Hari berganti hari. Sudah sebulan lamanya Ethan dan Danisa menjalani hubungan asmara. Setiap harinya terasa begitu bahagia bagi Ethan, akhirnya dia bisa memenangkan hati wanita pujaannya. Sudah cukup lama ia memendam perasaan untuk Danisa, apalagi wanita itu sudah berhasil membantunya melupakan sang mantan kekasih.
Setiap bangun di pagi hari, Ethan tersenyum senang, jika mengingat hari-harinya dipenuhi canda tawa Danisa. Walau mereka hanya bisa bertemu di malam hari karena keduanya sibuk bekerja, dan itu pun tidak setiap malam, nyatanya hubungan mereka semakin lengket.
Setiap senyuman Danisa, suaranya, bahkan embusan napasnya, semuanya terasa menyenangkan bagi Ethan. Apa pun yang wanita itu minta akan ia usahakan, kecuali satu, menikah secepatnya.
Beberapa malam terakhir, Danisa mulai menagih janji Ethan untuk menikahinya. Malam itu pun, Danisa kembali menagih kepastian kelanjutan hubungan mereka.
"Udah sebulan, Ethan. Kamu bahkan belum ketemu sama ibu aku. Aku juga belum ketemu sama orang tua kamu. Kok sepertinya hubungan ini nggak ada kemajuan."
Mengeluh dan meminta kepastian, Danisa mulai cemas kalau dirinya mungkin saja hanya dijadikan mainan Ethan. Dia takut dia hanya dijadikan salah satu koleksi mantan Ethan yang tampan dan rupawan itu. Baginya, tidak menutup kemungkinan sang pacar hanya penasaran kepadanya di awal saja.
Malam itu, seperti biasa Ethan main ke apartemen Danisa untuk berkencan. Keduanya lebih suka jika di sana, di kamar kecil nan sederhana itu. Namun, ada kalanya Danisa minta diajak keliling menggunakan sepeda motor sport milik pacarnya.
Ethan menyilangkan kakinya, dia duduk dengan santai di atas sofa. Tangannya sibuk menekan tombol remot. Ia sedang mencari acara di platform online, tapi itu hanya sandiwara. Aslinya, dia hanya ingin menghindar dari pertanyaan Danisa. Namun, jika sebelumnya dia bisa menghindar, malam itu tidak.
Karena tak mendapatkan jawaban, Danisa merebut remot yang dipegang Ethan. Keduanya lalu adu tatap. Wanita itu memojokkan sang kekasih demi mendapatkan kepastian hubungan mereka.
"Apa sih, Sayang?" goda Ethan yang sebenarnya tidak pernah memanggil Danisa dengan sebutan itu.
Baik Ethan atau pun Danisa, keduanya masih suka memanggil nama mereka masing-masing. Berbeda dengan penyimpanan nama di kontak telepon. Danisa menyimpan kontak Ethan sebagai Berondong Ganteng dan Ethan menyimpan kontak Danisa sebagai Danisa dan diakhiri dengan simbol hati berwarna merah dan pink.
"Aku ngomong dari tadi, kamu nggak dengerin? Atau kamu pura-pura nggak denger karena aku nagih janji kamu?" Danisa terlihat kesal dan bahkan marah. Tatapan matanya tajam, dia mencoba menunjukkan keberaniannya ke Ethan. Berharap pria itu tak mempermainkannya.
"Bukan gitu," ucap Ethan yang dilanjutkan dengan embusan napas panjang.
"Kalau gitu jawab."
"Jawab apa?"
"Kapan kamu mau kenalin aku ke orang tua kamu? Dan kapan kamu akan ketemu sama orang tua aku?"
Ethan diam beberapa saat, dia mencoba menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab.
"Urutannya kan aku kenalin kamu dulu ke orang tua aku. Baru aku ketemu orang tua kamu, setelah itu aku ajak orang tua aku ketemu orang tua kamu. Satu-satu, dong."
"Iya, terus kapan kamu ajak aku ketemu orang tua kamu? Dari urutan yang kamu katakan tadi, udah ada belum yang kamu lakuin?" tanya Danisa yang mulai frustrasi.
Ethan kembali diam. Beberapa kali ia memainkan bibir dan lidahnya. Itu tampan! Demi apa pun, Danisa mengakui Ethan tampan luar biasa, seperti aktor Korea saja. Namun, dia tidak akan tinggal diam hanya karena pacarnya itu tampan. Dia butuh kepastian.
"Kamu minta waktu 3 bulan, kan? Nah, kita udah pacaran sebulan. Masa nggak ada kemajuan sama sekali. Ya kali kamu nunggu pas 3 bulan dulu baru kamu kenalin aku ke ortu kamu. Nggak mungkin kan semua urutan yang kamu katakan tadi mau dilakuin sehari semalem?"
Terus dipojokkan, Ethan merasa pengap. Dia mengembuskan napas panjang dan kemudian berdiri. Diambilnya jaket jeans miliknya yang sebelumnya tergeletak di atas meja, lalu dia menatap Danisa dengan lekat.
"Ayo keluar," ucapnya seolah tak terjadi apa-apa.
Kening Danisa berkerut, dia tak mengerti apa maksud Ethan yang tiba-tiba mengajaknya pergi keluar. Tanpa banyak kata, dia mengambil jaket miliknya dan mengikuti Ethan.
Pria itu mengajak Danisa mengelilingi pusat kota, melihat keramaian di malam hari. Lalu, setelah ia merasa cukup berkeliling, dia mengajak Danisa mampir ke sebuah kafe yang lumayan rame.
Danisa senang diajak jalan-jalan melihat indahnya lampu-lampu bangunan tinggi di malam hari. Namun, dia menekuk wajahnya karena tak ingin Ethan menganggapnya mudah. Masa hanya dengan begitu saja, dia akan menyerah atas janji Ethan untuk menikah secepatnya.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Ethan dengan suara pelan.
"Kenapa kamu ajak aku ke sini? Pake muter-muter dulu lagi. Sengaja kan kamu mau nyogok aku, biar aku nggak nanyain kapan kamu ajak aku ketemu orang tua kamu?"
Ethan hanya bisa diam saat ucapan Danisa benar. Dia lalu memanggil pelayan kafe dan memesan 2 minuman dingin dan sepotong kue stroberi.
Danisa kesal karena diabaikan, ia menyerang Ethan dengan sorot matanya yang amat tajam. Seolah ia bisa membunuh kekasihnya itu hanya dengan tatapannya saja.
Sampai pesanan datang, Ethan dan Danisa masih tak bersuara. Ethan mendorong jus alpukat dan kue stroberi agar mendekat ke Danisa.
"Minum, dan cicipi kuenya. Katanya cewek kalo makan manis-manis bisa ngeredain marahnya." Ethan bicara amat pelan.
"Gimana nggak marah kalau dari tadi aku ngomong nggak ditanggepin?!" Danisa malah menaikkan volume suaranya.
Ethan mengambil sendok kecil di atas piring kue, lalu menyendok sedikit saja pada ujung kue. Dia mau menyuapi Danisa. "Ak," ucapnya yang lalu diikuti oleh gerakan bibirnya seolah dia akan makan juga.
Danisa menyipitkan matanya, masih saja kesal dengan sikap Ethan yang terus menghindar.
"Buruan, tangan aku pegel ini," ucap Ethan yang masih mengangkat tangannya karena ingin menyuapi Danisa.
Danisa malah diam.
"Kalau nggak mau aku suapin pakai sendok, aku bisa suapin kamu pake bibir aku. Mau bukti?" tanya Ethan yang mulai mengancam.
Sontak saja Danisa menengok ke kanan dan ke kiri, melihat betapa ramainya kafe itu. Akan sangat malu jika Ethan benar-benar menciumnya di sana. Segera setelah itu ia melahap kue yang Ethan suapi untuknya.
Ethan tersenyum puas. "Nah, gitu dong. Enak, kan?" Kali ini dia mencoba menyuapi Danisa lagi. Namun, wanita itu segera mengambil sendok di tangan Ethan dan mulai makan kue stroberi itu sendiri.
Enak, manis, lembut. Kue itu berhasil meredakan emosinya. Ditambah lagi dengan segarnya jus alpukat, membuat Danisa terlihat lebih tenang.
Ethan tersenyum. "Cantik banget pacar aku," celetuknya.
Kue sudah habis, dan jus alpukat milik Danisa juga tinggal sepertiga gelas. Wanita itu menyeka bibirnya, lalu menatap Ethan yang sedari tadi menatapnya intens.
"Udah, sekarang giliran kamu. Jawab semua pertanyaan aku tadi, atau kita putus aja."
Kembali mendapatkan ancaman, Ethan merasa usahanya sia-sia. "Jangan asal ngomong. Aku ajak kamu ke sini juga karena aku mau jawab pertanyaan kamu."
Tampak meyakinkan, aslinya Ethan tak ada niatan untuk menjelaskan kondisinya ke Danisa. Dia terus berpikir, apalagi yang akan dilakukan untuk menghindar dari pertanyaan jebakan itu.
"Ya udah, buru jawab," ucap Danisa tegas.
Tepat sekali, saat itu ada pelayan lewat. Ethan melihat ada kesempatan, dia sedikit menggeser kakinya dan lalu pelayan yang tengah membawa nampan berisi minuman itu tersandung. Minuman itu jatuh dari nampan dan tumpah tepat di atas meja yang Ethan dan Danisa gunakan.
Air minuman itu muncrat, mengenai Ethan dan juga Danisa. Melihat baju sang kekasih kotor, Ethan amat marah dan langsung meneriaki pelayan itu. "Kerja yang bener, dong! Jalan aja bisa kesandung! Tuh baju pacarku jadi kotor!"
Semua seisi kafe menatap dan memperhatikan Ethan. Danisa yang sebelumnya sibuk mengelap bajunya, kini sadar dia sudah menjadi pusat perhatian.
Danisa malu. Dia juga terkejut dengan teriakan Ethan yang sebelumnya belum pernah ia dengar.
Saat Ethan berdiri dan meraih kerah pelayan itu, Danisa segera meraih tangan kekasihnya itu. "Ethan! Udah cukup, dia nggak sengaja."
Ethan memang bersalah, dia yang sengaja menjebak pelayan. Namun, tujuannya adalah agar bajunya saja yang kotor. Bukan malah mengenai baju Danisa. Pria itu kesal dan bahkan marah jika kekasihnya disentuh, baik secara langsung atau tidak, dan baik disengaja atau tidak.
Pelayan itu meminta maaf berulang kali. Jebakan Ethan terlalu mulus hingga pelayan itu pun berpikir kalau dirinya yang salah.
Dengan wajah yang mengiba, Danisa akhirnya berhasil mencegah Ethan berbuat hal buruk ke pelayan itu. Keduanya lalu pergi, tentu saja setelah membayar makanan dan minuman mereka.
Danisa menggandeng tangan Ethan sampai keduanya tiba di tempat parkir. Di sana, wanita itu melihat baju Ethan juga kotor. Namun, jelas sekali pria itu marah karena baju Danisa yang kotor.
Janda itu lalu mengelap baju Ethan dengan perlahan. "Kalau tahu kamu bakal ribut-ribut begini, aku ogah kamu ajak keluar. Mending kita di apartemen aja." Danisa bicara dengan amat lirih, tangannya masih sibuk membersihkan baju Ethan walau hanya dengan tangan kosong.
Pada saat itu, Ethan meraih kepala Danisa. Memegangnya dengan tangan kanan dan tangan kirinya menarik pinggang kekasihnya. Lalu, dia mendekatkan wajahnya, bibirnya dan bibir Danisa makin dekat. Malam itu, gelapnya malam seolah menjadi saksi kisah cinta janda dan perjaka itu.
Ethan seperti tak peduli, apakah di sana akan ada orang yang memperhatikannya atau tidak. Bibirnya sudah sedikit terbuka, bersiap akan petualangannya lagi dengan bibir Danisa.