania tajam.
“Gausah yang aneh-aneh, kamu ikutin aja prosedurnya. Itu karena kamu istri saya, jadi kamu ikutin aja gimana peraturannya. Emang ketentuannya begitu, saya tahu kamu risih karena umur kamu masih mudah tapi kamu harus terima konsekuensinya. Jangan mempermalukan saya, kamu mengerti?” Vania menganggukkan kepalanya dengan pelan-pelan. Adrian bangkit berdiri dan Vania mengangkat kepalanya melihat Adrian yang berjalan keluar.
“Mas mau kemana?” Tanya Vania.
“Saya mau tidur.”
“Mas mau tidur dimana?”
“Di ruang kerja saya.”
“Kenapa nggak disini?”
“Karena kamu tidur disini, lebih baik saya tidur di sana.” Vania bungkam tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Adrian langsung menutup pintunya dan pergi meninggalkan Vania yang kecewa.
Itu berarti Adrian menolak Vania bukan? Karena Adrian tidak mau tidur bersama dengan Vania, entah mengapa hal itu menyakiti Vania. Ia tahu kalau hubungan mereka bukan seperti layaknya pasangan orang yang menikah pada umumnya. Tapi bukankah Adrian yang lebih dulu mengatakan kalau pernikahan ini bukan main-main? Tapi kenapa Adrian yang seolah tak bisa menerima pernikahan ini.
Vania juga sama belum bisa menerima pernikahan ini, tapi setidaknya ia mau belajar dan mau bertanggungjawab. Sebenernya berat di usianya yang masih muda langsung diperhadapkan menjadi istri sekaligus menjadi Ibu. Tapi Vania tahu kalau mau belajar pasti bisa, nah saat ini ia sedang belajar tapi kalau akhirnya Adrian menolaknya apa dia bisa menjalaninya?
Entahlah Vania saja tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia bangkit berdiri lalu turun ke bawah menuju dapur. Ia ingin menyimpan makanan yang sudah disiapkannya untuk suaminya itu. Sayang suaminya bahkan tak mencicipi sama sekali, ia masukkan semuanya ke dalam kulkas. Dari pada mubazir seperti ini hanya Aska yang makan ia berpikir mulai besok hanya memasak untuk Aska saja.
Untuk makanan Adrian dan Zahra ia mau serahkan pada Mbok Ina saja. Karena bagaimanapun ia berusaha tetap saja suami dan anak perempuannya tidak akan menyukainya. Handphone Vania berbunyi, ia mengambil dari saku celananya dan ia melihat panggilan tersbeut dari Ibunya. Vania memilih duduk di kursi makan.
“Hallo Ibu,” Sapa Vania.
“Hallo nduk, gimana kabar kamu? Sehat? Anak-anak sama suami kamu sehat?” Vania tersenyum simpul, ia merindukan Ibunya yang selalu perhatian padanya.
“Vania sehat Bu, Mas Adrian juga sehat sama anak-anak. Ibu gimana kabarnya sehat? Masih sering sakit?”
“Ibu sehat, udah nggak begitu sakit kok.”
“Syukurlah kalau gitu, donor ginjal Ibukan udah ada. Nanti Vania sama Bapak langsung urus jadwal operasinya ya Bu supaya Ibu bisa langsung di operasi.”
“Uang dari mana nduk? Dari suami kamu lagi?”
“Iya Bu, Mas Adrian udah kasih uangnya. Ibu nggak usah khawatir gitu, Mas Adrian ngasihnya ikhlas Bu. Kan Mas Adrian sekarang udah jadi suaminya Vania, Ibu juga Ibu Mas Adrian jadi jangan sungkan ya Bu.” Vania sedang bohong. Pasalnya ia sendirilah yang sedang merasa tidak enak mendapatkan uang dari suaminya sendiri.
Karena ia jelas tahu kalau hubungannya dengan Adrian tidak sebaik yang dipikirkan Ibunya. Adrian mau memberinya uang hanya karena kewajiban ia mau mengurus anak-anaknya saja tidak lebih. Tapi mana mungkin ia menyampaikan hal itu pada Ibunya bukan?
“Ibu jadi nggak enak nduk.”
“Gapapa Bu.” Vania bisa merasakan helaan nafas Ibunya.
“Oh iya suami kamu mana, Ibu telvonnya terlalu malam ya ganggu pasti.”
“Mas Adrian udah tidur Bu, kecapekan tadi pulang kerja terlalu lama.”
“Kamu kenapa nggak tidur, Ibu ganggu kalian ya?”
“Enggak Bu, Vania kebangun aja tadi haus jadi lagi ke bawah ambil minum.” Vania menggigit bibirnya karena sudah berbohong. Mana mungkin ia bilang sedang menyimpan makanan karena suaminya tak mau makan.
“Begitu toh. Gimana suami kamu sama anak-anak kamu baikkan? Bisa terima kamukan nduk?” Vania tersenyum masam, ia bahkan sampai harus menggaruk kepalanya yang tak gatal dan tak lupa menggigit bibirnya.
“Baik Bu, Mas Adrian sama anak-anak baik mereka bisa nerima Vnaia kok. Vania senang banget anak-anak pada lucu, Mas Adrian juga bertanggungjawab dan banyak ngajarin Vania.” Apa lagi yang bisa dijawab Vania selain itu? Mana mungkin dia bilang kalau suami dan anaknya tak menganggap kehadirannya sama sekali. Bisa tambah rasa bersalah Ayah dan Ibunya.
“Syukurlah kalau emang gitu, Ibu senang dengernya. Mudah-mudahan kamu bahagia terus ya nduk.”
“Iya Bu makasih doain Vania ya Bu. Oh iya besok Vania kirimin uang ke Bapak untuk biaya sekolah adik-adik ya Bu. Gaji Bapakkan hanya bisa untuk biaya hidup.”
“Tapi kamu sekarang udah nggak kerja dari mana uangnya?”
“Vania ada uangnya Bu. Mas Adrian kasih Vania jatah bulanan.”
“Itukan untuk keperluan kamu nduk, jangan kayak gitu. Kalau kamu butuh sesuatu gimana.”
“Gapapa Bu, saat ini Vania lagi nggak butuh apa-apa. Jadi bulanan Vania bisa bantu Bapak sama Ibu, diterima ya Bu. Kalau Vania lagi butuh uangnya juga bakalan bilang kok.” Lagi Vania bisa mendengar helaan nafas Ibunya.
“Yasudah kalau emang seperti itu. Makasih banyak ya nduk.”
“Sama-sama Bu. Salam sama Bapak sama adik-adik ya Bu. Bapak bilangin di jaga kesehatannya.”
“Iya nduk kamu juga, jadi istri yang berbakti sama suami dan jadi Ibu yang baik juga.”
“Iya Bu pasti. Udah dulu ya Bu, selamat malam. Ibu istirahat ya.”
“Iya nduk.” Vania segera mematikan telvonnya.
“Vania kangen sama Ibu. Maafin Vania udah bohong sama Ibu.” Kata Vania pada dirinya sendiri.
Semua itu di dengar oleh Adrian yang sembunyi dibalik dinding. Ia baru saja mengambil tas kerjanya di mobil dan mendengar suara Vania dari dapur sehingga ia menguping pembicaraan istri barunya itu. Jelas ia tahu kalau Vania sedang berbohong tentang dirinya dan anak-anaknya.
Ada perasaan terharu karena Vania berusaha menyembunyikan kebenerannya. Ia tahu kalau Vania tidak akan mungkin menjelek-jelekkannya di depan keluarganya. Walaupun sebenernya bisa aja tapi istrinya itu malah memilih diam.
Tapi jujur Adrian tidak bisa berpura-pura menerima Vania karena memang ia belum bisa menerima wanita yang sudah dinikahinya itu. Ketika melihat Vania ia semakin mengingat Riant yada rasa bersalah menghinggapinya seolah ia sedang mengkhianati istrinya itu.
Adrian tahu kalau Vania sebenernya wanita yang baik. Dari awal ia jelas tahu karena alasan wanita itu menerima menikah dengannya hanya demi menyelamatkan keluarganya. Jarang wanita seperti itu, padahal Vania masih muda dan cantik masih bisa mencari pria lain yang menjadi suaminya.
Tidak seperti dirinya yang sudah berumur dan mempunyai dua anak. Tapi Vania dengan ikhlas menerimanya, bahkan ia bisa menyayangi kedua anaknya. Buktinya ketika Zahra menyakitinya wanita itu tidak balik menyakiti anaknya. Tapi Adrian masih sulit menerima Vania di dalam hidupnya. Ia tahu kalau istrinya itu sedang berusaha menjadi istri yang bertanggungjawab untuknya.
Bukan hanya pada dirinya tapi kepada anak-anaknya juga. Bahkan setelah menikah istrinya itu juga tidak melupakan keluarganya. Uang bulanan yang diberinya saja mau diberikan untuk adik-adiknya. Wanita yang luar biasa, ia memberikan uang itu bukan karena rasa kasihan tapi karena rasa tanggungjawab. Bagaimanapun Vania sudah menjadi istrinya dan itu berarti menjadi tanggungjawabnya. Walaupun sampai saat ini hanya itu yang bisa diberikannya pada istrinya. Belum tanggungjawab sepenuhnya layaknya suami.
Vania naik ke atas setelah merasa beres, setelah masuk ke dalam kamar barulah Adrian ikut naik ke atas. Tapi tetap bukan ke kamarnya melainkan ke ruangan kerjanya. Sedangkan Vania, mengganti bajunya dengan piyama tidurnya. Berdoa dan berharap hari besok akan menjadi lebih baik lagi.