Danisa, janda tanpa anak yang baru 3 bulan pindah ke kota. Tinggal di apartemen sederhana dengan luas kamar yang hanya cukup untuk tinggal seorang diri saja.
Itu bukan apartemen miliknya, dia hanya menyewa. Dia bukan dari keluarga kaya, dan kepindahannya ke kota adalah untuk menjauh dari mantan suaminya. Perceraiannya adalah karena sang mantan suami yang bermain api di belakangnya.
Memendam kekecewaan yang amat dalam, membuatnya enggan untuk percaya pada laki-laki mana pun. Kedekatannya dengan Ethan tak lain hanya sebatas teman. Pemuda itu sudah banyak membantunya. Sikapnya baik dan perhatian, membuatnya secara tidak sadar menjalin hubungan dengan Ethan walau hanya sebatas teman.
Namun, batasan itu dilanggar Ethan.
Malam itu Ethan mencium Danisa tanpa izin. Membuat janda itu marah, terkejut dan tentu saja panik.
"Kamu gila?! Apa yang baru aja kamu lakuin?!" Kembali Danisa berteriak.
Ethan hanya diam. Membuat Danisa begitu amat penasaran. Sebenarnya ada apa dengan Ethan malam itu? Sikapnya sangatlah berbeda dari Ethan yang biasa ia temui.
Danisa yang sebelumnya mundur beberapa langkah demi menjaga jarak dari Ethan, kini dia maju dengan sangat berani. Dia mengayunkan tangan kanannya dan berakhir mendarat di pipi kiri pemuda di depannya itu.
Amat keras. Tamparan Danisa mewakili kemarahannya. Suara tamparan itu terdengar nyaring, jelas sekali kalau itu amat menyakitkan. Namun, Ethan tampak santai, dia tidak marah.
Danisa dan Ethan bertatapan cukup lama, sangat intens dan sangat mendebarkan.
"Pergi kamu dari sini!" teriak Danisa.
"Karena kamu udah nampar aku, aku anggep perbuatan kita impas. Aku nggak akan minta maaf ke kamu." Ethan bicara dengan suaranya yang terdengar lantang. Tak ada keraguan, juga tak menyiratkan penyesalan.
Danisa terkekeh. Dia dibuat takjub dengan sikap arogan Ethan malam itu. Dia mengakui Ethan tampan, tapi tak lebih dari itu.
Tangis Danisa pecah saat Ethan sudah meninggalkan kamarnya. Dia merasa sedih, takut dan campur aduk.
"Apa Ethan sedang main-main sama aku? Karena aku janda?"
Kepala Danisa dipenuhi dengan banyak pertanyaan.
Apa yang Ethan inginkan darinya?
Apa di mata Ethan, Danisa hanya w************n yang bisa dimainkan sesuka hatinya?
Apa Ethan menganggap Danisa gampang untuk didapatkan? Karena dia janda?
Danisa tidak berani menyimpulkan Ethan menyukainya. Karena tidak ada alasan baginya untuk disukai pemuda setampan Ethan.
Hari berganti, sementara Danisa masih terjaga. Dia tak tidur sama sekali, kantuk tak menghampirinya. Cahaya matahari pagi itu menyapanya dengan begitu hangat, tapi dia tidak tersenyum. Dia masih memikirkan Ethan dan apa yang sudah pemuda itu lakukan padanya.
Ada panggilan masuk ke ponsel Danisa. Nomor yang tidak dikenal, tapi wanita itu ingat nomor itu milik siapa. Ya, itu adalah nomor ponsel Ethan yang belum ia simpan sejak semalam.
Dilihatnya saja ponsel miliknya sampai panggilan berhenti. Lalu panggilan suara masuk lagi, begitu terus sampai 5 kali.
Danisa enggan berbicara, apalagi itu Ethan. Namun, panggilan suara masuk terus-menerus, membuatnya kesal.
"Apa? Kamu mau apalagi?" tanya Danisa dengan lantang sesaat setelah dia menerima panggilan telepon dari Ethan.
"Ayo ketemu. Nanti siang, aku mau ngomong sama kamu." Suara di seberang sana terdengar santai. Tak seperti suara Danisa yang dipenuhi api kebencian.
"Ngomong aja sekarang!" Danisa masih berteriak.
"Aku ada kerjaan. Nanti siang aku ke apartemen kamu."
Sudah, dimatikan begitu saja panggilan telepon itu oleh Ethan.
Danisa semakin kesal, merasa dirinya hanya dijadikan mainan oleh Ethan.
"Kamu pikir kamu bisa ngelakuin apa aja yang kamu mau?"
Melempar ponselnya ke kasur, Danisa yang sejak semalam duduk bersandar ranjang kini menyugar rambutnya. Kepalanya amat pusing, dia tidak tidur semalaman, juga banyak menangis.
Tak ada rasa kantuk, karena hati dan pikirannya dipenuhi rasa amarah juga penasaran.
"Kalau kamu bilang cuma khilaf, aku akan maafin kamu, Ethan. Tapi, kalau kamu bilang penasaran, aku nggak akan maafin kamu. Aku bukan mi instan yang bisa kamu coba saat kamu penasaran rasanya."
Danisa menunduk sambil memeluk lututnya. Dalam kondisi seperti itu, dia ketiduran hingga beberapa jam.
Saat jam makan siang, Ethan benar-benar datang ke apartemen Danisa. Dia mengetuk pintu beberapa kali sampai akhirnya Danisa membuka pintu.
Danisa muncul dengan penampilan yang tak karuan. Matanya tampak seperti mata panda, bibirnya pucat, rambutnya acak-acakan.
"Boleh aku masuk?" tanya Ethan lirih. Dia dengan penampilan yang amat rapi layaknya karyawan kantoran pada umumnya, membuat Danisa tak percaya diri. Belum lagi aroma wangi yang menusuk hidung Danisa, semakin membuat wanita itu ingin menghilang saja.
Dia menyesal karena tidak mandi, atau setidaknya merapikan diri.
"Kalau aku bilang nggak boleh, kamu yakin nggak akan maksa masuk?" tanya Danisa dengan ketus.
Ethan menghela napas panjang. Dia merasa menyesal atas sikapnya semalam. Melihat penampilan Danisa saat itu membuatnya merasa bersalah.
"Kalau kamu nggak mau aku masuk, kita keluar. Kita bisa cari tempat lain untuk mengobrol."
Danisa membeku. Bagaimana bisa dia keluar dengan penampilan seperti itu? Jelas tidak akan dia mau.
Wanita itu lalu membuka pintu kamarnya lebar-lebar. "Masuklah. Aku harap kamu nggak buat kepalaku makin pusing lagi. Jadi aku nggak nyesel udah ngizinin kamu masuk."
Ethan masuk. Dia duduk di sofa yang semalam ia duduki. Sementara Danisa mengambil kursi dari meja makan dan ia posisikan untuk menghadap Ethan.
"Buruan, kamu mau ngomong apa?" Danisa tak sabaran.
"Kamu nangis?" tanya Ethan yang membuat Danisa gugup.
"Sudah tahu penampilanku begini. Apa kamu pikir aku akan bahagia setelah perbuatan kamu semalem?" Danisa berkata dengan lantang dan bahkan di ujung kalimatnya dia setengah berteriak.
"Kenapa?" tanya Ethan lagi.
Danisa terkekeh. "Kenapa? Kamu tanya kenapa?"
"Apa ciumanku sebuah aib buat kamu? Apa alasan kamu menangis hanya karena aku nyium kamu?"
"Hanya karena? Kamu pikir kita yang nggak ada hubungan apa-apa, bisa ciuman kayak gitu? Kamu nggak waras, Ethan. Agak lain emang otak kamu itu!"
"Kalau soal hubungan, status, atau apa pun itu. Kita bisa ubah kan? Apa masalahnya? Aku nggak boleh nyium kamu karena aku bukan pacar kamu?" tanya Ethan dengan sorot mata tajam.
"Hubungan yang nggak ada menurut kamu, bisa kita adakan, kan?" kembali Ethan bicara.
"Apa maksud kamu?" tanya Danisa kebingungan. Dia seperti orang bodoh.
"Maksud aku sudah jelas. Kamu nggak perlu pura-pura bodoh. Kedatangan aku ke sini ya untuk menciptakan hubungan di antara kita." Ethan sangat percaya diri.
Sementara Danisa malah tidak percaya dengan ucapan Ethan. "Kamu memang nggak waras, Ethan."
"Apa suka ke kamu bisa disebut nggak waras? Kalau memang itu satu-satunya sebutan untuk orang yang suka kamu, aku rela disebut nggak waras, Danisa!"