Chapt 4. Start of a New Day

2436 Words
..**..             Kencana memang gadis biasa yang selalu punya banyak impian. Tapi ia tidak bermuluk-muluk agar Tuhan mengabulkan semua doanya tanpa terlewat satu pun.             Yang ada di benaknya sejak dulu adalah ia harus berusaha dan berjuang seorang diri agar ia bisa menggapai cita-cita dan membuat semua harapannya menjadi kenyataan. Kencana tahu bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.             Untuk saat ini dan seterusnya, ia tidak pernah berharap mendapatkan teman baik yang bisa ia ajak curhat. Karena pada hakikatnya, seorang teman bisa saja menusuk dari belakang. Kencana tidak mau kalau pada akhirnya ia akan kecewa karena dikhianati. ---**--- Universitas Yara Althafa, Jakarta, Indonesia., Halaman utama kampus., Pagi hari.,             Dia baru saja memarkirkan gerobak siomay miliknya di parkiran umum khusus pengguna sepeda motor. Setelah itu, seperti biasa Kencana akan langsung berjalan menuju ruangan kelasnya.             Pakaian yang ia kenakan hampir sama setiap harinya. Hanya berbeda motif saja. Ia selalu memakai kemeja dan jeans yang ia pakai hampir setiap hari.             Tidak peduli bila tidak banyak teman yang mau berdekatan dengannya karena penampilannya yang mungkin tidak modis. Karena fokus Kencana di kampus ini adalah untuk menggali ilmu, bukan mendapatkan teman yang selalu melihat dari penampilannya saja.             Seiring dengan langkah kakinya terus berjalan, ransel masih bertengger di punggungnya, Kencana melihat jam tangan murah meriah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Masih jam 7 kurang. Ada waktu 1 jam lagi kayaknya,” gumamnya masih terus berjalan ke arah ruangan kelas yang ia tuju.             Dia pikir, lebih baik ia duduk di dalam kelas sambil membuka materi yang akan dibahas hari ini. Kebetulan sekali Dosen mereka sudah memberi materinya beberapa hari lalu.             Setiap pagi, Kencana memang tidak melupakan sarapan paginya agar ia selalu semangat berkuliah di hari kuliah yang sudah terjadwal. Walau sekarang ia sudah tidak berkuliah setiap hari lagi, tapi ia tetap berjualan siomay di kampus ini bila ia tidak memiliki jadwal kelas.             Ia berjalan sangat hati-hati. Namun, entah karena kesalahan apa dia ditabrak oleh seseorang. Bruukkk! “Aahhk!” pekik seorang gadis langsung terjatuh di lantai. Bugghh! “Ya Allah … maaf-maaf,” ujar Kencana langsung membantunya untuk berdiri.             Namun, entah apa salah Kencana hingga membuat gadis itu terlihat takut dan enggan disentuh olehnya. “Ah, iya … maaf, Kakak. Maaf sekali lagi. Saya yang salah,” ujarnya langsung berdiri tanpa mau dibantu oleh seseorang yang sudah ia tabrak.             Kencana tertegun mendengarnya. Dia langsung mengambil totabag berbahan kertas kuat berwarna coklat. Ia sempat melihat isinya, ada beberapa buku materi kuliah disana. Sepertinya, gadis ini mahasiswa baru atau mahasiswa pindahan di kampus ini, pikirnya. “Iya, gak apa-apa. Ini punya kamu. Lain kali hati-hati ya,” ujar Kencana bersuara lembut, menyodorkan totabag itu ke arahnya.             Secepat kilas gadis itu langsung mengambilnya, lalu mengangguk kecil sebagai permohonan maaf. “Maaf sekali lagi, Kakak. Saya permisi,” ujarnya tanpa tersenyum sambil mundur beberapa langkah.             Kencana mengerjapkan mata. Dia bingung melihat gadis ini benar-benar terlihat ketakutan sekali. Saat dia hendak membuka suara, tiba-tiba sepasang orang berpenampilan kemeja serba hitam menghampiri mereka. “Nona baik-baik saja?? Apa ada yang terluka??” tanya seorang wanita bertubuh tinggi seperti dirinya. Dia terlihat sangat khawatir sekali meniti tubuh gadis itu dari atas sampai bawah.             Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak, saya baik-baik saja! Kenapa kalian mengikuti saya?? Saya sudah katakan, kalian tunggu saja diluar kampus!” ketusnya berwajah tidak suka dengan Berbahasa Inggris.             Kencana masih memperhatikan tiga orang ini dengan ekspresi bingung. Tentu dia paham ucapan gadis itu yang berbicara dengan Bahasa Inggris, sebab Kencana juga menguasai Bahasa Internasional itu. Tidak hanya dia saja, tetapi semua orang yang ada di sekeliling mereka ikut melihat ke arah yang sama. Yah, bagaimana mungkin tiga orang di hadapannya ini tidak menjadi bahan perhatian kampus, sedangkan penampilan pria dan wanita ini saja layaknya bodyguard khusus gadis cantik dengan kornea mata yang menurutnya sangat indah.             Dua orang itu merundukan kepala. “Maaf, Nona. Kami melihat Nona terjatuh. Jadi kami langsung berlari kesini. Sekali lagi maaf, Nona.” Wanita itu mewakili ungkapan hati pria yang berprofesi sama sepertinya.             Gadis berambut pendek sebatas bahu itu mulai berwajah kesal. Kakinya sedikit menghentak lantai. Namun, ia sedikit bergidik ngeri melihat tatapan orang-orang mulai menatapnya aneh.             Kencana masih memperhatikan mereka. Tapi ia merasa sepertinya gadis ini benar-benar mahasiswa baru. Mungkin tidak salah jika ia menawarkan bantuan. “Kamu benar gak apa-apa??” tanya Kencana berbahasa Indonesia.             Pria dan wanita itu melirik gadis yang berpakaian biasa saja. Tentu saja mereka akan berjaga-jaga jika saja wanita yang mereka lihat ini mencoba untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. “Iya, Kak. Saya baik-baik aja. Terima kasih dan maaf tadi sudah menabrak Kakak,” ujarnya kembali meminta maaf dengan kepala berulang kali merunduk.             Pria dan wanita itu tampak tidak suka bila Nona Muda mereka terus menerus meminta maaf. “Nona, mari saya antar ke ruangan kelas Anda.” Wanita itu mempersilahkan sang Nona Muda untuk berjalan mengikuti langkah kaki pria yang hendak berjalan ke arah sana.             Kencana melihat gadis itu itu tampak mengangguk. “Maaf, Kakak. Saya duluan ya,” ujarnya langsung berbalik badan tanpa berniat mendengarkan balasan dari wanita yang masih menatap ke arahnya. “Iya, hati-hati.” Kencana hanya melihatnya saja. ‘Sepertinya mereka khawatir sekali kalau gadis itu terluka. Apa mereka bodyguardnya ya?’ bathin Kencana bertanya-tanya.             Jarak mereka belum jauh, hingga suara hati Kencana direspon kernyitan oleh gadis yang menoleh ke belakang, melihat dirinya tanpa ekspresi. ‘Dia cantik sekali. Matanya sangat indah,’ bathin Kencana lagi memujinya. Ia sadar bahwa gadis itu memang sangat cantik alami.             Sekali lagi, gumaman wanita yang menolongnya tadi membuat gadis itu mengulum senyum dan tersipu malu. ‘Ternyata benar kata Daddy kalau Embun sudah cantik sejak dalam kandungan,’ bathinnya memuji dirinya sendiri sambil menutup bibirnya yang hendak tersenyum lebar. Dia terus berjalan mengikuti langkah kaki orang-orang suruhan sang Abang. Sebenarnya dia sebal bila harus diikuti di hari pertama ia berkuliah dan menginjak kampus ini. Tapi, tidak ada pilihan lain selain mengikuti syarat dari keluarganya agar ia bisa berkuliah normal seperti dulu lagi. … 4 jam kemudian., Halaman depan kampus.,             Kencana baru saja keluar dari kampus. Dari kejauhan, ia melihat gerobak siomay miliknya sudah berada diluar gerbang kampus. Ada pamannya disana. Kedua sudut bibirnya mengembang. “Paman cepat sekali datangnya. Untung aku sudah selesai,” gumamnya sambil melangkah lebar menuju arah yang ia lihat.             Pamannya, Seto Rahdiansyah memang tidak pernah mengeluh bila harus ke kampusnya setiap hari hanya untuk menyusun makanan di gerobak siomaynya. Padahal, jarak dari rumah mereka ke kampus ini lumayan jauh.             Kencana bersyukur kalau pamannya ini sangat perhatian padanya. Sebenarnya Kencana tahu kalau Bibinya, Nilam Lestari juga perhatian padanya.             Hanya saja mereka sering bertengkar kalau kedua sepupunya membuat ulah, lalu kemarahan sang Bibi terlampiaskan padanya. Itu yang ia tidak suka dari sang Bibi.             Selama ini ia tinggal dan hidup dengan mereka, bibinya memang tidak pernah mengatur atau menelantarkannya begitu saja. Setidaknya, Kencana bersyukur kalau Paman dan Bibi di keluarganya masih mau memberikan tempat berlindung untuknya.             Dia berjanji ketika sudah sukses dan berpenghasilan sendiri nanti, Kencana akan membalas kebaikan mereka. Dia tidak akan melihat segala hal buruk dari sifat Paman dan Bibinya. Yang Kencana ingat adalah kebaikan mereka terhadap dirinya dan Mbahnya, Sri Hariati yang selalu mendukung cita-citanya. “Paman?!” teriak Kencana sambil melambaikan tangan ke arah sang Paman yang melihat ke arahnya.             Dia semakin melangkah lebar ketika pria berusia 55 tahun itu tersenyum dan mengangguk, membalas teriakannya. Tidak butuh waktu lama untuk seorang Kencana menghampiri sang Paman. “Untung aja Ranu selesai cepat. Kalau gak, Paman bakal menunggu lama disini.” Kencana mendekati sang Paman lalu berniat untuk menyalami tangan kanannya.             Seto tersenyum sambil merapikan beberapa peralatan makan disana. Dia menyodorkann tangan kanannya ke arah Kencana, membiarkan keponakannya menyalam seperti biasa. “Ya gak apa-apa. Orang Paman juga bisa nunggu sebentar disini,” balas Seto melirik Kencana yang mulai menyimpan ransel di kardus yang sengaja disediakan khusus di bawah gerobak.             Kencana mengambil botol minum miliknya, lalu meneguknya. “Makan siang dulu, Ran. Ini tadi bibimu bawakan bekal makan siang. Kalau misalnya gak mau makan siomay, bibimu tadi masak sambal ikan gembung,” ujar Seto memberitahu.             Setelah selesai minum, dia lantas mengangguk kecil. “Iya, Paman. Nanti saja, soalnya Ranu masih kenyang tadi sempat makan roti bareng temen sekelas,” ujarnya memberitahu sambil menyusun kursi dan meja plastik tepat di sebelah gerobaknya.             Seto melihat Kencana sekilas. Dia mengulum senyum melihat keponakannya ini benar-benar giat belajar dan bekerja. Tidak pernah ia mengeluh sedikitpun. Seto benar-benar bangga pada keponakannya yang satu ini. “Nanti kalau apa, pulangnya jangan sore-sore. Kalau gak habis yauda pulang aja. Besok kuliah lagi, kan?” tanya Seto lalu turun dari sepeda motor tua yang menempel di gerobak berwarna coklat itu.             Kencana langsung mengangguk kecil. “Iya, Paman. Lihat nanti. Tapi Ranu gak pulang lewat maghrib kok,” ujarnya sambil mendekati melepas ikatan rambutnya, lalu membenarkan kembali ikatannya agar kencang.             Seto mengangguk paham. Dia memperhatikan sekali lagi gerobak siomay ini, memastikan jika tidak ada apapun yang kurang.             Kencana ikut memperhatikan gerobak miliknya. Dia merasa semua sudah lengkap. “Sudah, Paman. Gak ada lagi. Paman jualan aja,” ujarnya sambil membenarkan posisi wadah sendok dan garpu disana.             Seto mengangguk kecil. “Yauda, Paman berangkat jualan ya? Kamu hati-hati pegang uangnya ya, Ran. Kalau ada apa-apa, telpon Paman aja.”             Kencana langsung mengangguk paham. “Iya, Paman. Hati-hati dijalan ya, Paman. Sebelum maghrib, Ranu bakal uda sampai rumah.”             Seto tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan gerobak siomay itu. “Iya. Laris manis tanjung kimpul. Dagangan habis uang kumpul!” ujarnya sedikit bernada semangat.             Kencana tertawa geli kalau pamannya ini sudah mengucapkan kalimat seperti tadi. Sama persis seperti yang dilakukan oleh bibinya, Nilam sebelum ia berangkat jualan. “Amin! Paman juga. Laris manis tanjung kimpul, dagangan habis uang kumpul.” Kencana menepuk-nepuk gerobak siomaynya.             Setelah itu, Seto berjalan menuju gerobak miliknya yang terletak tidak jauh dari gerobak Kencana. Lalu Kencana mengikutinya dari belakang. “Laris manis tanjung kimpul, siomay habis uang kumpul!” ujar Kencana menepuk-nepuk gerobak milik sang Paman.             Seto tersenyum lebar melihat tingkah keponakannya ini. Walau ia hidup sebatang kara, tapi semangatnya tidak pernah padam. “Yauda, Paman berangkat ya. Kalu ada preman, lapor aja langsung sama satpam disana.”             Kencana mengangguk paham. “Iya, Paman. Tenang aja. Disini aman. Kampus Yara Althafa uda dijaga ketat kok,” ujarnya sambil tersenyum. “Yauda. Paman berangkat ya. Assalamu’alaikum …” “Wa’alaikumsalam, Paman. Hati-hati!”             Dia masih melihat sang Paman memutar arah gerobak siomaynya. “Paman berangkat ya?!” “Iya, Paman! Hati-hati!”             Seperti itulah yang biasa dilakukan oleh Kencana setiap ia harus pergi ke kampus. Yang membereskan gerobak siomaynya pasti adalah pamannya sendiri.             Jika ia tidak kuliah, maka Kencana akan berjualan disini dari pagi hingga siang hari. Setelah itu, ia akan berkeliling dari siang sampai sore hari.             Kencana tidak pernah mengeluh dengan kesehariannya. Begini lebih baik dari pada ia harus berdiam diri di rumah dan mendengar omelan tidak jelas dari bibir sang Bibi, Nilam Lestari. “Oke, semangat Ranu! Ya Allah, lariskan daganganku hari ini! Amin ya rabbal’alamin!” gumamnya sambil menyapu kedua telapak tangannya ke wajah.             Tidak lama ia berdoa, dua orang wanita berjalan ke arahnya. “Babe, siomay 2 dibungkus. Biasa ya … bumbu dan cabenya dipisah aja,” ujar salah satu memberitahu.             Kencana mengangguk kecil. “Oke,” ujarnya menaiki sepeda motornya, lalu mulai menyiapkan pesanan dari pembeli pertamanya. ‘Semoga hari ini laris manis. Amin!’ bathinnya berharap penuh.             Dua orang pembeli itu duduk di kursi plastik yang sudah disediakan. Seluruh mahasiswa kampus ini sudah mengenal siapa Kencana. Mahasiswa berprestasi yang diperbolehkan berjualan siomay tepat di depan gerbang kedua kampus yang sangat luas ini.             Awalnya, banyak sekali yang iri terhadap Kencana dan merasa bahwa pihak kampus sudah pilih kasih. Namun, setelah gosip beberapa tahun lalu beredar luas dan mengetahui bahwa Kencana adalah anak yatim piatu, sejak saat itu tidak ada lagi mahasiswa yang mengolok-olok atau membully Kencana.             Walau masih ada sebagian mahasiswa yang bersikap semena-mena. Tapi mereka tidak sampai menyakiti atau merusak gerobak dagangan Kencana secara diam-diam.             Dia masih sibuk menyiapkan 2 pesanan disana. Namun, telinganya mendengar ucapan dua mahasiswa yang membeli siomaynya. “Eh itu, lihat? Katanya dia cucu dari pemilik kampus ini!” “Serius??” “Iya, serius! Sumpah!” “Aku baru lihat. Tapi tadi aku sempat lihat dia ada di ruangan Rektor sih. Wangi kali dia sumpah!” “Gila lo. Jelaslah …  orang kaya men … katanya dia orang kaya seamerika!” “Buset. Lebay amat lo!”             Kencana mengerutkan kening lalu melihat ke arah yang mereka maksud. Seorang gadis berjalan menuju sebuah mobil mewah yang pintunya sudah dibuka lebar. ‘Loh? Dia kan?’ bathinnya mulai heran. Sebab mahasiswa yang ternyata tadi pagi bertabrakan dengannya ternyata adalah cucu dari pemilik kampus ini. ‘Pantes aja ada pengawal. Orang kaya ternyata,’ bathin Kencana sambil tersenyum tipis. “Katanya dia baru masuk hari ini. Dia pindahan dari Amerika katanya.” “Tadi aku denger katanya dia dikawal aja sih. Ada anak baru bawa-bawa pengawal gitu. Tapi aku gak tahu kalau dia cucu pemilik kampus ini.” “Katanya dia punya banyak Abang gila! Katanya sih ganteng-ganteng.” “Eh sue lo emang. Tapi … aku penasaran sih seganteng apa.” “Eh gila. Tuh anak aja cantiknya da macam Putri Timur Tengah. Apalagi abangnya woii!”             Kencana melihat mereka berdua tertawa lebar. Lalu lirikannya direspon oleh salah satu dari mereka. “Eh, Kencana? Lo da tahu mahasiswa baru pindahan? Itu yang tadi masuk ke mobil. Dia pakai pengawal segala tahu!”             Dia menggelengkan kepala. “Gak tahu sih. Yang cantik tadi ya?”             Mereka mengangguk cepat. “Iya, yang tadi.” “Oh, aku baru tahu sih.”             Kencana tidak mau terlalu merespon sebab ia pikir itu bukan urusannya. Lagi pula, Kencana bukan tipe yang suka membicarakan orang lain. Dia tidak terbiasa dengan kebiasaan itu. …             Dia berjalan keluar dari kampus dan hendak mendekati parkiran khusus yang ada di sekitar pepohonan rindang disana. Namun, matanya melihat ke arah suara yang sepertinya tengah menceritakan dirinya.             Dua orang mahasiswa yang berada di dekat sebuah gerobak jualan disana. Mereka melirik ke arahnya, dan itu membuatnya sangat risih. “Silahkan masuk, Nona.”             Dia menatap ke arah mereka, lalu masuk ke dalam mobil. ‘Memangnya aku kenapa sih? Salah ya kalau aku naik mobil?!’ bathinnya kesal.             Pintu mobil ditutup. Dia mulai berwajah kesal. Dddrrrttt…             Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Dia langsung mengambil ponsel dari dalam tasnya dan melihat siapa yang menghubunginya.             Ternyata ada 1 pesan masuk ke ponselnya. Dia langsung membukanya. Mas sudah sampai bandara. Langsung pulang ke rumah ya. Mas ada bawa kejutan, oke!             Dia mengulum senyum. Abangnya yang satu ini memang selalu bersikap manis dan memberikan kejutan tak terduga untuknya. “Pak, kita pulang sekarang ya.” “Baik, Nona.” * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD