LM - BAB 4

2601 Words
Sebagai istri yang baik adalah mengikuti perkataan suami bukan? Selagi masih di tahap yang benar pastinya. Disaat suami mengatakan hal yang nggak seharusnya, apakah seorang istri tetap mengikuti apa kata suami? Sudah pasti tidak bukan? Vania mengikuti perkataan suaminya Adrian yang memintanya untuk memantau kedua anak dari suaminya itu. Vania menunggu Aska pulang sekolah begitu juga dengan Zahra, walaupun sebenernya menunggu itu adalah hal yang paling membosankan, tapi Vania harus mengikuti apa kata suaminya itu. Setelah pulang sekolah kedua anaknya itu tidak ingin langsung pulang, tapi ingin jalan-jalan dulu ke mall. Sesuai pesan Adrian apapun yang diminta anaknya tururti saja, hanya Vania bukanlah seorang pengasuh tapi juga seorang Ibu bukan? Ia akan menyaring permintaan apa yang diminta oleh anaknya itu. Bukankah anak Adrian juga anaknya? Bukankah Vania mempunyai hak untuk mengatur anak-anaknya juga? Contoh anak-anaknya minta yang aneh dan berlebihan wajar dong Vania menolak. Tapi sejauh ini kedua anaknya itu masih meminta dengan tahap wajar. Contoh beli mainan, beli es krim semua di beliin Vania menggunakan kartu yang diberikan Adrian tadi pagi. Setelah anak-anaknya puas, mereka pulang ke rumah dan makan di rumah. Mbok Ina sudah masak makan siang untuk mereka. Kedua anaknya itu makan dengan lahap, setelah makan mereka tidur siang. Sudah pasti Vania menemani anak laki-lakinya Aska. Setelah Aska tidur, Vania memilih menyusun belanjaan kedua anaknya itu. Vania membawa mainan yang baru saja di beli itu ke ruangan mainan khusus buat mereka. Vania tahu ada ruangan khusus mainan anak-anaknya, hanya saja ia belum pernah masuk. Maka saat masuk Vania sungguh sangat kaget dengan isinya. Mainannya sungguh sangat banyak, udah kayak orang jualan mainan aja. Wahana bermain aja ada salah satunya jungkat-jungkit. Mata Vania langsung terarah pada mainan yang ada di sudut, ia langsung mengeluarkan isi dari kantungan yang dibawanya. Lalu melihat bahwa barangnya sama, Vania menggelengkan kepalanya. Ini namanya pemborosan pikirnya. Vania langsung meneliti satu persatu mainan yang ada disana. Lain kali kalau Aska dan Zahra minta dibelikan mainan ia tahu menolaknya kalau barangnya ternyata ada yang sama. Buat apa beli mainan ujung-ujungnya sama? Ia tahu kalau Bapaknya anak-anak uangnya banyak, tapi nggak gitu juga. Masih banyak orang yang membutuhkan diluar sana mending dikasih ke orang yang lebih membutuhkan bukan? Hampir dua jam Vania berada di ruang mainan anak-anaknya, sambil menyusun rapi mainan tersebut sambil berusaha mengahapal dan mengenali satu persatu mainannya. Aska datang menemui Vania yang baru saja bangun tidur. Aska merengek dan langsung memeluk Vania, membuat Vania harus memeluk Aska yang sebenernya masih ngantuk itu. “Kenapa bangun kalau masih ngantuk?” Tanya Vania. “Bunda nggak ada di kamar. Aska kira Bunda pergi ninggalin Aska.” Vania tersenyum dan mengusap rambut Aska sayang. “Udah sore, kita mandi yuk. Selesai mandi kita ngerjain PR baru deh boleh main-main okey?” Bujuk Vania, Aska menganggukkan kepalanya. Vania mengangkat anak laki-laki berumur lima tahun itu dan membawa Aska naik ke atas. Tapi sebelum masuk ke kamar ia sudah melihat Zahra keluar dari kamarnya sudah mandi. “Kamu mau kemana Zahra?” Tanya Vania lembut. “Apa sih tanya-tanya, mau tahu banget mau kemana. Bukan urusan Tante!” Jawab Zahra dengan ketus. “Bunda harus tahu karena kamu anak Bunda, nanti kalau Papa kamu tanya Bunda mau bilang apa?” Vania tetap memilih dengan sebutan Bunda dibandingkan Tante. Ia tidak peduli kalau Zahra masih memanggilnya dengan sebutan Tante. “Bilang aja pergi main!” Masih dengan nada ketus. “PR kamu udah siap?” Tanya Vania masih dengan biasa aja, ia tidak mau membalas Zahra dengan ketus ataupun marah. “Kak Zahra mana pernah kerjain PR sore-sore Bunda, selalu malam makanya Papa selalu marah.” Adu Aska pada Vania membuat Zahra menghentakkan kakinya dan menatap adiknya dengan kesal. “Pesan Papa kamu nggak boleh main kalau PR belum selesai. Jadi kamu nggak boleh keluar kalau PR kamu belum selesai.” “Apasih ngatur banget! Ga usah sok baik deh! Tante hanya orang asing di rumah ini!” Vania menghela naafsnya. “Mungkin bagi kamu orang asing, tapi Bunda bukan orang asing. Bunda sekarang istri Papa kamu itu berarti Bunda kamu, jadi Bunda berhak buat atur kamu karena kamu anak Bunda.” “Gausah song ngatur aku! Sampai kapanpun Tante itu bukan Mama aku! Mama aku itu Mama Rianty!” Zahra berusaha untuk pergi namun Vania menahan Zahra dengan tangan kanannya, tapi Zahra mala menepis membuat Vania oleng dan tangannya kena besi di tangga sehingga tangannya berdarah kena besi tersebut. “Argggghhh” Teriak Vania kesakitan. “Bunda!” Pekik Aska melihat tangan Vania berdarah. Zahra kaget kalau akibat dari perbuatannya membuat orang terluka tapi ia terlalu gengsi untuk meminta maaf. Zahra langsung memilih masuk kembali ke dalam kamarnya. “Tangan Bunda berdarah hikssss.” Tangis Aska pecah. “Heyy udah tangan Bunda gapapa, nanti di obatin sembuh kamu jangan nangis.” “Pasti sakit Bunda.” Kata Aska lagi. “Aska mandi sendiri boleh? Bunda mau obatin tangan Bunda dulu ya?” Aska menganggukkan kepalanya, Vania menurunkan Aska dari gendongannya dan anak laki-lakinya itu masuk ke dalam kamarnya. Vania juga masuk ke dalam kamarnya mengambil kotak P3K lalu mengobati lukanya sendiri. Sedikit sakit bagaimanapun luka itu pasti sakit. Setelah berhasil di obati, Vania mengajak Aska mengerjakan PR. Setelah selesai baru mengajak Aska main ke taman kompleks yang sudah banyak anak-anak lainnya. Zahra memilih di rumah saja, ia sudah tidak berniat keluar. Makanya Vania hanya jalan berdua saja dengan Aska. Melihat teman-temannya Aska langsung lari menghampiri teman-temannya. “Aska hati-hati jangan lari nanti jatuh!” Kata Vania memperingati. Aska memperlambat larinya dengan berjalan cepat. Vania ikut bergabung dengan Ibu-ibu lainnya yang juga sedang menunggu anak-anaknya bermain. “Ibu Vania istrinya Pak Ardian ya?” Sapa salah satu Ibu-ibu yang ada disana. “Iya Bu, perkenalkan saya Vania.” Vania menyapa dan memberi salam pada Ibu-ibu yang ada disana. “Wahh masih muda ternyata dan cantik ya.” Vania tersenyum. “Makasih banyak Bu.” “Syukur deh Pak Adrian sekarang udah punya pendamping ya. Kalau ada acara dari perusahaan maupun komplek Pak Adrian selalu datang sendiri semenjak Bu Rianty meninggal.” “Iya sekarang Pak Adrian udah nggak sendiri udah bisa bawa istrinya.” “Di akhir bulan biasanya ada kumpul Ibu-ibu, Ibu Vania datang ya.” “Datang kemana Bu? Ada acara apa?” Tanya Vania yang masih bingung. “Loh Pak Adrian belum ada bilang sama Ibu ya?” Vania refleks menggelengkan kepalanya. “Maklum aja Bu pengantin baru jadi masih bahas yang lain.” Para Ibu-ibu tersebut tertawa penuh makna sedangkan Vania mala bingung sendiri. “Bulan ini pertemuan Ibu-ibu di rumah saya Bu, itu pojok kanan rumah Ibu pagar warna hijau. Ibu datang ya ke rumah saya jam empat sore.” “Semua wajib ikut ya Bu?” “Ya iya tanya aja Pak Adrian Bu, inikan perumahan khusus dari perusahaan. Kalau punya Ibukan khusus karena rumah direktur itu emang di bangun duluan sama Pak Adrian. Jadi pertemuan ini emang khusus dari perusahaan Bu, nanti malahan kita ada beberapa event Bu. Nanti kita kasih tahu deh gimananya.” Vania mengangguk-anggukkan kepalanya saja jujur sebenernya ia masih bingung. “Pokoknya Bu Vania tenang aja, nanti juga ada acara resmi Ibu di sambut sama perusahaan sekalian mimpin kaum Ibu-ibu. Kan Bu Vania istrinya Pak Adrian.” “Hah? Emang gitu ya?” “Iya Bu, inikan perusahaan emang resmi begitu. Seharusnya lebih cepat penyambutannya, hanya saja Pak Adriankan menikahnya tiba-tiba jadi belum dibuat.” Vania baru mengerti sekarang maksudnya bagaimana. Ia tahu kalau suaminya itu orang yang paling penting, tapi ia tidak menyangka kalau ternyata ada kumpulan para istri seperti ini. “Ibu orangnya baik dan ramah saya senang deh lihat Ibu.” “Ibu bisa aja. Tapi saya masih muda banget di panggil Ibu.” Kata Vania tak enak hati ia bahkan sampai menggaruk kepalanya yang tak gatal. Vania bisa pastikan kalau dirinya yang paling muda diantara para Ibu-ibu tersebut. “Emang seperti itu Bu, mana bisa kami panggil Ibu sembarangan. Ibukan istrinya Pak Adrian, sedangkan Pak Adrian itu boss dari suami kita. Pak Adrian itu hebat Bu di usia yang masih tergolong muda udah jadi direktur.” Vania tersenyum simpul. “Tapi tetap saja saya nggak enak Bu. Panggil Vania aja ya, gapapa kok saya nggak marah.” “Jangan Bu nggak enak di dengar orang apa lagi Pak Adrian, bisa marah nanti Pak Adrian.” Vania menggelengkan kepalanya cepat. “Enggak Bu, nanti saya yang bilang langsung sama Mas Adrian. Saya nggak masalah Bu saya yang nggak enak hati.” “Iya Bu jangan deh, kecuali Pak Adrian yang ngomong langsung sama kita.” “Dulu juga Bu Rianty kami panggil Ibu walaupun masih lebih muda.” Vania jadi keki sendiri. “Yaudah nanti saya coba ngomong sama Mas Adrian ya.” “Iya Bu.” “Oh iya Bu minta nomer w******p Ibu supaya kita masukkan ke dalam grup.” Vania tersenyum lalu mengeluarkan handphonenya dari sakunya. Ia dapat handphone yang digenggamnya ini juga dari Adrian sehari sebelum pernikahan mereka. Sekarang dia baru mengerti kenapa Adrian memberinya handphone tersebut. Flashback On “Ini handphone buat kamu, semoga bermanfaat.” “Tapi Mas aku udah punya handphone.” Adrian menghela nafasnya sambil melirik handphone yang digenggam Vania. “Saya tahu, tapi saya lebih bisa pantau kamu dari handphone itu. Kalau saya mau tanya anak-anak juga bisa telvon kamu melalui panggilan video. Handphone kamu itu nggak bisa panggilan videokan?” Vania bungkam karena perkataan Adrian benar adanya. “Lagian nanti kamu setelah jadi istri saya membutuhkan handphone itu.” Vania benar bingung maksud dari perkataan Adrian. “Makasih Mas.” Hanya itu yang bisa Vania sampaikan. Untung saja Vania tahu menggunakan handphone tersebut karena belajar dari handphone temannya. Flashback off “Bunda huh, Aska udah cape kayo pulang bentar lagi Papa juga pulang.” Kata Aska yang sudah penuh dengan keringat dan udah ngos-ngosan. “Kamu minum dulu.” Vania memberikan botol minum yang dibawanya. “Pelan-pelan Aska.” Kata Vania memperingati sambil mengelus punggung Aska. Ibu-ibu yang ada disana melihat Vania yang perhatian dengan Aska yang mereka tahu itu anak Adrian. “Bunda, Aska lapar mau dimasakin Bunda.” Vania mengusap kepala Aska dengan sayang. “Yaudah ayo kita pulang, pamit dulu sama Tante-tantenya yuk.” Aska langsung mencium punggung tangan Ibu-ibu tersebut dengan santun dan sopan. “Bu permisi dulu ya.” Pamit Vania. “Iya Bu selamat sore.” Vania menggenggam tangan Aska keduanya berjalan bergandengan. “Wahhh sopan ya Bu Vania.” “Padahal masih muda tapi tahu banget tata krama, anaknya Pak Adrian juga di ajarin sopan santun.” “Iya padahal dulu Bu Rianty nggak begitu banget walaupun tetap baik dan sopan.” “Beruntung banget Pak Adrian dapat Bu Vania.” Banyak pujian yang keluar dari Ibu-ibu tersebut soal Vania.   ***** “Mas udah pulang?” Kata Vania melihat Adrian masuk ke dalam kamar mereka. “Tangan kamu kenapa?” Tanya Adrian langsung, karena waktu Adrian pulang Vania lagi mengganti perban tangannya. Darahnya masih saja mengalir, makanya Vania berniat menggantinya. “Gapapa Mas, tergores sikit aja tadi. Mas mau mandi? Aku siapin air hangat ya?” Kata Vania hendak bangkit. “Gausah, kamu terusin aja. Saya bisa sendiri.” Vania tersenyum masam kembali duduk. Adrian mengambil bajunya di lemari kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama setelah itu Aska datang masuk ke dalam kamar dan duduk disamping Vania. “Papa lagi mandi ya Bun?” “Iya, oh iya Bunda mau tanya. Papa emang pulangnya suka lama-lama gitu ya sampe malam kayak gini?” Aska menganggukkan kepalanya. “Iya Bunda, tapi nggak seling kok. Kadang Papa pulang cepat kadang pulang lama.” “Ohh kayak gitu.” “Bunda ayo temenin Aska bobo sama bacain cerita.” “Iya bentar ya Bunda obatin dulu, kamu bisa bantu Bunda pegang ini.” Kata Vania meminta pertolongan, sebenernya ia sedikit kesulitan memasang perban. Karena ia harus menahan sekaligus menggunting, pertama Vania hanya menggunakan hansaplast. “Masih sakit ya Bunda?” “Lumayan.” “Kenapa sih sama Kakak Zahla jahat banget buat tangan Bunda berdarah.” “Gapapa Kak Zahra nggak sengaja.” “Tapi Kak Zahla ngga minta maaf padahalkan udah buat salah.” “Jadi tangan kamu luka karena ulah Zahra?” Kata Adrian tiba-tiba membuat Vania kaget. Adrian sudah selesai dan membuka pintunya diam-diam saat Vania menanyakan soal kepulangannya pada Aska. Ia ingin sedikit menguping tadinya, rupanya dia dibuat kaget. “Iya Pa tadi Bunda mau tahan Kakak tapi di dorong sama Kakak jadinya kena besi tangga.” Vania menggelengkan kepalanya. “Gapapa kok Mas, Zahra nggak sengaja.” Adrian langsung melempar handuknya ke tempat tidur dan memanggil nama anak perempuannya dengan keras. “Zahra!” Panggil Adrian. “Mas!” Panggil Vania, ia ikut menyusul Adrian begitu juga dengan Aska. “Zahra buka pintunya! Papa mau ngomong sama kamu!” Kata Adrian menggedor pintu kamar anaknya. “Apa sih Pa, pelan-pelankan bisa.” Kata Zahra dengan kesal ketika pintunya dibuka. “Kamu yang buat tangan Bunda luka?” Zahra langsung melihat Vania dan menatap tak suka. “Tante ngadu sama Papa?” “Zahra!” Tegur Adrian. “Papa nggak pernah ajarin kamu kayak gini. Bunda nggak ada ngadu sama Papa. Papa denger sendiri waktu Aska ngomong sama Bunda. Malah Bunda kamu nggak bilang apa-apa.” “Zahra nggak sengaja.” Kata Zahra akhirnya. “Katanya kamu juga nggak minta maafkan?” Kepala Zahra mendongak melihat Adrian. “Apa Papa pernah ajarin kamu kayak gitu? Kalau kita buat salah minta maaf.” “Zahra nggak mau minta maaf sama Tante itu. Tante itu udah nggak kasih aku keluar! Aku nggak suka diatur-atur.” “Bunda kayak gitu karena dengerin kata Papa! Bunda ngelakuin tugasnya sebagai istri Papa sekaligus Bunda kamu untuk ngatur kamu!” “Papa kenapa jadi marah-marah sekarang sama aku? Selama ini Papa nggak pernah marah, tapi kenapa Papa malah marah-marah sama aku gara-gara Tante itu!” Adrian mengusap wajahnya kasar. “Zahra kamu it—” “Lihatkan! Ini semua karena Tante! Coba aja Tante nggak datang ke rumah ini, Papa pasti nggak maarh-marah sama aku! Papa berubah karena Tante! Aku benci sama Tante! Aku juga benci sama Papa karena Papa berubah! Papa nggak sayang sama aku lagi!” Zahra menutup pintu kamarnya dengan kasar dan langsung menguncinya. Gadis kecil itu menangis sambil memeluk bantal. “Zahra, buka pintunya. Papa bukan maksud marah-marah sama kamu Zahra.” Bujuk Adrian. “Nggak seharusnya Mas Adrian marah kayak gitu tadi. Aku gapapa Mas, Zahra masih belajar buat nerima aku disini.” “Tapi tetap aja caranya salah, dia nggak boleh kayak gitu. Setidaknya dia hargain kamu orang yang lebih tua dari dia. Kamu bawa Aska ke kamarnya aja, Zahra biar jadi urusan saya.” Vania menganggukkan kepalanya mengerti. “Aska ayo Bunda temenin tidur ya.” “Iya Bunda.” Aska menggandeng tangan Bundanya menuju kamar. “Bunda maafin Kakak Zahla ya, Kakak udah malah-malah sama Bunda.” “Iya gapapa Sayang.” “Aska janji ga akan malah-malah sama Bunda. Aska sayang banget sama Bunda.” Anak laki-laki itu memeluk Zahra dengan erat. “Bunda juga sayang banget sama Aska.” Entah mengapa Vania bisa menyayangi dua anak Adrian itu dengan tulus. Walaupun sikap Zahra padanya tidak baik tetap saja ia menyayangi Zahra. Ia sudah menganggap Zahra dan juga Aska anaknya sendiri. Dari dulu Vania memang suka dengan anak-anak, makanya Vania mau jadi guru ya karena itu. “Padahalkan Bunda baik kenapa Kakak Zahla ga suka.” “Udah ayo kita tidur ya.” Vania mengusap punggung Aska dengan lembut sampai anak laki-laki itu tertidur. Seperti biasa Vania mencium kening Aska sebelum keluar. Ia menuju kamarnya ingin menanyakan apakah Adrian sudah makan apa belum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD