Chapt 6. The Perfect Joke. Shock

3128 Words
Dia kembali melihat penampilan sang Abang dari atas sampai bawah. Bagaikan ingin memperhatikan sesuatu yang sempurna, pandangan utama Embun fokus pada bagian atas yang sangat silau di matanya. Tidak hanya Zhain, Dyrta, dan Gaza, tetapi Chandani dan Chandly juga mulai melepas tawa tatkala ekspresi Embun yang tidak biasa, seakan ia tengah melihat sesuatu yang sangat spektakuler. “Ayo … tampan, tidak?? Tentu saja Mas tampan,” gumamnya bangga memuji diri sendiri, dia masih terus bersedekap dadda, membiarkan sang Adik, Embun menatap lekat dirinya.             Wajah Dyrta sudah memerah melihat putrinya begitu terkejut dengan penampilan baru putranya yang paling jahil itu. Dia tidak tahan dan segera duduk disana sambil menutup rapat wajahnya. “Sayang! Wajah kamu!” Chandly mendekati sang suami sambil mengusap lembut rambutnya. Walau sebenarnya ia juga tidak bisa menahan tawa.             Gaza juga berwajah sama. Rasanya baru kali ini ia tidak sanggup menahan tawa melihat ekspresi Embun yang benar-benar diluar dugaannya.             Dia berjalan mendekati sang Eyang, Zhain. Lalu duduk di kursi tepat di sisi kirinya. “Mas! Wajah kalian sampai memerah!” ujar Zhain masih ikut tertawa. “Eyang tidak sadar?? Wajah Eyang juga merah,” ujar Gaza terus tertawa geli.             Chandani ikut menahan tawa. Dia mengusap lembut rambut panjang cucunya, Bening yang kini duduk di sisi kanannya. “Sudah-sudah. Masa Masnya diketawain terus dari tadi. Kasihan dia,” ujar Chandani seraya membela cucu kesayangannya, Gamal.             Yah, semua cucunya adalah cucu kesayangan. Tapi dia tidak mau jika penampilan baru cucunya terus menjadi bahan bulanan-bulanan mereka. Karena ia tahu kalau Gamal memang sudah berniat dari dalam hatinya. “Mas Gamal! Jangan dekat-dekat sama dinding!” ketus Bening masih terus tertawa. Sebenarnya dia tidak mau terhanyut, tetapi sikap mereka membuatnya ikut tertawa.             Dyrta melihat ke arah putranya, Gamal. “Mas??” panggil Dyrta hingga membuat Gamal menoleh ke arahnya dengan senyuman bangga.             Embun ikut menoleh ke arah sang Daddy. “Awas ada cicak jatuh. Nanti dia kepleset,” ujar Dyrta tidak berhenti tertawa.             Gamal mengangguk-angguk seperti layaknya seorang jin yang akan mengabulkan permohonan Tuannya. Dia sudah biasa menjadi bahan bulanan-bulanan. Lebih tepatnya, setelah mereka kembali ke mansion dengan penampilan baru. “Mas Gamal, jangan nyender ke dinding. Sini,” ujar Embun menarik tubuh sang Abang.             Tentu saja Gamal mengikuti gerakan sang Adik. Dia masih tersenyum bangga dan bersedekap d**a, menunggu respon dari Embun. “Gimana?? Hmm??”             Embun masih mendongakan wajahnya, menatap sang Abang dari atas sampai bawah. Kemeja putih dan celana hitam panjang. Lalu, rambutnya telah hilang. Yah, begitulah yang ada di benak Embun saat ini. “Mas??” “Hmm??” Gamal sedikit merundukan tubuhnya hendak menyentuh ujung hidungnya dengan ujung hidung adik kesayangannya ini.             Bening masih menutup wajahnya dan mengintip reaksi mereka dari balik sela-sela sepuluh jemarinya. “Embun, awas! Hati-hati!” sahut Bening menahan tawa.             Gaza sudah meredakan tawanya. Dia tidak tahan sebab perutnya sudah sedikit tegang.             Begitu juga dengan Dyrta yang sudah memeluk tubuh sang istri yang masih berdiri di sisinya. Dia menarik satu kursi disana, menyuruh sang istri untuk duduk di sisi kirinya. “Duduk disini, Sweety.” Suaranya masih meninggalkan sisa-sisa tawa.             Chandly terus menggeleng kepala, melihat mereka benar-benar terhibur dengan penampilan baru dan sikap putranya yang satu itu, terlihat sangat bangga sekali.             Embun mengangkat tangan kanannya, lalu menegakan jari telunjuk ke arah kepala sang Abang. “Mas Gamal, ini??”             Gamal langsung mengangguk mantap. Terserah jika keluarganya terhibur dengan penampilan baru mereka.             Awalnya, dia memang sedikit sakit hati. Tapi setelah sehari berlalu dengan penampilan barunya, ia menjadi percaya diri dan menganggap bahwa penampilan barunya bisa membuat keluarganya terhibur. “Iya … gimana?? Bagus tidak??” tanya Gamal bersuara lembut, menatap lekat manik mata indah yang dulu terselip ketakutan hampir setiap hari.             Embun menggelengkan kepalanya seraya menjawab jujur. “Mas Gamal—”             Semua orang saling melirik satu sama lain ketika melihat Embun menghentikan ucapannya. “Mas Gamal kayak tuyul,” ujarnya jujur dengan ekspresi datar sambil mengerjap perlahan.             Semua orang tertawa mendengar ungkapan jujur Embun. Bukan mereka tidak paham jika Gamal persis seperti tuyul. Tetapi mereka tidak mau mengatakan hal itu demi menjaga hati Gamal.             Berbeda jika yang mengatakan tuyul adalah seorang Embun Yara Adyrta Althaf. Sebab Gamal tidak akan bisa berkutik bila Embun yang mengatakan itu.             Lihat saja wajah Gamal sekarang. Dia terlihat biasa saja bahkan seolah tidak mendengar ungkapan jujur Embun barusan.             Gaza yang terbiasa diam dan tidak pernah mau merespon banyak kejadian di sekitarnya bila itu menyangkut hal-hal lucu, kini ia ikut tertawa. Bagaimana mungkin dia tidak tertawa, sebab dia sendiri tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan ekspresi Embun sekarang ini.             Antara terkejut dan ingin tertawa. Tapi ekspresi Embun terlihat syok. Astaga, Gaza benar-benar akan melanjutkan tawanya sampai nanti malam. “Kok Mas Gamal mau seperti ini sih?? Kayak tuyul beneran,” ujar Embun mengerutkan kening. Dia merasa kurang suka dengan penampilan Abangnya yang gundul seperti sekarang ini.             Semua terus tertawa melihat ekspresi Embun. Terutama sikap Gamal yang begitu santai.             Gamal semakin merundukan tubuhnya, lalu menyentuh ujung hidung sang Adik dengan ujung hidungnya. “Tuyul?? Tuyulnya tampan kan, hmm??” gumamnya masih tersenyum manis menaik-turunkan kedua alisnya. ..**..             Sejak kejadian nahas itu, Gamal merasa bahwa ia ingin sekali melepas kesialan dalam hidupnya. Waktu itu, saat dia berada di tempat kejadian. Rambutnya basah karena bercak darah sang Adik yang menempel di tangannya.             Dia sempat menyentuh darah yang keluar dari sela pahha sang adik, Embun. Tanpa sadar darah itu mengenai rambutnya. Beberapa hari setelah kejadian itu, tepatnya saat sebelum mereka memutuskan untuk menetap di Jakarta. Gamal mengutarakan niatnya kepada saudaranya, Aiyaz. Dia ingin mencukur habis rambutnya lalu membuat coretan di tubuhnya berupa tato bila Embun pulih dengan cepat. Lalu entah kenapa ternyata Aiyaz juga berpikiran sama.             Awalnya Aiyaz hanya berpikiran ingin mencukur habis rambutnya saja. Tetapi ide Gamal untuk mentato tubuh juga tidak salah.             Sejak kesepatakan dan janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua dan Tuhan, Aiyaz dan Gamal tetap yakin ingin mencukur habis rambut mereka lalu mentato tubuh setelah Embun sudah sehat seperti sedia kala. Tidak peduli soal tato yang mungkin akan membuat murka Mommy mereka terutama sang Grandma, Anta yang super duber cerewet.             Sebab mereka bisa saja berlindung di bawah ketiak sang Daddy, Dyrta yang juga memiliki tato. Yah, sedikit nakal di usia matang seharusnya sudah menjadi hal yang wajar.             Tidak masalah jika tato akan membawa sedikit pasal baru, karena mereka bisa membawa-bawa nama sang Daddy, Adyrta Abraham Althaf. Terdengar licik, tapi bukankah seorang Ayah seharusnya melindungi putranya? Seorang Ayah juga menjadi panutan, bukan? Begitulah kalimat nakal yang sudah tersemat di otak licik Aiyaz dan Gamal. … “Tuyul?? Tuyulnya tampan kan, hmm??” gumamnya masih tersenyum manis.             Embun mundur beberapa langkah ke belakang. Dia semakin mengerucutkan bibirnya, lalu menoleh ke arah sang Mommy. “Kok Mommy ngizinin Mas Gamal kayak tuyul gini sih, Mom?! Mas Gamal jadi kayak tuyul beneran tahu, Mom!” ujarnya mulai memberi kritikan pedas.             Dyrta berusaha untuk mendatarkan ekspresi wajahnya. Dia tidak mau menjadi sasaran empuk gadis kecilnya itu. “Sayang?? Cucu Eyang, ayo sini … duduk di sebelah Eyang. Mas tolong pindah kesana, biar Embun duduk di samping Eyang,” ujar Zhain seraya menyuruh Gaza untuk berpindah kursi. “Iya, Eyang.” Gaza langsung beranjak dari duduknya dan berpindah tempat.             Chandly beranjak dari duduknya, dia mengambil segelas air mineral untuk putrinya, Embun. “Mas Gamal mau buat pengalaman hidup baru, Sayang. Ayo, minum dulu ini.” Dia mendekati sang putri, lalu menyuruhnya duduk, menyodorkan segelas air mineral itu agar segera diminum oleh Embun.             Gamal masih terus melebarkan senyumnya. Dengan bangga ia berjalan menuju kursi makan berada tepat di sebelah kanan sang Adik, Bening. Ia duduk disana.             Dia melihat ada beberapa totabag makanan yang tersedia diatas meja makan. Gamal segera mengambilnya. “Wooww. Beli apa kamu, Princess??” tanya Gamal masih memanggil gadis itu dengan panggilan sayang mereka.             Bening ikut membuka sebagian totabag makanan itu. Dia tahu kalau totabag makanan itu dibeli di toko kue milik pria yang mereka kenal. “Sepertinya enak. Hahhh?? Kue pastel?? Ini kesukaan Kak Bening!” antusias Bening ketika ia membuka bungkusan berisi kue-kue favorit mereka.             Selesai meminum air mineral itu sampai habis, Embun menoleh ke arah mereka. “Tadi Embun sengaja singgah ke toko Cherry. Kak Beryl bilang dia sudah menitipkan kue buat Embun,” jelasnya memberitahu.             Gamal langsung mendatarkan wajahnya saat mendengar penjelasan itu langsung dari mulut Embun. Bukan ia tidak tahu kalau nama totabag itu memang toko milik Beryl. Tapi ia juga tidak mau bila Embun terus menerus menyebut nama Beryl di hadapannya. Walau ia tahu kalau Beryl yang berhasil menyembuhkan traumatis Embun.             Chandly langsung mengambil alih semua totabag makanan itu. Saat ia tahu bahwa Gamal hendak mengambil satu kue dari dalam kotak berukuran sedang disana, dia langsung memukul pelan tangan sang putra. Plakk! “Cuci tangan dulu! Kebiasaan kali!” ketus Chandly menatap tajam putranya.             Bening langsung saja mengambil kue itu dan memakannya. “Itu Bening langsung makan, Mom.” Gamal mencoba untuk mencari kambing hitam.             Tiba-tiba saja raut wajah Bening berubah jadi kecut. “Enak aja! Bening udah bersihkan tangan lah yauu! Pakek nyalahin orang! Wooo!” ujarnya lagi sambil berwajah kesal sedikit mendengus ke arah sang Abang.             Gaza mengambil sebotol cairan antiseptik, lalu meneteskan beberapa tetes cairan itu di kedua telapak tangannya. Dia menyodorkan botol itu ke arah sang Daddy, Dyrta.             Gamal senyam-senyum menanggapi ucapan sang Adik, Bening. Sudah biasa baginya bila dijawab ketus oleh gadis cantik itu.             Chandly mengambil botol antiseptik lain yang tersedia diatas meja makan, lalu menyodorkan ke arah Gamal. Takk! “Pakai ini dulu, baru ambil makanan!” ketusnya menghentkan botol antiseptik sedikit bernada.             Gamal mengulum senyum sambil mengambil botol antiseptik dari tangan sang Mommy. Namun, ia menyempatkan diri mengusap lembut jemari kanan wanita yang kini menatapnya tajam. Plakk! “Jangan gatal ya, Mas! Kamu ini! Lama-lama sama kayak Bapakmu!” ketus Chandly kembali mengeluarkan taringnya.             Zhain mengulum senyum melihat tingkah Gamal yang tidak pernah ada habisnya. Chandani yang sudah terbiasa dengan sikap cucunya yang satu itu, dia hanya menggelengkan kepala saja.             Berbeda dengan Dyrta yang sudah menatap tajam putranya yang satu itu. Dari posisi duduk berjarak, ia berjaga-jaga kalau saja putranya membuat ulang semakin menjadi-jadi.             Chandly membuka semua bingkisan yang dibawa pulang oleh Embun. Tanpa berniat untuk menyalinnya di sebuah piring, ia langsung mengambil satu kue disana, lalu memakannya. “Ini makan. Letak disini aja lah ya. Gak usah disalin lagi,” ujarnya sambil berjalan menuju rak kecil khusus penyimpan minuman botol berukuran kecil. Dia membawanya menuju meja makan. … Beberapa menit kemudian., “Mau ini atau ini?” tawar Zhain pada cucunya yang sudah duduk tepat di sebelah kanannya. Diantara dia dan sang istri, Chandani.             Setelah Gaza memakan beberapa kue disana, dia beranjak dari duduknya. Sreek… “Mas mau mandi dulu,” ujarnya sambil menjangkau sebotol air mineral, lalu membawanya.             Chandly melirik putranya. “Kalau ada pakaian yang kurang bilang sama Mommy,” ujar Chandly memberitahu sang putra.             Gaza mengangguk kecil. “Iya, Mom.”             Chandani mengerutkan kening. “Semua pakaian mereka disini lengkap. Eyang selalu memeriksanya. Pergi mandi sana. Mas Gamal juga mandi sana, biar segar. Kalian baru sampai harus mandi dulu,” ujar Chandani beruntun.             Mereka semua mengangguk kecil. “Iya, Eyang. Mas ke atas dulu,” ujar Gaza berjalan keluar dari area dapur. Dia mengambil ponsel dari balik saku celana hitam panjangnya. Terdapat notifikasi satu pesan di ponselnya, dia langsung membuka pesan itu tanpa membacanya. Mas uda sampai di rumah Eyang?             Sedangkan yang lain, mereka masih berada di dapur untuk duduk bersama. “Iya, Eyang. Habis ini Kak Bening mandi,” ujarnya sambil terus mengunyah makanan di mulutnya sambil bermain ponsel. Sreekk… “Saatnya mandi!” ujar Gamal memasukan semua kue yang tersisa di tangannya. Dia mengambil sehelai tissue dari kotak berwarna hijau disana.             Embun mendongakan kepala melihat gerakan tiba-tiba sang Abang. Dia masih terus mengulum senyum sambil menahan tawa. “Mas, tunggu!” ujar Embun spontan.             Gamal melihat Embun dan bertanya ada apa hanya dengan lirikan mata saja. “Mas gak risih digundul begitu??”             Semua orang hampir menyemburkan tawa mendengar pertanyaan polos Embun. Berbeda dengan Gamal yang justru mendekati sang Adik yang duduk diantara kedua Eyang mereka. “Tidak. Memangnya Embun risih lihat Mas begini??” tanya Gamal berusaha menebak ekspresi sang Adik.             Embun mengangguk kecil. “Iya. Embun cuma takut Mas bakal sering masuk angin karena kepalanya gundul begitu,” ujarnya tanpa basa-basi.             Bening menyemburkan tawa selebar-lebarnya. Dia tidak tahan melihat keluguan ekspresi dan ucapan Embun beriringan. “Kakak! Lagi makan! Nanti tersedak!” ketus Chandly mengingatkan putrinya.             Dyrta mencoba untuk tidak tertawa sebab tatapan tajam dari Ayah mertuanya, Zhain sudah membuatnya paham. Dia tahu kalau mereka tidak mau membuat Gamal sakit hati dengan tawa bertubi-tubi.             Berbeda dengan Gamal yang sebenarnya merasa biasa saja. Bahkan dia saja tidak peduli bila semua pekerjanya menatap aneh ke arah dia. “Tidak masalah. Nanti Mas beri minyak angin banyak-banyak di kepala Mas,” sambung Gamal menyempatkan diri mengecup puncak kepala Embun.             Dia kembali melanjutkan langkah kakinya hendak pergi menuju kamar. Namun, belum sempat ia keluar dari sana, Bening langsung menyahut. “Mas Gamal sama Mas Aka gundul sehari sebelum kami berangkat ke Jakarta, Embun.”             Dia membelalakkan mata, mendengar penjelasan sang Kakak barusan. “Jadi Mas Aka juga gundul, Kak??” tanya Embun sambil melihat Daddy dan Mommy-nya.             Anggukan kepala mereka membuat Embun berusaha menahan tawa. “Mas Gamal! Kenapa Mas Gamal dan Mas Aka digundul?!”             Gamal melirik sekilas ke arah mereka, dia hanya mengendikan bahu saja dan tidak mau memberitahu alasan pastinya. “Karena kami mau membuat pengalaman baru, Princess! Mas mandi dulu, bye!” ujarnya berlalu dari sana sambil melangkah lebar.             Dyrta terus mengulum senyum melihat ekspresi sang putri yang masih menatap tidak percaya dengan penampilan baru Abang mereka, Gamal. “Mas Aka gundul juga ya?? Berarti Mas Aka juga seperti tuyul,” gumam Embun masih berpikir keras.             Zhain menoleh ke kanan, dia membelai lembut rambut sang cucu. “Sudah. Kenapa harus dipikirkan seperti itu? Nanti kan rambut Mas Gamal tumbuh lagi,” ujar Zhain.             Tiba-tiba saja Embun mengingat sesuatu. “Dimana ponsel Embun??” ujarnya bertanya dan langsung melihat kursi di ujung sana. “Kak Bening, tolong ambilkan ponsel Embun di tas!” ujarnya dengan sikap terburu-buru.             Chandly langsung beranjak dari duduknya. “Biar Mommy yang ambilkan,” sahutnya. Dia berjalan menuju kursi yang berada tidak jauh darinya, lalu mengambil tas Embun. “Ini, Sayang. Memangnya mau ngapain??” tanya Chandly penasaran.             Embun mengambil tasnya dari tangan sang Daddy. “Embun mau nelpon Mas Aka! Embun harus lihat dan memastikan sendiri kalau Mas Aka juga kayak tuyul!” ujarnya sambil mencari ponsel yang ia simpan di dalam tasnya.             Dyrta menggaruk kening, melihat sikap putrinya yang satu ini benar-benar diluar dugaannya. “Embun, tapi disana masih tengah malam loh! Kan waktu Jakarta sama New York itu beda,” ujar Bening melirik Embun.             Tiba-tiba saja gerakan tangan Embun melambat. “Oh, iya. Embun lupa,” ujarnya dengan bibir sedikit maju satu senti.             Zhain terus mengusap lembut rambut cucu cantiknya. “Besok kan bisa? Atau nanti malam nelpon Mas Aka,” ujar Zhain.             Dyrta mengangguk kecil sambil mengunyah makanan. “Iya, Queen. Kalau malam disini, disana kan pagi. Disana pasti sedang sarapan pagi,” ujarnya membuat paham putrinya, Embun. “Iya sih, Dad. Ya sudah, nanti malam saja,” ujar Embun dengan ekspresi tidak bersemangat. Sreekk… “Kakak mau ke atas sebentar. Lupa mau ngambil charge ponsel sama Mas Gamal,” ujarnya memberitahu sambil beranjak dari duduknya.             Chandani tersenyum melihat cucu cantiknya ini sudah dewasa dan pintar bergaya. “Cium Eyang dulu, Sayang.”             Bening merundukan tubuhnya, lalu mengecup pipi kanan dan kiri sang Eyang. “Kak Bening belum mandi, Eyang.”             Yang lainnya ikut mengulum senyum. “Tidak apa-apa. Dulu Eyang suka nyium kalian pas kalian baru bangun tidur,” sahut Zhain sambil memberi isyarat tangan bahwa ia juga ingin dicium.             Bening berjalan menghampiri sang Eyang, Zhain dan memberinya ciuman di pipi kanan dan kiri. “Kak Bening ke atas dulu ya, Eyang. Sekalian mau mandi juga,” ujarnya memberitahu setelah ia selesai memberi ciuman kasih sayang untuk Eyang kakung, Zhain.             Sementara Dyrta, dia memperhatikan ekspresi bahagia kedua mertuanya. Ketika berkumpul seperti ini, hatinya ikut merasakan kebahagiaan mereka.             Dia menyadari bahwa dia akan berada di posisi yang sama kelak. Sebisa mungkin dia tidak mau melewatkan waktu berharga ketika sedang berkumpul seperti ini. Karena dia tahu bahwa mertuanya tidak mungkin menemani mereka selamanya di dunia ini, sama seperti dia. “Hati-hati naik tangganya ya, Sayang.” Chandani mengingatkan cucunya yang memakai sepatu sedikit bertumit. “Iya, Eyang. Bye, Eyang! Emuuahh!” ujarnya melambaikan tangan kecil ke arah mereka sambil melihat ponsel.             Chandly menggelengkan kepala sambil menghela panjang napas. Putrinya yang satu benar-benar susah untuk diberitahu. Sudah berulang kali ia mengingatkan Bening, kalau dia harus membedakan cara bicara dengan sesama saudara atau teman dengan cara bicara terhadap orang tua. “Sudahlah. Namanya juga anak gadis,” ujar Chandani melihat putrinya, Chandly yang ia tahu tengah memperhatikan sikap cucunya, Bening tadi.             Sementara Embun, dia masih betah disana. Seperti biasa, dia akan berbincang beberapa hal mengenai hari pertamanya berkuliah. Dia juga menceritakan kejadian saat ia tidak sengaja menabrak mahasiswa lain yang ternyata kakak kelasnya yang berbeda jurusan.             Banyak sekali hal yang Embun ceritakan kepada Daddy dan Mommy-nya, juga kedua Eyangnya. Sambil menikmati kue yang tersedia, mereka yang lebih dewasa juga sesekali menanggapi celotehan Embun. … Kamar Gamal.,             Tidak membutuhkan waktu lama bagi Bening untuk sampai di kamar Abangnya. Tokk… Tokk… Tokk… “Mas?? Mas dimana charge ponsel Bening??” Tokk… Tokk… Tokk… “Mas Gamal???”             Dia terus menyapa sang Abang dengan sapaan bergelombang seakan sedang bernyanyi. Saat dia hendak mengetuk pintu kembali. Ceklek… “Untung aja Mas belum mandi,” ujar Gamal sambil menyodorkan charge ponsel milik adiknya.             Bening melepas pandangannya dari ponsel, lalu menatap sang Abang yang sudah bertelanjang dadda. Dia langsung mengambil charge ponselnya. Deg! “Hahhh??”             Gamal mengerutkan kening, melihat ekspresi Bening. “Ada apa??” tanyanya penasaran.             Bening syok melihat sesuatu yang ada disana. Berulang kali matanya mengerjap seakan tidak percaya. “M-Mas??” gumamnya terbata sambil mundur beberapa langkah ke belakang.             Gamal memperhatikan tubuhnya sendiri. Dia pikir, apakah ada yang aneh selain kepalanya yang digundul, pikirnya. “Ada apa, hey?? Jangan membuat Mas takut!”             Bening segera menggelengkan kepalanya lalu menunjuk bagian yang membuatnya syok. “Mom-Mommy!!” teriaknya lalu menjauh dari sang Abang. Dia segera berlari menuju undakan tangga untuk turun kembali ke lantai dasar. “Mommy!! Mas Gamal, Mommy!!”             Gamal menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Ada apa dengannya?? Apa aku aneh?? Apa benar aku seperti tuyul??” gumamnya berbicara sendiri sambil mengendikkan bahu. Dia segera berbalik badan dan hendak masuk ke dalam kamar. “Mommy!! Eyang!! Mommy!! Mas Gamal bertato, Mom!!” Deg!             Langkah kakinya terhenti. Glek!             Tiba-tiba saja lehernya terasa tercekat. Dia langsung melihat otot lengan kanannya dan pergelangan tangan kirinya. “Oh, shitt!” Gamal memejamkan erat kedua tangannya. “Tamat riwayatmu, bodoh!” * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD