Ethan menatap Danisa dengan penuh ketegangan, mencoba mencari jawaban di balik tatapan tenangnya. "Apa kamu yakin?" tanyanya sekali lagi, mencoba memastikan keputusan yang diambil wanita itu.
Danisa mengangguk, meski dalam keraguannya terlihat jelas bahwa dirinya telah berusaha keras untuk bersikap tegar. "Ya, aku yakin," katanya dengan suara pelan tapi mantap.
"Tapi syaratku tetap, Ethan. Pakai pengaman. Aku nggak mau hamil." Ia menegaskan kata-katanya dengan tegas, meskipun suaranya terdengar rapuh.
Melihatnya, Ethan terdiam, merasa dihantui oleh campuran perasaan yang sulit ia uraikan. Danisa bukan gadis muda polos yang belum pernah menghadapi realitas pahit. Ia menyadari bahwa keputusan ini adalah bentuk pengorbanan. Pengorbanan yang Danisa lakukan demi orang-orang yang ia sayangi, yaitu demi Mei, dan demi Tim Pena.
Sejenak, Ethan merasa bersalah. Rasa cintanya pada Danisa terlalu dalam hingga ia mengabaikan keinginan wanita itu untuk memiliki hubungan yang didasari oleh kepercayaan dan ketulusan. Namun, ia terlanjur menempuh jalan ini dan kini dihadapkan dengan pilihan yang tak mudah.
Dalam kebisuan yang terasa panjang, Ethan sebenarnya berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberi Danisa apa yang sebenarnya diinginkannya, bukan hanya sekadar hubungan, tapi rasa aman dan kenyamanan yang tidak bersyarat.
Ethan melangkah mendekat, setiap langkahnya terdengar jelas dalam keheningan ruangan itu. Danisa merasakan debaran di dadanya semakin kuat seiring dengan jarak yang kian mengecil di antara mereka. Tubuhnya tegang, meski ia berusaha keras untuk tetap tenang.
Ia sudah memutuskan, ia telah menguatkan hati untuk melakukannya, semua demi Mei dan Tim Pena. Tapi begitu Ethan berada di depannya, jarak hanya beberapa inci, rasa gugup dan takut menyelimutinya. Ia takut, bukan hanya karena pikiran bahwa dirinya akan dianggap murahan, tetapi juga ketakutan yang lebih dalam lagi, ketakutan akan kemungkinan dirinya hamil. Walau kenyataannya dia dianggap mandul oleh mantan suami dan mertuanya.
"Ethan," bisiknya tanpa sadar, kata-katanya hampir tenggelam dalam debaran jantung yang makin tak terkendali. Tapi ia tetap berdiri di sana, mencoba menguasai dirinya sendiri, bahkan ketika bayang-bayang keraguan dan kecemasan terus menggulung.
Ethan menarik napas dalam, perlahan kekhawatiran yang sempat menguasainya memudar, berganti dengan rasa keinginan yang kini tak mampu ia abaikan. Di depannya, Danisa terlihat gugup, matanya berkedip pelan, menunjukkan ketidakpastian yang justru membuatnya terlihat semakin memikat.
Mendekat dengan tenang, Ethan merasa hatinya kembali pada naluri yang alami, sebagai seorang pria yang ingin mendekap wanita yang ia cintai. Tentu ada keinginan untuk merasakan kehangatan dan kedekatan itu, keinginan yang sebenarnya sederhana, yaitu hasrat seorang pria yang jatuh cinta.
“Danisa,” bisiknya lirih, kali ini matanya menatap dalam, penuh ketulusan yang terselip di antara gairah yang membara. Ia ingin memastikan bahwa ia tak melangkah terlalu jauh, tetapi juga ingin meyakinkan Danisa bahwa ia benar-benar menginginkannya, dengan segala perasaan yang ia pendam selama ini.
Tanpa berpaling, ia mendekat lebih lagi, seolah meyakinkan Danisa bahwa keinginan ini bukanlah sekadar hasrat, tapi juga keinginan untuk menjadikan dirinya bagian dari hidupnya, meski sementara, tapi nyata dan tulus.
Ethan mendekat dengan perlahan, menyisakan sedikit jarak di antara mereka, hingga hanya bayangan mereka yang terpancar dari kaca besar di belakang Danisa. Tangannya terulur, menyentuh lengannya dengan sentuhan yang lembut namun mantap, naik perlahan ke pundaknya, membuatnya merasa hangat dan sekaligus membuat bulu kuduknya berdiri.
Saat jari-jarinya menyentuh dagunya, Danisa tak mampu menghindar, terjebak dalam pesona yang terpancar dari mata Ethan. Dia mengangkat wajah Danisa sedikit, cukup untuk menyelaraskan pandangan mereka, lalu menunduk dan mengecup bibirnya dengan perlahan.
Ciuman itu begitu berbeda dengan ciuman pertamanya dulu. Tak ada paksaan atau tuntutan, hanya kelembutan yang mengalir di antara keduanya, membuat jantung Danisa berdetak tak menentu. Getaran halus yang menjalar dari bibir Ethan seolah membawa arus listrik yang tak terlihat, mengalir ke setiap sarafnya. Seolah hanya dengan satu ciuman lembut itu, seluruh pertahanannya perlahan mulai goyah.
Ethan menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, terlihat ada keraguan di balik matanya. "Danisa, aku nggak mau kamu merasa terpaksa melakukan ini, kamu bisa mundur sekarang," ucapnya, suaranya bergetar, nyaris seperti sedang menahan sesuatu yang lebih dalam.
Namun, Danisa menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan rasa yang bergejolak di dadanya. "Sudah terlanjur, Ethan. Pilihan ini sudah aku buat. Lagipula, kamu sendiri tahu, ini bukan cuma soal perasaan." Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, meski hatinya terasa berat. "Aku di sini karena aku sudah terjebak dalam permainan ini, dan ini caraku bertanggung jawab."
Sejenak, hening menyelimuti mereka. Ethan terlihat terdiam, ekspresi wajahnya mengeras. Dia tahu bahwa di balik ketegaran Danisa, ada luka dan ketakutan yang mungkin tak pernah bisa dia pahami sepenuhnya.
Ethan terdiam mendengarnya, kata-kata Danisa seolah menusuk lebih dalam dari yang dia bayangkan. Kejujuran dalam suara Danisa membuatnya merasa sesak. "Aku nggak pernah menginginkan kamu merasa seperti ini," jawabnya pelan, matanya terfokus pada tangan Danisa yang kini menggenggam erat sisi bajunya.
Danisa menatapnya tajam, wajahnya penuh dengan kecemasan dan keputusasaan. "Nggak ada yang bisa mengubah kenyataan, Ethan. Kita cuma berputar di tempat, dan aku lelah menunggu sesuatu yang nggak akan pernah datang. Kamu tetap nggak akan bisa nikahin aku karena orang tua kamu, dan aku akan selalu menuntut pernikahan dari kamu. Semuanya cuma berputar di situ."
Dia mendongak sedikit, suaranya lebih rendah namun penuh keyakinan, "Aku sudah cukup lelah dengan nasibku ini, Ethan. Kalau ini harga yang harus aku bayar untuk keluar dari hidup kamu, maka inilah yang harus kulakukan."
Ethan menatapnya, sukar untuk mengungkapkan perasaan yang semakin kacau dalam dirinya. Namun, tidak ada lagi kata yang bisa dia ucapkan. Semua yang terjadi antara mereka, semua kata yang terlontar, seolah telah membuat segalanya lebih rumit dari yang bisa dia bayangkan.
Ethan sudak muak dengan perdebatan yang tak bertemu ujung. Dia mulai melanjutkan apa yang sudah dia mulai tadi. Kini dia menarik Danisa dan membuat wanita itu jatuh dalam dekapannya. Menarik kepalanya dan menguncinya, menciumnya dengan penuh nafsu dan tangannya bergerilya di punggung Danisa.
Danisa pun sebagai wanita normal, awalnya terkejut, tapi lambat laun dia menikmati permainan yang Ethan mulai itu.
Permainan yang Danisa pikir tak akan pernah terjadi itu, nyatanya terjadi.
Setelah malam yang panjang itu, pagi tiba dengan sinar matahari yang menyelusup melalui kaca besar, memenuhi ruang dengan kehangatan yang kontras dengan perasaan dingin di hati Danisa. Ethan, yang terlihat santai dan penuh kepuasan, menyapanya dengan senyum lebar, seolah segalanya telah berjalan sesuai rencana.
"Selamat pagi," katanya, nadanya penuh semangat. "Mandi dulu sana, nanti kita sarapan bareng. Aku tahu kamu pasti laper banget."
Namun, bagi Danisa, pagi itu bukanlah awal yang cerah. Perasaan berat menghantuinya, sebuah penyesalan yang menyesak dan membayangi pikirannya. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat itu, melarikan diri dari situasi yang seolah tak memberinya ruang untuk bernapas.
Tanpa banyak bicara, Danisa melangkah cepat menuju kamar mandi, tubuhnya dibalut selimut yang menutupi kulitnya yang telanjang. Pakaian lamanya entah di mana, mungkin berserakan di sudut ruangan. Namun, di atas meja, ia melihat setumpuk pakaian baru yang sudah disiapkan Ethan. Ia meraih pakaian itu dengan tangan gemetar sebelum akhirnya menutup pintu kamar mandi di belakangnya.
Di dalam, ia berdiri di bawah pancuran air yang mengalir deras, membiarkan air membasuh seluruh tubuhnya, seolah berharap mampu menghilangkan rasa kotor dan jijik yang kini menguasai dirinya. Ia merasa kecil dan terasing, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima kenyataan pahit yang telah terjadi.
Setelah cukup lama di sana, Danisa akhirnya mengenakan pakaian baru dan keluar dari kamar mandi. Di luar, Ethan sudah menunggunya dengan senyum hangat, terlihat begitu puas dan bahagia.
“Ayo sarapan,” ucapnya, baginya pagi itu adalah awal yang begitu indah.
Namun, Danisa meredam senyum di wajah Ethan dengan suaranya yang datar. “Aku sudah menepati janjiku, tidur denganmu. Sekarang, izinkan aku pergi dari sini, Ethan.”
Ethan terdiam, senyumnya perlahan memudar mendengar ucapan Danisa. Ia menatap wanita di depannya yang kini tampak tegar meski sorot matanya menyiratkan rasa kecewa dan kelelahan yang mendalam.
“Kamu benar-benar mau pergi? Setelah apa yang sudah kita lakukan semalam?” Suaranya lebih pelan, seperti menahan sesuatu yang tak terungkapkan. Sebuah kesadaran pahit tampak menyelinap dalam tatapannya. Baginya, semalam adalah sesuatu yang amat berarti, harapan bahwa semuanya bisa berubah. Namun, ia tak menyangka Danisa akan tetap teguh pada keinginannya untuk pergi.
Danisa mengangguk perlahan. "Aku sudah memenuhi permintaanku. Kamu harus melepaskanku setelah ini, kamu harus biarin aku pergi, Ethan," ujarnya, suaranya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Semua kekosongan yang ia rasakan memenuhi setiap kata yang terucap.
Ethan menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas, mencoba menyembunyikan perasaan kecewa yang melintas di matanya. "Hubungan kita semakin intim, Danisa. Kita bahkan sudah menyatukan tubuh kita. Kamu masih mau pergi setelah semua ini? Apa kamu tipe wanita yang bisa tidur dengan orang yang bukan siapa-siapa kamu?"
Danisa tersinggung, ucapan Ethan begitu melukai hatinya. Terlebih perasaannya sedang sensitif karena apa yang sudah terjadi semalam. Dia menikmati apa yang terjadi semalam, kini dia malu di depan Ethan dan dia ingin segera pergi.
"Aku cuma mau pergi, Ethan. Terserah kamu mau berpikir apa."
Ethan marah. Dia tak lagi bahagia, dia mendekati Danisa dan menatapnya lekat. "Sebelum apa yang kita lakukan semalam, aku nggak pernah mau berpisah sama kamu. Lalu, apa kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi? Sudah kubilang, Danisa, jangan buat aku jadi pria jahat. Tapi, kalau begini terus, nggak apa aku kamu anggap jahat."
Pria itu lalu menunjukkan layar ponselnya. Di sana ada potret Danisa yang terlelap tidur dengan bahu yang tampak telanjang, tubuhnya dibalut selimut. Di sampingnya ada Ethan yang bertelanjang d**a dan memeluknya serta mengecup kepalanya.
"Aku akan kasih kamu pilihan, tetap di sini, atau kamu pergi. Tapi aku pastikan poto ini akan sampai di ibumu di kampung sana."
Ancaman Ethan membuat Danisa murka. Wanita itu menampar Ethan, sangat keras. "Berengsek kamu, Ethan!"