13. PEMANDANGAN PANAS

1375 Words
Suara ketukan pada kaca mobil membuat Shaga yang sedang beristirahat terkejut. Matanya yang terpejam, refleks terbuka. Ia mendapati Riris yang sedang berdiri di luar mobil, menatapnya dengan senyum lebar. Memberikan tanda agar pintunya dibuka. “Hai, kamu lagi tidur ya?” tanya Riris saat kaca mobil diturunkan. Shaga menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Iya karena bosan. Kamu butuh sesuatu?” “Iya, ada yang harus aku ambil,” jawab Riris sambil mencari barang di dalam tas milik Noa. “Kalau bosan, ikut ke dalam saja. Lumayan bisa lihat Noa kerja. Tempatnya luas, jadi kamu enggak akan merasa sumpek.” “Memangnya boleh?” tanya Shaga ragu. “Boleh dong.” Riris kembali menutup pintu, lalu menghampiri Shaga yang masih duduk di kursi kemudi. “Ayo ikut, kamu enggak akan nyesel kok,” sambungnya. Shaga berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah kalau begitu.” Sudah lebih dari satu bulan Shaga bekerja menjadi bodyguard Noa. Selama itu juga ia tidak pernah ikut melihat bagaimana pekerjaan gadis itu. Bukan hanya karena keinginannya, tetapi memang Noa yang melarang dengan alasan tidak enak dengan rekan kerja atau alasan tempat yang sempit. Tetapi kadang juga Noa menawarkan untuk ikut jika jenis pekerjaannya memungkinkan untuk dilihat. Sayang, Shaga lebih memilih menunggu di mobil sekadar istirahat atau memantau sanggar judonya lewat cctv. Begitu Shaga masuk ke studio tempat Noa melakukan pemotretan, ia sedikit gugup karena beberapa pasang mata menatapnya. Dunia yang digeluti Noa sangat asing bagi Shagasehingga laki-laki itu tidak terbiasa. Selama ini ia cukup tertutup, sehingga sangat berlawanan dengan kehidupan Noa. “Kamu bisa duduk di sini atau di sana. Senyamannya saja,” ucap Riris sambil menunjukkan tempat yang dimaksud. “Aku harus bawa barang ini dulu, jadi aku tinggal ya.” “Iya.” Shaga duduk di kursi kosong sambil mengedarkan pandangan matanya. Lantas, ia menemukan sosok yang selama ini selalu saja ribut dengannya. Tidak jauh dari tempatnya, terlihat Noa dengan gaun indah yang dikenakan serta riasan wajah yang membuatnya nampak begitu sangat cantik. Penampilan gadis itu, membuat Shaga terdiam dengan pandangan terpaku. Selama ini, Shaga tidak pernah mengelak akan penilaiannya terhadap kecantikan saudaranya itu. Sebagai aktris dan juga model, apa yang dimiliki gadis itu adalah modal terbaiknya. Tetapi Shaga tidak pernah mengagumi, berbeda dengan hari ini, ia seperti melihat sosok Noa yang sangat berbeda. Benar-benar memikat dan sulit untuk diabaikan. “Bengong aja, Ga,” celetuk Anjani yang tiba-tiba muncul dari belakang Shaga. “Noa cantik banget, kan?” Shaga berdeham pelan sambil mengusap tengkuknya. “Semua perempuan cantik, kok.” “Berarti aku juga cantik?” goda Anjani. “Iya karena kamu juga perempuan,” jawab Shaga seadanya. Anjani terkekeh pelan. “Tapi tetap saja Noa cantiknya enggak ngotak. Definisi sang dewi yang baru turun dari langit. Lihat saja sekarang, dia lagi ambil gambar di tangga, jadi bayangin dia turun dari khayangan.” Ucapan Anjani berhasil memancing sudut bibir Shaga untuk terangkat. “Apa gaunnya enggak berat? Naik begitu, apa tempatnya aman?” “Berat tapi dia sudah terbiasa. Dan untuk tangganya, harusnya sih aman,” jawab Anjani. Kening Shaga mengkerut dengan sorot mata khawatir. Tangga yang dihiasi dengan bunga-bunga cantik, menjadi salah satu bagian yang harus Noa jalani. Meski dikatakan aman, Shaga merasa tidak tenang. Ia pun beranjak dari duduknya, melangkah pelan mendekati tempat pemotretan. “Kamu mau ke mana?” tanya Anjani. “Enggak, Cuma mau lihat lebih dekat. Aku enggak akan ganggu,” jawabnya tanpa menatap lawan bicara. Baru saja kaki Shaga bergerak beberapa langkah, tiba-tiba saja terdengar suara jeritan. Shaga terkejut melihat kaki Noa terpeleset. Untung saja tangannya berpegangan kuat, sehingga tubuhnya masih bisa bertahan dan tidak jatuh. Shaga refleks menghampiri Noa, mengabaikan situasi sekitar bahkan keberadaan para kru yang mendekat. “Kamu enggak apa-apa?” tanya Shaga khawatir. Noa menggeleng canggung sekaligus terkejut atas kemunculan Shaga. “Aman kok.” “Yakin? Kaki kamu?” “Tenang saja, aku nggak selemah itu,” jawabnya. “Kamu kenapa di sini?” tanya Noa sambil melihat ke sekitar karena sadar orang-orang memperhatikannya. “Aku diajak Riris masuk karena dia tahu aku bosan. Kalau kamu nggak nyaman, aku keluar saja,” ucapnya. Noa segera menahan tangan Shaga. “Boleh kok. Kamu boleh di sini, nggak apa-apa.” “Baiklah.” Setelah memastikan Noa baik-baik saja, akhirnya Shaga kembali ke tempatnya duduk. Akhirnya ia menyadari kalau sedang mendapat tatapan dari orang-orang yang sedang bekerja di sana. Shaga berdeham, mencoba untuk tidak peduli dan kembali ke tempatnya duduk. “Khawatir banget ya sama Noa?” Anjani menyikut Shaga dengan tangannya. “Sampai nggak sadar lari buat tahu kondisi dia,” sambungnya diiringi senyum jail. Seketika wajah Shaga memerah karena canggung. “Bukan begitu. Aku bekerja sebagai bodyguard-nya, jadi mau tidak mau harus sigap.” Anjani mengangguk dengan ekspresi geli. “Baiklah, alasannya masih masuk akal.” *** Suasana di dalam mobil begitu hening karena Noa memilih tidur akibat kelelahan. Shaga sendiri fokus mengemudi, membiarkan Noa istirahat. Sesekali menoleh ke kursi penumpang, untuk melihat kondisi gadis itu. Merasa kasihan karena hari ini Noa bekerja sangat keras. Perlahan Noa menggeliat diiringi dengan matanya yang terbuka. Terdengar helaan napas panjang dari gadis itu. Lalu meregangkan tangannya yang sedikit pegal. Tidur sejenak seperti membuat tubuhnya sedikit lebih segar. “Kita ke apartemen Keano dulu, ya. Aku mau ambil barang di sana,” ucap Noa kepada Shaga. “Barang apa? Kenapa barang kamu bisa di apartemen dia?” “Earpods-ku ketinggalan di tempat fitting, jadi dia yang amanin,” jawabnya. Tidak lama, kening Noa mengkerut, dengan tatapan menyipit. “Kenapa kamu tanya-tanya? Terserah aku dong mau ambil barang apa saja di tempatnya dia.” “Yang ngelarang kam siapa? Aku Cuma basa-basi,” ujar Shaga santai. Noa berdecis dan memutar bola matanya. “Menyebalkan.” Tidak lama, mobil yang dikemudikan Shaga sampai di basement apartemen Keano. Gadis itu bersiap-siap untuk turun. “Kenapa diam?” tanya Noa. Kening Shaga mengkerut dengan ekspresi bingung. “Maksud kamu?” “Ayo ikut, temenin ke atas. Kamu mau nanti ada berita beredar kalau aku pergi ke apartemen Keano dengan narasi tidak benar?” “Seharusnya kamu ngga peduli apa kata orang selama itu nggak benar,” ucap Shaga. “Harusnya begitu. Tapi aku berkarir buka sendirian tapi ada banyak kepala yang mengendalikan,” sahut Noa. “Sudahlah, ayo cepat. Aku juga nggak akan lama.” Mau tidak mau, Shaga mengikuti permintaan Noa. Memang tugasnya menemani gadis itu tapi jika harus ke apartemen Keano dan melihat mereka bermesraan, Shaga merasa tidak pantas dan juga membuat canggung. “Kamu sudah bilang mau ke sini?” tanya Shaga saat keluar dari dalam lift. “Enggak. Hape-ku mati. Kalau dia nggak ada juga nggak masalah, aku tahu kode akses apartemennya.” “Tapi enggak sopan kalau kamu masuk tanpa ada pemiliknya.” Noa menggeleng santai. “Aku sudah biasa ke sini tanpa ada dia.” “Ya sudah, itu urusan kalian.” Sesampainya di depan unit apartemen Keano, Noa langsung memasukkan kode aksesnya. Shaga yang melihat, tentu ini tindakan tidak sopan. Tetapi seperti katanya barusan, ia tidak akan ikut campur dan hanya melakukan tugasnya. Begitu pintu terbuka, Noa langsung masuk. Shaga pun mengikuti dari belakang. Suasana di dalamnya cukup terang karena cahaya lampu. Menandakan jika ada orang di dalamnya. “Keano! Kamu di sini?” teriak Noa dengan santainya. Shaga berjalan menuju ruang santai di mana ada sofa di sana untuk mengikuti Noa. Kening Shaga mengkerut saat melihat kondisi di ruangan itu. Beberapa detik kemudian, wajahnya memberi isyarat jika akan terjadi sesuatu. “Pakaian siapa ini? Kenapa ada bra dan pakaian dalam” gumam Noa heran. “Mungkin Keano lagi sama perempuan lain?” gumam Shaga tanpa rasa bersalah. Noa menatap Shaga dengan kening mengkerut. “Artinya, dia ada di sini?” Shaga mengangkat bahunya ringan. “Mungkin?” Tanpa pikir panjang, Noa langsung berjalan menuju kamar Keano yang pintunya tertutup rapat. Lalu tangannya dengan cepat membuka pintu tersebut. Begitu terbuka, Noa dibuat terkejut dengan pemandangan panas di dalam sana. Shaga dengan cepat menutup mata Noa demi menghindar dari kondisi Keano yang sedang berada di dalam selimut dengan seorang wanita di atas tempat tidur yang ternyata Recca . Keduanya sedang dalam kondisi tidur pulas, sehingga tidak tahu akan kemunculan Noa dan Shaga. Noa menepis tangan Shaga, lalu menatap nanar Keano dan Recca. “Keano! Recca!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD