Reason

2541 Words
An Na telah meninggal dunia Sebulan yang lalu ia bunuh diri.. Shi Hui terbangun dari tidurnya wajahnya nampak pucat, nafasnya tak beraturan, keringat dingin membasahi sekujur badannya, perkataan Bibi Wang tadi siang masih terus terngiang-ngiang di telinganya, seperti kaset usang yang terus diputar berkali-kali. Kalimat-kalimat itu seperti bom yang bertubi-tubi menghantamnya, rasanya baru kemarin ia merasakan perasaan sangat bahagia karena ia akhirnya bisa kembali ke negaranya, tapi dalam sekejap kebahagiaan itu sirna dan berubah menjadi mimpi buruk, ia masih berharap kalau semuanya ini hanyalah mimpi belaka, tapi harapan tinggalah harapan meninggalnya An Na memang adalah sebuah kenyataan, gadis itu sudah benar-benar tak ada lagi di dunia ini. Padahal dia berharap bahwa Ini semua adalah mimpi buruk yang akan segera berakhir ketika dia terbangun, namun rupanya ini benar-benar kenyataan bahkan ekspresi Bibi Wang yang terus terbayang di benaknya bisa tergambar jelas, rupanya ia tak bisa menghapus begitu saja meski sesaat, lagi matanya mulai berlinang air mata, hidungnya terus mengeluarkan ingus dan pipinya begitu sembam merah. Bahkan gadis tak mengetahui sudah berapa lama Iya menangis sebelum tidur sampai wajahnya kelihatan kacau balau. Iya menekuk kakinya hingga menyentuh dadanya lalu membiarkan kedua tangannya melingkari kedua kaki tersebut ia kemudian membiarkan kepalanya tertelungkup di atas lututnya dan lagi menangis sejadi-jadinya. Sudah seharian ini Shu Hui menangis di kamar, di salah satu kamar yang dulu menjadi tempat tinggalnya, matanya sudah nampak sembab. Ia tahu tangisan itu tak akan mengembalikan An Na kembali ke dunia ini tapi air mata itu tidak henti-hentinya mengalir dan ia tak bisa mengendalikannya. Bunuh diri? bagaimana mungkin? aku paham betul betapa optimisnya An Na akan kehidupan, ia selalu penuh dengan semangat hidup. Meski mamanya meninggal saat melahirkannya ia selalu kuat dan tegar... meski papanya menelantarkannya sejak ia kecil ia tak pernah sedetikpun membenci pria itu, saat ia jatuh dari pohon dan kakinya patah ia sama sekali tak menangis, dia yang ikut berbahagia saat aku akhirnya memiliki orang tua angkat... saat aku terpuruk di Sydney dia yang tanpa henti menyemangati dan menguatkan meski dari jarak jauh... dia yang selama ini selalu memberikan semangat hidup untuknya saat berkali kali dirinya jatuh terjerembab….dia yang berjanji akan meniti karir bersama-sama di Beishan. An Na adalah gadis paling berani dan tegar yang pernah kukenal seumur hidupku. Lalu kenapa? An Na masih terus bertanya-tanya seakan ke semua kejadian ini benar-benar tak masuk akal kenapa iya harus bunuh diri. Shi Hui masih belum menerima semua kenyataan ini semuanya terasa ganjil baginya. Ah jadi ini kenapa sudah beberapa hari ini aku tak bisa menghubunginya. Meskipun mereka berdua selalu berkomunikasi selama beberapa tahun ini tapi itu tak terjadi setiap hari, terkadang saat An Na sedang sibuk dengan part timenya atau Shi Hui sedang dipusingkan oleh tugas kuliahnya mereka akan menjadi tak saling berkomunikasi selama berhari-hari, dan sekali mereka menelepon beberapa hari kemudian, maka akan terjadi obrolan yang super panjang bahkan hingga berjam-jam, Saling bercerita mengenai kehidupan mereka masing-masing mulai dari A hingga Z. Baik An Na maupun dirinya sangat bahagia dengan hubungan persahabatan mereka masing-masing. Seakan tak pernah bisa menyembunyikan satu hal apapun untuk An Na, baginya Anna sudah seperti buku diary hidup untuk Shi Hui. Sahabatnya itu adalah saksi sejarah dari perjalanannya mulai dari awal menjejakkan kaki di panti asuhan tersebut hingga ia di Sydney.. Entahlah Shi Hui pun juga tak tahu, sudah beberapa minggu ini ia tak berkomunikasi dengan An Na sahabatnya, tapi ia tak terlalu memikirkannya karena mereka berdua sama-sama disibukkan oleh rutinitas masing-masing, apalagi setelah berencana kembali ke negara ini ia memang sengaja tak memberitahu An Na karena ia ingin memberikan kejutan. Bisa dibayangkan nantinya sahabatnya pasti akan merasa terkejut ketika Shi Hui datang dan sudah berada tepat di depan matanya. Hari-hari menjelang kepulangannya ke panti asuhan terasa begitu lama karena dia begitu sangat menantikan hal itu, apalagi ekspresi dari orang-orang di panti asuhan yang sangat disayanginya itu. Ya, ia bahkan sudah membawakan banyak oleh-oleh untuk masing-masing orang. Di perjalanan pun dia masih terbayang-bayang, namun apa kenyataannya ketika ia sampai dan baru saja berjalan beberapa menit dalam panti asuhan tersebut? ia sudah mendapatkan kabar yang sangat tidak mengenakkan terlebih sangat melukai perasaannya. Seakan dunianya runtuh seketika. Kenapa dari semua orang yang di dunia ini yang harus meninggal adalah An na? Sungguh kenyataan yang pahit dan tak adil. **** Shi Hui melirik jam dinding yang tergantung di tembok kamar, masih pukul tiga pagi. Saat pikirannya masih melayang terdengar suara ketukan pintu yang diikuti suara lembut seorang wanita dari balik pintu kamar. Shi Hui menoleh ke arah pintu saat mendengar suara perempuan yang sudah tak asing lagi di telinganya, ia buru-buru bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan untuk membukakan pintu kamar. Li Hua Jie jie. Begitu ia biasa memanggilnya. Perempuan dengan wajah yang sangat menenangkan yang kini berusia tiga puluh delapan tahun itu adalah pengasuh di panti Chenguang. Ia adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Shi Hui di panti ini Jika Wang Ayi sudah ia anggap seperti ibunya sendiri maka Li Huan Jie jie adalah kakak baginya. Semenjak pertama kali Shi Hui menginjakkan kaki di Chenguang, semenjak dirinya masih gadis kecil polos, Li Hua sudah ada di sana dan hingga kini. Li Hua adalah sosok yang ingin mendedikasikan dirinya untuk keberlangsungan kehidupan anak-anak di pantai ini, nasibnya tak jauh beda dengan anak-anak di panti ini, ya ia sudah yatim piatu sejak kecil, ia tumbuh besar di panti itu, karena itulah setelah beranjak besar ia benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk Chenguang. Tentu saja Shi Hui adalah salah satu anak yang merasakan kasih sayang dari wanita tersebut dan dia tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya. Ia adalah wanita yang sangat baik, ramah, serta rajin yang sudah seperti kakak bagi semua anak-anak di panti ini. Rupa-rupanya nya setelah belasan tahun tak bertemu dan kini berjumpa kembali kecantikan wanita itu tak memudar meskipun dimakan usia. Mungkin sekarang anak-anak panti yang masih kecil bisa memanggilnya sebagai ibu. Li Hua masuk kedalam kamar sambil membawa sebuah nampan dengan segelas air hangat dan sebungkus obat. ia berjalan dengan sangat perlahan, nampaknya, air yang ada di dalam gelas yang di bawanya kepenuhan. Li Hua meletakkan nampan yang ia bawa di meja kecil yang berada di samping temp[at tidur “Shi Hui, Apakah kau sudah merasa lebih baikan? Sejak tadi sore kau demam tinggi, Wang A yi sangat mengkhawatirkanmu.” tanya Li Huan dengan nada lembut sambil memegang kening Shi Hui, ”panasnya sudah mulai turun, minumlah obat ini agar kau lekas baikan.” Li Hua itu lantas menyodorkan beberapa pil kepada gadis yang masih lemah tersebut, dan tak lupa memberikan segelas air hangat yang telah dibawanya tadi. Shi Hui mengangguk pelan, ”xie xie jie.” Shi Hui tak sesungguhnya tak suka meminum obat, terutama karena rasa pahit yang di tinggalkannya dan baunya yang menurutnya sangat aneh, ia menatap obat itu beberapa saat dengan tatapan ragu-ragu, dulu saat masih kecil Shi Hui sering sekali harus kucing-kucingan dengan Li Hua kalau sudah berurusan dengan meminum obat. Saat di Sydney seorang diri, jika sakit Shi Hui lebih memilih untuk membiarkannya beberapa hari sampai tubuhnya pulih dengan sendirinya, daripada harus meminum obat. Dulu saat masih remaja Shi Hui bercita-cita untuk membuat evolusi besar-besaran untuk menciptakan obat dengan rasa yang enak, batinnya saat itu Seseorang yang sakit sudah cukup menderita, sangat menyedihkan kalau harus ditambah lagi mereka harus meminum obat dengan rasa yang mengerikan selama berkali-kali. Li Hua tahu betul apa yang ada di dalam pikiran Shi Hui, matanya tak berkedip menunggui gadis itu untuk menghabiskan obatnya. Shi Hui meminum obat itu dalam sekali teguk, sesaat ia meringis karena rasa pahit di lidahnya, dalam sepersekian detik Shi Hui buru-buru mengguyur sisa obat yang masih menempel di langit-langit mulutnya dengan segelas air hangat menuangkannya tanpa menyisakan setetes pun dan akhirnya rasa pahit itu pun benar-benar hilang. Air terasa mengalir bebas dari mulut melewati tenggorokannya mengalir bersama pil-pil pahit itu. Meskipun sakit itu datang dan pergi sesuka hati tapi Shi Hui sudah bertekad ia ingin buru-buru sembuh, betapapun rasa sedih yang ia rasakan sekarang ia tak ingin membuat orang-orang di sekelilingnya khawatir karenanya. Ada sedikit lega yang ditampakkan Li Hua karena Gadis itu mau meminum obatnya. Jadi dia berharap setelah ini Shi Hui bisa berangsur-angsur segera pulih kembali. Wanita itu begitu sangat mencemaskan adik se panti asuhannya tersebut. Dia tak pernah melihat kesedihan Shi Hui sampai sebegitu besarnya bahkan kesedihan ini jauh lebih terasa jika dibandingkan saat gadis itu harus segera berpisah dengan orang-orang panti lantaran dibawa untuk diadopsi oleh orang tua angkatnya ke luar negeri. Suasana ruangan hening sesaat, keduanya duduk di tepi tempat tidur sambil mendengarkan suara jangkrik malam yang saling bersahut-sahutan hingga jelas terdengar dari dalam kamar, suara familiar yang membuatnya merasa kalau ia sudah benar-benar pulang ke rumah. Jangkrik jangkrik itu seperti ini berlomba-lomba untuk membuat Gadis itu merasa sedikit terhibur. Terlebih kenapa para jangkrik itu merasa antusias untuk mengeluarkan suaranya juga karena malam itu hari benar-benar cerah tanpa ada mendung sedikitpun. “Jie…” Shi Hui diam sesaat, ia menoleh ke arah Li Hua. “Jie, Apakah kau percaya kalau penyebab kematian An Na murni karena bunuh diri?” Shi Hui masih mencoba untuk menanyakannya kepada orang-orang bahwa info yang ia dapatkan hari ini adalah benar-benar palsu ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya tidak benar, Gadis itu berharap wanita itu akan menjawab bahwa An Na masih hidup. Li Hua menoleh, mencoba mencerna pertanyaan Shi Hui yang tak terduga, mencoba mencari jawaban yang tepat, “Kenapa kau berpikir seperti itu?” katanya sambil memiringkan kepalanya untuk lebih terlihat jelas ke arah Gadis itu, ia tahu bahwa adik sepanti asuhannya itu masih belum bisa menerima kematian sahabatnya. Namun tetap saja iya harus berhati-hati ketika berbicara dengan seseorang yang baru saja menerima luka yang begitu menganga. Di sisi lain Shi Hui sudah menebak akan respon itu, “Aku bukan sedang mencoba menghindari kenyataan jie, kau juga tahu kan An Na gadis seperti apa, dia gadis yang sangat optimis, ceria dan sangat positif menjalani hidup. mengapa dia harus bunuh diri, tidakkah menurutmu ini aneh jie ??” Shi Hui memberondong Li Hua dengan pertanyaan-pertanyaan dan keraguan yang sedari tadi bergelayut dibenaknya, pertanyaan yang juga sudah berkali-kali ia tanyakan pada Bibi Wang, namun ia masih belum mendapatkan jawaban. Li Hua menatap gadis itu beberapa saat kemudian berkata lirih “Shi Hui, aku tahu pasti sangat berat bagimu untuk menerima kenyataan, begitu juga dengan kita semua di sini kita semua menyayangi An Na dan tak menginginkan hal ini terjadi, tapi nasi sudah menjadi bubur, An na sudah tiada adalah sebuah kenyataan.” dengan lembut wanita itu berusaha menjelaskan kembali kepada Shi Hui, tak hanya gadis ini bahkan dirinya pun hingga sekarang masih sulit menerima kenyataan itu, kesedihan yang orang-orang panti rasakan belum sirna sedikit pun, mereka masih cukup syok untuk menerima begitu saja berita kematian An Na yang tak wajar. “Apakah polisi menyelidikinya? Mungkin saja…. mungkin saja ia bukan bunuh diri, bagaimana kalau ternyata...“ Shi Hui tidak melanjutkan kata-katanya, suaranya tercekat, berusaha menghapus pikiran-pikiran aneh yang ada di kepalanya. Ia bahkan takut untuk membayangkan apa lagi melanjutkan untuk mengatakannya tentang apa kemungkinan yang terpikir di benak nya soal kematian sahabatnya itu. Justru kini malah merasa takut dan gemetaran dengan jalan pikirannya sendiri. Entah kenapa dia merasa yakin bahwa di balik kematian sahabatnya itu ada sebuah rahasia. Seakan sudah menebak dengan apa yang ada di pikiran Shi Hui, Li Hua segera menimpali “Menurut keterangan polisi, saat An Na hendak melompat dari jembatan banyak saksi mata yang melihatnya, mereka berusaha membujuk dan mencegahnya namun sudah semuanya gagal ia tetap melompat, dan saat itu air sungai sangat deras, orang-orang kesulitan untuk menyelamatkannya bahkan tim penolong pun merasa kesulitan, dan saat ditemukan semua sudah terlambat, ia sudah tak tertolong lagi.” wanita itu akhirnya berusaha menjelaskan lagi kronologi sebelum kematian An Na. itu adalah cukup bukti bahwa menyatakan memang benar-benar gadis itu murni bunuh diri dan untuk apa penyebab ia bunuh diri itulah yang masih menjadi tanda tanya besar di benak semua orang. “Aku bukan ingin menyangkal kenyataan jie, tapi aku tak bisa mengerti kenapa An Na melakukan itu.” Shi Hui menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya lagi. Setelah beberapa saat Shi Hui kembali melanjutkan “Beberapa bulan yang lalu kami bahkan sempat membicarakan rencana untuk meniti karir jurnalistik bersama di Beishan, ia sangat bersemangat menunggu kedatanganku, An Na bilang ia akan mengajakku berkeliling Beishan, mendatangi tempat makan kesukaanya di sana, mengajakku ke tempat-tempat favoritnya, yang kutahu An Na sangat menikmati kehidupannya di Beishan, lalu sekarang tiba-tiba—“ Li Hua tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya, bahkan kini ia pun ikut membuka luka lama soal kesedihan ditinggalkan oleh An Na yang sebenarnya belum sembuh total. Rasanya sedih sekali karena bayangan soal obrolan mereka tentang jalan-jalan di kota impian tersebut seperti baru kemarin, namun selang beberapa waktu rupanya takdir tak mengizinkan mereka untuk bersama-sama melihat kota tersebut. Kenyataan yang sangat ironis. Bagaimana mungkin ia bisa segera mewujudkan cita-cita mereka jika salah satu diantara mereka sudah tak berada di dunia ini lagi. Bagaimana mungkin aku bisa menerimanya begitu saja? Li Hua nampak ingin mengatakan sesuatu namun urung dan kembali menelan kata-katanya, ia hanya terdiam sambil mendengarkan Shi Hui. “Jie, kapan terakhir kali kau bertemu dengan Shi Hui?” Li Hua mengingat-ingat lagi kenangan nya beberapa waktu silam kerutan di dahinya tampak begitu jelas ia mencoba menyelami lagi saat-saat terakhir bersama gadis itu. ,“ Aku bertemu dengannya terakhir kali lima bulan yang lalu saat ia pulang untuk merayakan Zhong Qiu Jie bersama anak-anak panti.” Lhi Hue terbayang pada kenangan saat itu, dengan ceria An Na memberi kejutan ke dirinya dengan anak-anak pabti dengan kehadirannya. Saking eratnya kekeluargaan yang padahal tak ada hubungan darah tersebut, sampai rasanya rasa rindu tak bisa digambarkan selama beberapa hari mereka menjadi sangat dekat, Saat An Na hendak kembali ke beishan pun beberapa anak panti menangis, berharap gadis itu tak perlu lagi meninggalkan mereka dan tetap berada di panti saja. Tapi saat itu An Na meyakinkan anak-anak panti akan sering-sering berkunjung. Talk ada yang pernah menyangka kalau kepulangannya saat itu benar-benar menjadi yang terakhir kali. Pada saat berita kematiannya sampai ke telinga mereka, tentu saja mereka meraung-raung tak terima. An Na benar-benar memang kembali, tapi dalam keadaan tak bernyawa dan meninggalkan mereka untuk selamanya. “Saat itu apakah ada yang aneh darinya saat itu jie?” Tanya Shi Hui penuh selidik. Li Hua buru-buru menggeleng “Tak ada, ia ceria seperti biasa, malah ia sempat bermain-main dengan anak-anak panti selain itu ia juga membawakan banyak kue keranjang untuk di bagi anak-anak panti.” “Shi Hui ...jangan terlalu banyak pikiran dulu, sekarang kau pulihkan dulu kesehatanmu.” Li Hua mengusap perlahan rambut Shi Hui yang acak-acakan. Shi Hui mengangguk pelan. “ Jie —“ “Ya?” “Besok antarkan aku ke makam An Na ya.” Dengan kalimat ini jelas menandakan Shi Hui sudah menerima bahwa sahabatnya itu memang benar-benar sudah tiada, ia tak lagi terus-terusan berharap kalau semua ini hanya mimpi atau menganggap semua ini hanyalah berita bohong. Li Hua tersenyum menatap gadis itu “Tentu, sekarang beristirahatlah, nanti kalau kau sudah baikan aku akan mengantarmu kesana”. Li Hua mematikan saklar lampu kemudian berjalan keluar kamar. Ruangan menjadi sunyi kembali, Shi Hui merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamarnya ia menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya , kembali berkelana bersama pikirannya. keheningan kembali diambil alih para-jangkrik-jangkrik yang melanjutkan paduan suaranya, menemani Shi Hui menghabiskan malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD