Chapt 3. Bitter Truth in The Past

1931 Words
*** Rumah Seto Rahdiansyah, Jakarta, Indonesia., Ruang keluarga., Malam hari.,             Setelah selesai menikmati makan malam, biasanya mereka akan melipat pakaian bersama di ruang keluarga. Karena pekerjaan ini sudah biasa dilakukan oleh Kencana sejak sebelum orang tua dan saudara laki-lakinya meninggal dunia.             Karena masih sangat hangat, Mbah Sri yang berusia 79 tahun berulang kali menanyakan hal yang sama. “Jadi, tadi kamu benar-benar ndak kenapa-kenapa kan, Ran ?” tanya Sri melirik sang cucu yang tengah melipat pakaian.             Nilam yang juga ikut merapikan pakaian disana, dia menyahut cepat. “Bu … mau berapa kali lah Ibu nanya itu-itu terus ?” “Dia gak kenapa-kenapa. Gerobaknya juga gak lecet!” Sahut Nilam dengan nada sedikit tinggi, sebab pendengaran sang Ibu yang sedikit berkurang.             Sri kembali menganggukkan kepalanya. Dan menonton televisi lagi. Sementara Kencana, dia hanya bisa menghela panjang nafasnya saja. Dia sangat tidak suka jika sang Bibi atau kedua sepupunya berbicara dengan nada tinggi terhadap Mbahnya. Karena menurutnya itu sangat tidak sopan. Baginya, merupakan hal wajar jika pendengaran Mbah mereka sedikit berkurang sebab usianya yang sudah senja. Apalagi penglihatan Mbahnya juga sudah tidak sebagus dulu.             Keadaan seperti ini membuat Kencana tegar dan berjanji akan segera mencari pekerjaan setelah dia mendapatkan ijazah kuliahnya nanti. Dia berjanji akan hidup mandiri dan keluar dari rumah ini. Dia ingin membahagiakan wanita yang selama ini mengurusnya sejak kecil. Mbah yang sangat dia sayangi. Meski dia tahu, Paman dan Bibinya juga tidak sejahat seperti di cerita dongeng. Tapi dia ingin sekali mendapatkan kebebasan dalam segala hal dan menapak langkah kakinya lebih jauh lagi.             Waktu santai mereka habiskan dengan menonton televisi bersama, hingga suara seorang laki-laki terdengar di telinga mereka. “Ini Rendi datang!” Suara pria itu spontan mendapat respon lirikan dari semua orang yang ada di dalam rumah.             Tapi seorang wanita langsung beranjak dari posisi duduknya di sofa. Dia langsung berjalan menuju ruang tamu. “Siapa yang datang, Yah ? Rendi ya ?” tanya wanita itu membenarkan rambutnya yang berantakan. “Puspa ?! Ini Rendi datang!” Teriak pria yang berada di luar rumah.             Dia mempercepat langkah kakinya menuju teras rumah untuk menghampiri pria yang sudah menjadi pacarnya sejak 2 bulan lalu. “Iya, Yah! Ini jalan!”             Sedangkan Kencana yang ada disana, dia hanya diam saja dan tetap melanjutkan pekerjaannya dengan yang lain. Sudah tidak ada lagi perasaan iri atau sedih di hatinya saat mendengar kata Rendi.             Nilam yang ada disana, dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ruang tamu. “Eh … Nak Rendi …” “Masuk sini, masuk …”  Dia bersikap sangat ramah terhadap pria yang usianya 1 tahun diatas putrinya, Puspa Ananda.             Ruangan keluarga dan ruang tamu hanya berbatasan dengan dinding penyekat. Sehingga mereka bertiga yang masih berada di ruang keluarga bisa melihat siapa yang bertamu di jam malam seperti ini. “Maaf ya, Tante. Rendi baru pulang kerja, jadi sekalian mampir. Ini tadi Rendi beli kentucky. Usaha teman yang baru aja buka toko, Tante.” Ucapnya sembari menyodorkan bungkusan berisi kentucky itu.             Nilam tampak sangat renyah menyambut kedatangan Rendi yang sudah dia anggap sebagai calon menantunya sendiri. “Ah … iya, gak apa-apa, Nak Rendi. Aduh malah ngerepotin. Setiap datang ke rumah selalu bawa buah tangan.” Balas Nilam sembari mengambil bungkusan itu. “Duduk dulu, Nak Rendi. Biar Tante buatkan teh hangat ya.” Ucapnya lagi.             Rendi sedikit melirik ke arah ruang keluarga. “Oh iya, Tante. Terima kasih. Kami ngobrol diluar saja.” Ucap Rendi.             Ekspresi Puspa mulai berubah pahit saat melihat Rendi melirik ke arah Kencana. “Yang … ayok kita ngobrol diluar aja.” Puspa menarik lengan kiri Rendi.             Rendi tersenyum dan mengangguk pelan. “Iya, Yang.” Jawabnya.             Nilam tersenyum dan hendak berjalan ke arah dapur. “Kalian ngobrol di luar saja ya.” Nilam melirik ke arah luar, melihat putri dan kekasihnya sudah duduk disana.             Langkah kakinya menuju dapur, dia melirik Kencana yang tampak menikmati tontonan mereka. “Kamu mau Kentucky gak ?” “Ini Rendi bawa banyak.” Tanya Nilam dengan nada datar. Ekspresi seperti sangat enggan menawarkan pada Kencana.             Mbah Sri melirik ke arah Kencana. “Ran ?  Itu kamu mau ndak, Nduk ?” Dia turut menyadarkan Kencana dari lamunannya.             Kencana menggelengkan pelan kepalanya. “Nggak, Bi. Kencana dah kenyang.” Jawabnya melirik sang Bibi sekilas dan kembali membuang wajahnya ke arah televisi. “Ya sudah kalau tidak mau.” Balasnya langsung berjalan ke arah dapur.             Tiba-tiba suara wanita yang juga duduk disana, dia berjalan cepat menuju dapur mengikuti sang Mama. Namun dia sedikit menyindir Kencana. “Kenapa gak mau, Mbak ?” “Masih belum terima ya ? Kalau Mas Rendi berpaling ke Mbak Puspa ?” Pita menyindirnya dengan nada terdengar mengejek. Dia berjalan menuju dapur, dan tidak menghiraukan Kencana yang meliriknya.             Mbah Sri yang paham, dia melempar senyuman tipis ke arah cucu kesayangannya. “Udah, Nduk. Jangan diambil hati omongan Pita. Dia masih kecil …” “Lagian, jodoh ndak kemana.” Ujar Sri lagi seraya mendinginkan hati Kencana.             Kencana tersenyum ke arah wanita yang sangat dia sayangi itu. “Iya, Mbah. Ranu gak apa-apa, kok. Ranu sama Mas Rendi kan memang putus baik-baik.” Jelasnya jujur.             Karena Kencana memang sudah melupakan hubungan mereka. Mungkin awalnya dia merasa sakit hati. Tapi setelah dia memikirkan cita-cita yang dia impikan setelah wisuda, akhirnya dia mencoba mengalah pada egonya sendiri. Dia menganggap semua cobaan ini sebagai jalan Tuhan untuk mempertemukan dirinya dengan harapan baik dan orang-orang baru yang mungkin akan membuatnya mampu mewujudkan segala cita-citanya selama ini. ..**.. Yah, Kencana sudah menjalani hubungan dengan Rendi selama hampir 1 tahun. Mereka bertemu saat Kencana tengah berjulan siomay di sekitar bengkel, tempat dimana Rendi bekerja.             Selama menjalani hubungan dengan Rendi, Kencana memang menganggapnya biasa saja dan menjadikannya sebagai tempat untuk mencurahkan segala isi hatinya. Kencana sama sekali tidak menganggap Rendi hanya memanfaatkannya. Karena dia pikir, tidak ada yang bisa Rendi manfaatkan dari dirinya.             Tapi setelah Rendi sering berkunjung ke rumah, sikap Rendi mulai berubah ketika sepupunya, Puspa ikut bergabung dan mengobrol bersama dengan mereka. Awalnya Kencana tidak pernah menduga jika Rendi akan mengkhianatinya.             Lambat laun, seiring dengan sikap dingin Rendi yang jarang membalas pesannya. Akhirnya Kencana mantap bertanya pada Rendi. Dia mengajak Rendi untuk bertemu di sebuah taman, tempat dimana Kencana biasa berhenti dan mencari tempat bagus untuk mencari pelanggann baru.             Kencana yang memang sangat jujur dan tidak suka berbasa-basi, dia langsung menanyakan mengenai perubahan sikap Rendi selama beberapa minggu terakhir. Bahkan pria yang saat itu masih menjadi kekasihnya juga tidak lagi datang ke rumah.             Dan entah kenapa, Rendi juga berterus terang mengenai perasaannya terhadap Kencana. Bahkan dia jujur padanya jika dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Kencana dan hanya menyukai parasnya yang cantik. Rendi juga mengakui dengan jelas jika dirinya merasa malu memiliki kekasih penjual siomay keliling. Keluarganya juga tidak menyetujui hubungan mereka untuk terus dilanjutkan ke tahap serius.             Kencana terdiam mendengar pernyataan Rendi saat itu. Dia merasa terbodohi dengan sikap baik dan sopan Rendi terhadapnya. Dan dia mulai menarik dirinya atas kenyataan hidup yang tidak bisa dia hindari. Bahkan gendang telinganya seakan mau pecah saat mendengar pernyataan Rendi bahwa dia sudah menjalin hubungan dengan sepupunya sendiri, Puspa Ananda. Kencana sangat syok mendengar pernyataan Rendi, hingga dia tidak bergeming selama beberapa menit.             Kencana tidak marah atau memaki Rendi. Saat itu, logikanya bermain cepat. Dia langsung mengatakan bahwa hubungan mereka memang harus putus dan tidak bisa diteruskan lagi.             Rendi menyetujuinya. Dan mereka berpisah secara baik-baik. Ekspresi Kencana saat itu benar-benar membuat Rendi berpikir keras.             Sama sekali tidak ada air mata yang jatuh saat dia mengatakan telah berselingkuh dan sudah menjalin hubungan dengan Puspa selama 2 minggu terakhir. Bahkan Rendi sempat berpikir, apakah Kencana sudah memiliki pria idaman lain sebelum dirinya berselingkuh dengan Puspa.             Sejak keputusan mereka saat itu, Kencana mulai menata hidupnya lagi. Dia hampir berpikir, jika pria tidak akan mau menerima statusnya yang sudah seperti ini. Apalagi dia tidak memiliki apa-apa yang patut untuk dibanggakan.             Dia merasa jika dirinya memang harus berjuang lebih keras lagi agar mendapatkan kehidupan lebih baik dari ini. Agar dia tidak disepelekan oleh pria manapun.             Dan setidaknya, ada yang bisa dibanggakan dari dirinya untuk bisa diterima oleh keluarga calon suaminya kelak. Meski hatinya menjerit keras seakan hidup tidak berpihak padanya. Tapi Kencana tetap memegang teguh prinsip hidupnya untuk tidak mau kalah dengan takdir.             Dia akan mengubah takdir hidupnya sendiri. Kencana yakin, usaha yang dibarengi dengan doa, tidak akan membuat Tuhan menjauh darinya.             Dan Kencana semakin yakin saat dirinya masih dipercaya memegang beasiswa sampai akhir pendidikannya. Dia yakin bahwa Tuhan selalu mendampingi hari-harinya selama ini. … Kamar Kencana.,             Setelah selesai merapikan pakaian hari ini, Kencana memilih untuk tetap di kamar. Dia lupa bahwa besok ada kelas baru yang ingin dia ikuti bersama dengan teman-temannya yang lain.             Dia juga tidak bisa tidur diatas jam 10 malam. Sebab dia harus bangun lebih awal untuk mencuci pakaian serta membantu Paman dan Bibinya menyiapkan siomay untuk berjualan esok hari.             Saat dia tengah membalas pesan di grup satu jurusannya, Mbah Sri masuk ke dalam kamarnya. “Ran, besok kamu jualan keliling atau jualan di kampus, Nduk ?” tanya Mbah Sri langsung duduk pada bibir ranjang kecilnya.             Kencana yang tadinya sudah berbaring disana, dia beranjak dan duduk di samping sang Mbah. “Besok Ranu jualan di kampus, Mbah. Soalnya ada mata kuliah yang mau Ranu ikuti.” Jawabnya sambil memeluk sang Mbah dan menciumi pipi kanannya.             Sri tersenyum dan mengelus pelan lengan kanan cucunya. “Tapi katanya tinggal nunggu ujian aja toh ?” Dia kembali bertanya, seakan pertanyaan itu belum pernah dia lontarkan.             Kencana tersenyum geli. Sebab Mbahnya selalu mengulang pertanyaan yang sama. “Iya, Mbah. Memang tinggal nunggu ujian aja, kok. Tapi ini mata kuliahnya jarang-jarang ada. Jadi siapa aja boleh ikut, Mbah. Karena dosennya langsung datang dari luar negeri.” Jawab Kencana dengan bahasa yang mudah untuk dimengerti oleh sang Mbah.             Mbah Sri mengangguk paham. Dia kembali berdiri dan menarik selimut Kencana. “Yowes. Bobok ya, Nduk. Udah malem. Besok kamu bangun pagi, biar gak kesiangan.” Ucapnya seraya menasehati anak kecil.             Kencana tertawa geli dan menerima semua perlakuan dari Mbahnya. Padahal jam masih menunjukkan pukul 9 malam. “Iya, Mbah. Ranu bobok. Mbah juga bobok yah.” Ucapnya meletakkan ponselnya di sisi kirinya dan diangguki iya oleh Mbahnya.             Mbah Sri keluar dari kamarnya. Dan Kencana tidak mengingatkan sang Mbah kalau Mbahnya juga tidur di kamar yang sama dengannya.             Kencana sudah terbiasa dengan sifat pelupa Mbahnya. Karena dia tahu, Mbahnya akan kembali ke kamarnya dan tidur di sampingnya nanti.             Melihat Mbahnya sudah keluar dari kamar, Kencana masih terus tertawa geli. Tidak masalah baginya jika sang Mbah terus mengulang pertanyaan yang sama.             Karena bagi Kencana, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Dan batas usia manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya. ‘Mbah … Mbah harus tetap sehat ya, sampai Ranu wisuda nanti …' ‘Kalau bisa, sampai Ranu menikah dan punya anak nanti.’ Bathinnya seraya bergumam sekaligus berdoa penuh harap pada Tuhan.             Dia mengambil kembali ponselnya dan mengaktifkan alarm pagi. Tidak lupa baginya membuat jaringan ponselnya dengan mode pesawat. Tidak lupa dia berdoa sebelum tidur.             Biasanya, Kencana akan mengkhayal banyak impiannya setelah berdoa. Dia juga gadis biasa yang menginginkan banyak cita-cita menjadi kenyataan.             Apalagi impiannya untuk berfoto wisuda dengan keluarganya hanya angan-angan di awan saja. Itu tidak mungkin terjadi, sebab semua telah terjadi begitu cepat. ‘Ya Tuhan … bisakah aku mendapatkan keluarga yang mau menerimaku sebagai anak sendiri ?’ ‘Apakah impianku itu terlalu mahal ?’ Bathinnya sembari memejamkan kedua matanya.             Kencana sangat menginginkan bulan bersinar dalam hidupnya. Meski tak banyak bintang yang datang menyapa. Setidaknya ada bulan yang akan selalu menyapanya ketika malam mulai larut. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD