Suara keras Noa berhasil membuat Keano dan Recca menggeliat dari tidurnya. Keduanya seperti kebingungan dan belum sadar akan apa yang terjadi. Noa segera menyalakan lampu hingga kamar tersebut menjadi semakin terang. Disaat inilah dua orang yang sudah berkhianat dengan Noa, menyadari kalau sebuah bencana sedang terjadi.
“Noa?”
Keano segera bergegas turun dari tempat tidurnya dan hanya mengenakan celana pendek. Dengan cepat tangannya memungut baju kaos yang berserakan di lantai. Wajahnya nampak terkejut dan panik serta malu.
“Noa, aku bisa jelaskan semuanya,” ucap Kaeno dan berusaha menyentuh tangan Noa.
Shaga dengan sigap menepis tangan Keano dan mendorong laki-laki itu agar menjauh. “Jangan sentuh Noa dengan tangan kontormu!”
“Jangan ikut campur! Bodyguard sepertimu, nggak pantas ngomong begitu!” bentak Keano emosi.
“DIAM!”
Seketika Shaga dan Keano terkesiap dengan teriakan Noa. Keduanya yang dalam keadaan tegang, terpaksa diam karena perintah gadis itu.
“Noa, jangan salah paham. Aku bisa jelasin semuanya. Aku dan Keano …”
Noa menoleh ke sumber suara, di mana saat ini Recca berjalan ke arahnya. Menutup tubuhnya dengan selimut tebal karena nyaris telanjang. Rambutnya berantakan, dengan wajah ketakutan dan menyedihkan.
“Aku dan Keano memang salah, tapi tolong dengarkan penjelasan kami.”
Tanpa bicara, Noa berjalan mendekati Recca. Menatap dengan tajam dan penuh dengan kekecewaan. Tatapan itu lalu beralih, memindai tubuh Recca yang dibalut dengan selimut. Salah satu sudut bibirnya terangkat, lalu memandang remeh kepada wanita itu.
“Aku jelasin semuanya, Noa!”
Tangan Noa terangkat lalu meraih dagu Recca. Memegang dengan kuat, seakan tidak peduli dengan apa yang ingin Recca katakan.
“Kalian enggak perlu menjelaskan apa-apa, aku juga enggak mau dengar!”
“Tapi Noa …”
Noa melepaskan dagu Recca dengan kasar, lalu tangannya menarik selimut yang melindungi tubuh wanita itu. Sontak saja Recca menjerit dan mencoba menahan agar tidak semakin malu karena tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam.
Shaga yang melihat perilaku Noa, langsung memalingkan wajah karena tidak ingin melihat apa yang seharusnya tidak dilihat.
“Sebaiknya kita pergi sekarang,” bisik Shaga.
“Kamu keterlaluan, Noa. Kenapa harus mempermalukan Recca di hadapan laki-laki lain?” tanya Keano dengan nada tinggi sambil membantu Recca menutup kembali tubuhnya. “Kenapa kamu semarah ini padahal hubungan kita …”
Noa segera mendekat lalu melayangkan tamparan keras kepada Keano. “Diam dan jangan bersikap seolah-olah kamu benar! Aku muak berhadapan dengan laki-laki yang enggak punya rasa terima kasih. Harusnya kamu ingat tempatmu, b******k!”
Begitu menyelesaikan kalimat penuh emosi dan juga sinis, Noa berbalik badan lalu meninggalkan kamar tersebut. Shaga mengikuti tanpa mengatakan apa-apa. Membiarkan Noa sibuk dengan isi pikirannya. Namun satu yang Shaga tahu, ada air mata yang menetes namun segera dihapus oleh Noa, begitu mereka meninggalkan apartemen tersebut.
Saat ini Shaga memantau keadaan Noa yang tengah duduk di kursi belakang, melalui pantulan kaca spion mobil. Tidak biasanya gadis itu duduk di belakang. namun kejadian miris di apartemen Keano, membuat Noa bersikap dingin. Shaga pun bingung, harus membawa gadis itu ke mana.
“Mau langsung pulang?” tanya Shaga pelan.
Tidak ada jawaban dari Noa. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil memejamkan mata. Shaga mencoba mengerti dan mengambil keputusan yang tepat meski tanpa persetujuan Noa. Mobilnya perlahan berjalan, meninggalkan area parkir apartemen.
Hampir 20 menit perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Shaga sampai di sebuah taman yang tidak terlalu luas. Kondisi malam tidak terlalu ramai, namun terang akan lampu. Suara air mancur memberi rasa damai. Dalam keadaan kacau, Noa membutuhkan tempat sepi dan tenang seperti ini. Bukan rumah yang akan semakin membuat suasana hatinya menjadi buruk. Dan ia melakukan ini sebagai bagian dari pekerjaan. Tidak ingin saat sudah sampai rumah, justru Noa meminta pergi lagi.
“Kalau mau keluar silakan, kalau mau di mobil juga terserah. Aku bawa kamu ke sini, mungkin kamu butuh tempat untuk menenangkan diri dan aku pastikan tempatnya aman tanpa kamera paparazi,” ucap Shaga sebelum keluar dari mobil.
Sementara itu, Noa yang masih menutup mata, terdengar menghela napas. Perlahan kedua matanya terbuka. Sisa air matanya dihapus, tidak dibiarkan kembali mengalir di pipinya.
Noa menatap Shaga yang sedang berdiri di luar mobil. Gerak-geriknya seperti sedang mengawasi keadaan sekitar. Bagaimanapun, taman ini adalah tempat umum dan keberadaan Noa di malam hari bisa saja memancing rasa penasaran dan curiga orang yang melihatnya.
Sebelum menyusul Shaga keluar, tangan Noa meraih sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah benda diambil dari dalam sana. Sebungkus rokok lengkap dengan pemantik dibawa keluar dari mobil, sebagai obat penenang malam ini.
Kehadiran Noa sedikit mengagetkan Shaga. Tidak menyangka gadis itu akan keluar dari mobil. Apalagi saat ini Noa sedang menyalakan sebatang rokok, lalu dihisapnya dalam-dalam hingga mengepulkan asap dari bibirnya. Shaga tidak tahu kalau Noa punya kebiasaan ini.
“Mau?” tanya Noa karena Shaga terus menatapnya.
Shaga menggeleng. “Aku nggak ngerokok.”
Noa tersenyum sinis. “Jadi tatapan tadi karena heran lihat aku ngerokok?”
“Enggak juga. Aku mau tahu keadaan kamu setelah apa yang terjadi di apartemen.”
“Memangnya kamu berharap keadaanku seperti apa?” tanya Noa sambil menatap Shaga, dengan kembali mengembuskan asap rokok. “Kamu kira aku bakalan nangis histeris atau ngamuk enggak jelas?”
Shaga mengangkat bahunya ringan. “Harusnya begitu, kan? Lihat pacar selingkuh di depan mata, rasanya pasti menyakitkan.”
Noa melempar rokoknya ke bawah, lalu menginjak dengan heels yang dikenakan. Menarik napas dalam, lalu mengembuskan pelan. seperti mengisi paru-parunya dengan udara dingin di taman. Sesak yang dirasakan, tidak ingin ia bagi kepada siapa pun, terutama Shaga.
“Rasanya memang sakit, tapi bukan karena aku cemburu. Tapi aku nggak terima dia selingkuh dengan Recca yang nggak sepadan denganku. Aku nggak mau nanti dibandingkan dengan orang yang karirnya bahkan nggak seberapa. Harga diriku seperti diinjak-injak sama dua manusia sampah seperti Keano dan Recca,” jelas Noa yang mengandung kemarahan.
Mendengar kejujuran Noa, sedikit mengagetkan Shaga. Laki-laki itu memutar badannya, lalu menatap Noa dengan kening mengernyit. “Maksudnya, kamu nggak cemburu?”
“Apa itu penting?”
“Ya tergantung kamu. Maksudku, cemburu atau tidak, itu terserah kamu. Tapi ingat, dia selingkuh, laki-laki b******k itu berkhianat, jadi kamu harus tegas.”
“Kenapa kamu peduli?” tanya Noa dengan tatapan dalam. “Atau ini termasuk bagian dari ikut campur? Kalau iya, kamu menyalahi perjanjian kita, Shaga.”
Shaga mengangkat kedua tangannya. “Sama sekali nggak ada niat ikut campur. Tapi aku Cuma kasihan kalau kamu menjadi bod0h. Memaafkan kesalahan dua orang itu dan tetap bersama-sama adalah keputusan yang nggak masuk akal.”
“Aku nggak suka kalau ada orang yang kasihan sama aku. Dan kamu juga harus tahu, aku nggak sebodoh itu.”
“Lalu?”
“Semuanya nggak sesederhana yang kamu bayangkan, jadi jangan berpikir aku ini pura-pura tutup mata dan melupakan semuanya,” jawabnya. Tatapan Noa terlempar jauh ke depan, tanpa memandang lawan bicaranya. “Kamu nggak akan ngerti, Shaga. Dari sudut pandang kamu, enggak akan pernah tahu bagaimana posisiku. Apa yang ada di depan matamu, nggak seperti apa yang kamu pikirkan.”
“Maksud kamu?” tanya Shaga dengan ruat wajah bingung.
Noa menggeleng dan kembali menghela napas panjang. “Aku capek, ayo pulang,” ucapnya dan berbalik badan.
Shaga menatap punggung Noa dengan segala kebingungan yang menyelimuti pikirannya. Percakapan barusan, sama sekali tidak ia mengerti. Bagaimana isi kepala dan hati seorang Noa saat ini, begitu sulit diselami. Terlalu singkat waktu yang dimiliki Shaga untuk menyelami kepribadian Noa yang sebenarnya.
“Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan saat ini. Tapi si b******k itu, harusnya kamu buang layaknya sampah. Jangan menjadi budaak cinta, karena itu akan membunuh kamu secara perlahan,” teriak Shaga.