Chapt 7. Because of Tattoos

3132 Words
Glek!             Tiba-tiba saja lehernya terasa tercekat. Dia langsung melihat otot lengan kanannya dan pergelangan tangan kirinya. “Oh, shitt!” Gamal memejamkan erat kedua tangannya. “Tamat riwayatmu, bodoh!” gumamnya menepuk jidat sambil berbalik badan, melihat ke arah ujung tangga. Bening sudah turun ke bawah sana. Dia pasti sudah menghampiri yang lainnya di dapur lalu menceritakan apa yang ia lihat tadi. Terlambat, semua sudah terlambat. “Kenapa kau lamban, Gamal Tampan!” gumamnya tidak lupa memuji dirinya sendiri.             Dia terdiam dengan ekspresi bodoh. Bagaimana mungkin dia bisa seceroboh ini. Seharusnya dia lebih cepat memberitahu Bening dan Embun supaya bisa diajak bekerja sama dan tidak menghakimi mereka di hadapan keluarga.             Astaga! Ini sudah menjadi pembahasan lama antara dia dengan sang Abang, Aiyaz. Kalau saudaranya yang satu itu tahu mengenai hal ini, bisa dipastikan pria itu akan mengamuk nanti.             Pasalnya, tato di tubuh pria itu jauh lebih banyak dari pada tato di tubuhnya. Mereka sudah menyusun rencana ini sangat matang dan sekarang hancur karena kecerobohannya sendiri.             Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika keluarga besar mereka tahu kalau di tubuh mereka berdua sudah terlukis tato. Sudah bisa dipastikn, terutama yang akan marah besar adalah Grandma mereka yang paling cerewet sepanjang masa yaitu Grandma Adyanta Nawwar Rizky.             Gamal berbalik badan dan langsung masuk ke dalam kamarnya. “Tamat riwayatmu, Gamal!”             Dia menarik panjang napas, mengusap pelan dadanya yang berbentuk indah. “Oke! Kau harus tenang … sekarang saatnya mandi!”             Dia terus bergumam seorang diri dan menutup pintu kamar lalu menguncinya rapat. Ceklek… … Dapur.,             Chandani berulang kali mengecup puncak kepala sang cucu yang memeluk erat dan selalu bermanja dengan dirinya. “Lain kali kalau jalan itu dilihat-lihat. Untung aja kakak-kakak itu baik. Coba kalau jahat?? Dia pasti uda marah-marah kan,” ujar Chandani seraya menasehati sang cucu.             Embun lantas mengangguk kecil dan sedikit mengendurkan pelukannya. “Iya, Eyang. Tapi … kayaknya Kakak itu yang jualan siomay di kampus deh, Eyang.” Dia memberitahu.             Zhain yang sejak tadi memperhatikan cucunya, dia mengerutkan kening. “Jualan siomay??” tanya Zhain penasaran.             Chandly yang sedang mengambil lauk pauk untuk sang suami yang hendak makan, dia melirik putrinya sekilas. “Jualan di kantin kampus, Sayang?” tanya Chandly melirik putrinya.             Sementara Dyrta tengah mengotak-atik ponselnya, sesekali melirik dan tetap menyimak ucapan putri kesayangannya itu. “Tidak, Eyang, Mommy. Kakak itu jualan siomay di depan gerbang kedua kampus,” ujar Embun langsung menegakkan tubuhnya. Dia akan bercerita mengenai hal terakhir yang ia lihat dan dengar sebelum ia kembali dari sana.             Mereka semua paham kalau Embun akan menceritakan sesuatu yang terlewatkan. Sementara Dyrta paham, dia kembali membuka suara. “Coba ceritakan sama kami. Kakak itu berjualan dimana. Dan dia jualan menggunakan gerobak atau pakai apa?” ujar Dyrta penasaran melihat putrinya.             Sebab sudah ada larangan keras dan peraturan tetap bagi pedagang kaki lima untuk tidak diizinkan berjualan di depan kampus mereka. Jika ada pedagang yang mau mencari nafkah, mereka bisa langsung masuk ke dalam area kampus lalu berjualan di kantin khusus mahasiswa demi ketertiban bersama.             Embun hendak berbicara. Namun, tiba-tiba saja mereka mendengar suara teriakan seseorang. “Mommy!! Mas Gamal, Mommy!!” Deg!             Sepertinya mereka mengenali suara teriakan itu. “Mommy!! Eyang!! Mommy!! Mas Gamal bertato, Mom!!”             Mereka terperanjat. Teriakan Bening membuat mereka semua langsung beranjak dari kursi. Sreekk!! Terutama Dyrta, dengan langkah lebar sedikit berlari, dia langsung berjalan cepat. “Ada apa, Bening?!” ujar Dyrta seiring dengan langkah kaki lebar mendahului mereka. “Kalian semua disini saja! Biar aku yang ke atas!” sambungnya memberi pesan.             Namun, Chandly dan Embun tidak bisa bergerak bebas sebab mereka memikirkan lansia yang sudah sulit untuk berjalan cepat. “Eyang disini saja ya? Biar kami yang melihat mereka??” ujar Chandly.             Zhain langsung menggeleng cepat. “Gak! Kita kesana sekarang! Cepat! Ada apa itu Bening sampai teriak-teriak begitu!” ujar Zhain berjalan tegap walau langkahnya sudah tidak selincah dulu lagi.             Saat Zhain hendak melangkah mengikuti langkah kaki sang putri, Chandly. Tiba-tiba saja kaki Chandani mengalami kram. “Ssshhh, aduh … sakit,” ujar Chandani mengusap pangkal betisnya.             Zhain langsung berbalik badan. Langkahnya memang sudah lemah, dia berjalan mendekati sang istri.             Begitu juga dengan Embun yang langsung berjongkok melihat kaki sang Eyang Kesayangan. “Eyang, kenapa??” “Kenapa, Sayang? Kakinya kram lagi??”             Chandani mengangguk kecil sambil meringis sakit. “Iya. Ini kayaknya karena tiba-tiba berdiri. Jadi agak nyeri,” ujarnya memberitahu.             Embun langsung berdiri dan berjalan menuju penyimpanan kotak P3K. “Eyang? Embun harus ambil apa??”             Zhain yang masih setengah jongkok, dia berdiri tegak perlahan, lalu berjalan menghampiri sang cucu. “Coba Embun ambil kotak yang itu, Sayang. Sepertinya ada salep pereda nyeri disitu,” ujarnya memberitahu.             Dua orang bibi, asisten rumah tangga, mereka melihat kesibukan dan teriakan begitu nyaring dari dalam rumah. “Bu? Pak? Tadi Non Bening teriak-teriak?? Apa ada sesuatu??” tanya salah seorang asisten rumah tangga yang usianya sudah menginjak 40 tahun.             Chandani langsung menggelengkan kepala. “Gak tahu ada apa, Bi. Tapi mungkin dia kaget ngeliat sesuatu,” ujar Chandani masih meringis sakit.             Embun masih melihat sang Eyang, Zhain mencari obat pereda nyeri. “Nah, ini dia. Letak lagi disana ya, Sayang.” Zhain menyuruh sang cucu untuk membereskan dan meletakkan kembali kotak P3K sebagian di tempat semula. “Iya, Eyang.” Embun mengangguk paham, lalu menutup rapat kembali kotak P3K kecil itu, dan merapikannya di kotak P3K yang lainnya.             Zhain mencari sesuatu di area dapur luas itu. “Nyari kursi kecil, Pak?” tanya salah seorang asisten rumah tangga menebak.             Dia langsung mengangguk iya. “Iya, Bi. Dimana ya?” tanya Zhain.             Salah seorang asisten rumah tangga yang lain langsung mengambil kursi kecil yang mereka simpan di tempat biasa. “Ini, Pak.” Dia mengambilnya lalu meletakkan kursi itu tepat di hadapan sang pemilik rumah yang mereka panggil dengan nama Bu Chandani.             Zhain langsung mendekati sang istri. “Terima kasih, Bi.” Perlahan, dia duduk di hadapan sang istri yang masih meringis sakit. “Mau kami ambilkan yang lain, Pak?” tanya salah seorang yang lain. “Tidak, Bi. Terima kasih,” balas Zhain langsung membuka kotak P3K kecil dan salep yang ia cari tadi.             Sementara Embun ikut berjongkok di depan sang Eyang, mengamati area kaki yang nyeri. “Sakit sekali ya, Eyang??” tanya Embun melihat ekspresi wanita yang sangat ia sayangi ini.             Chandani mengangguk kecil sambil mengusap lembut puncak kepala Embun. “Iya, Sayang. Tapi uda gak terlalu sakit. Tadi baru, nyeri sekali.” Chandani tersenyum tipis.             Zhain berulang kali melihat ke arah sana, melihat apakah mereka sudah kembali ke dapur atau belum. Namun, saat melihat salah seorang asisten rumah tangga yang lain baru saja masuk ke area dapur, Zhain membuka suara. “Ada apa disana, Pak? Ada apa dengan Bening?” tanya Zhain sambil membuka penutup salep.             Seorang pria yang sudah sampai di dapur dengan membawa peralatan pembersih lantai, dia menjawabnya. “Saya kurang tahu, Pak. Tapi tadi Non Bening uda ngomong sama Bu Ken. Tapi Bu Ken langsung naik ke atas, Pak.”             Zhain dan Chandani mengangguk kecil. “Ya sudah,” ujarnya lalu fokus pada kaki sang istri.             Tidak lama kemudian, Bening berjalan menghampiri dapur dengan tergesa-gesa hingga membuat beberapa asisten rumah tangga yang ada disana melihatnya bingung. “Eyang! Eyang!”             Mereka langsung melihat ke sumber suara. “Kakak?? Ada apa dengan Mas Gamal, Kak?? Daddy sama Mommy ke kamar Mas Gamal ya??” tanya Embun langsung beranjak dari posisi jongkoknya.             Zhain yang masih mengoleh cairan pendingin di area lutut sang istri, dia melirik ke arah sang cucu yang sudah duduk di kursi meja makan dengan wajah dan napas ngos-ngosan. “Sayang? Kenapa? Ada apa dengan Mas Gamal??” tanya Chandani menatap curiga cucunya, Bening.             Belum mau menjawab, Bening langsung menggelengkan kepalanya. “Benar-benar gak bisa dipercaya, Eyang!” ujarnya sambil membenarkan rambutnya yang sedikit menghalangi pandangan matanya.             Embun mengerutkan kening, mendekati sang Kakak sambil menatap lekat. “Maksud Kakak??” tanyanya semakin penasaran.             Zhain dan Chandani saling melirik satu sama lain. Sebenarnya mereka sudah terbiasa dengan tingkah berlebihan dua orang cucu perempuan mereka.             Antara yakin dengan tidak yakin kalau ada berita besar, sebab Bening termasuk tipe gadis yang cuek tetapi menganggap semua hal adalah hal besar dan perlu dibicarakan dengan pasti. “Maksudnya apa, Kak?” tanya Chandani ikut penasaran.             Bening terus mengatur napasnya sambil memegang dadda. “Non Bening, minum dulu, Non.” Seorang asisten rumah tangga menyodorkan segelas air mineral dan meletakkan di dekat tangan Bening.             Tanpa menunggu lama, Bening mengambil gelas itu. “Terima kasih, Bi.” Dia langsung meneguknya habis.             Zhain menghela panjang napas. Entah harus berapa kali dia mengingatkan semua cucu-cucunya agar meminum air mineral dengan cara yang santai dan tidak terburu-buru. “Pelan-pelan saja, Kak Bening. Apa lupa sama pesan Eyang??” tanya Zhain sambil mengoles salep utama, pereda nyeri di kaki sang istri.             Bening langsung mengangguk paham, meletakan gelas kosong itu lagi diatas meja makan. “Iya, Eyang. Kak Bening paham kok,” balasnya. “Coba tarik napasnya panjang, lalu keluarkan perlahan …” Zhain menyuruh sang cucu untuk melakukan apa yang ia perintahkan.             Bening melakukannya sambil memejamkan mata berulang kali. Setelah merasa lega, dia langsung berdiri dan melihat Embun yang sejak tadi berdiri di hadapannya. “Kakak kenapa sih?? Tadi Embun mau liat ke atas, tapi kaki Eyang tiba-tiba aja sakit. Apa Mas Gamal terpeleset??” tanya Embun hendak berjalan menuju arah sana, keluar dari area dapur.             Namun, Bening langsung menahan sang Adik. “Jangan! Pokoknya jangan kesana! Biar Mommy aja yang ngurus! Kalau enggak … nanti kita kena sembur Mommy juga!” ujarnya merendahkan nada bicara di ujung kalimat.             Embun mengerutkan kening. Begitu juga dengan Zhain dan Chandani yang bingung, saling melirik satu sama lain. “Maksudnya apa, Kak??” tanya Chandani penasaran.             Sedangkan Zhain, dia masih diam dan mendengarkan cerita Bening yang benar-benar mengulur waktu. Zhain sudah terbiasa sabar dengan sikap sang cucu yang tidak mau berbicara secara langsung dan cepat. Pasti ada saja bahan yang harus dibahas sebelum membahas pada intinya.             Bening menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. Dia melirik sang Adik, Embun yang sudah terlihat bingung. “Mas Gamal—”             Embun semakin menatap lekat sang Kakak, Bening. Bibirnya sedikit maju, lalu melirik kedua Eyang mereka. “Kenapa emangnya Mas Gamal, Kak?? Sakit??”             Bening menggelengkan kepala, membuat Embun kembali berpikir dan menebak. “Lalu apa?? Pakai wig palsu??”             Zhain dan Chandani hampir menyemburkan tawa mendengar tebakan polos Embun. Bagaimana mungkin cucu mereka, Gamal yang sudah gundul mau memakai wig, sementara yang dia lakukan adalah niat sejak lama.             Bening berjalan cepat dan berada diantara kedua Eyang dan adiknya. “Mas Gamal … bertato, Eyang!” Deg!             Zhain terdiam, menatap sang istri yang sudah menganga. Dia bahkan melambatkan gerakan tangannya disana. Berbeda dengan Embun semakin mendekati sang Kakak. “Kakak serius??” tanyanya dengan mulut menganga.             Bening mengangguk cepat. “Iya, Embun!” jawabnya mantap. Tapi Bening merasa ada yang berbeda dari ekspresi sang Adik. “Kenapa??” sambung Bening bertanya.             Embun mengerjap berulang kali, melihat kedua Eyang mereka. “Kenapa, Sayang?” tanya Zhain merasa khawatir.             Dia langsung menggeleng cepat. Kemudian matanya melihat ke sembarang arah. Embun merasa kalau sang Abang benar-benar berubah sejak ia pulih dari rasa trauma. “Ternyata Mas Gamal sesayang itu sama Embun,” gumamnya meletakkan kedua tangannya di dadda sambil menghela napas lega.             Zhain dan Chandani memasang wajah bingung. Mereka bahkan melihat Bening dan Embun bergantian. Sejenak, mereka pikir apakah mereka salah menelaah ucapan Bening atau Embun. Kenapa kalimat Embun terdengar ambigu.             Sementara Bening tertegun mendengar pernyataan dari adiknya ini. Dia menebak, apa Embun akan salah mengartikan ucapannya barusan? Apa Embun akan membela sang Abang? Pak! “Astaga …” gumam Bening menepuk jidat. … Kamar Gamal., Tokk!! Tokk!! Tokk!! “Gamal?! Ada apa denganmu?! Buka pintunya cepat!” ketus Dyrta mengetuk pintu kamar sang putra dengan nada bergemuruh. Tokk!! Tokk!! Tokk!! “Gamal Abimana!!” Tokk!! Tokk!! Tokk!!             Dyrta terus bersuara lantang menggedor pintu kamar Gamal dengan perasaan berkecamuk. Namun, belum sempat pintu kamar terbuka, suara seorang wanita membuat Dyrta menoleh ke sumber suara. “Hey, Tuan Adyrta!” Deg!             Dyrta mengerutkan kening melihat sang istri berjalan menghampirinya dengan ekspresi tidak bersahabat. “Baby? Ada apa??”             Chandly tidak mau banyak bertanya, dia benar-benar tidak bisa menahan napas melihat wajah suaminya yang persis seperti putranya. Ah, salah. Bukan wajahnya, tetapi kelakuan suaminya ini ternyata menurun di putranya, Gamal. Belum sempat Chandly bersuara, menjawan pertanyaan sang suami, pintu kamar itu terbuka. Ceklek… “Ada apa, Dad—” ucapan Gamal terhenti ketika melihat sang macan betina ada di hadapannya. Glek! “Minggir!” ujar Chandly mendorong tubuh sang suami. Dia bertolak pinggang di depan putranya yang hanya memakai handuk putih sebatas pinggang. ‘Shitt!’ bathinnya hendak mengumpat lalu mengulas senyuman semanis mungkin di kedua sudut bibirnya. “M-Mommy?? Ada apa, Mom? Mau ambil sesuatu??” tanya Gamal berusaha untuk bersikap tenang. Glek!             Walau rasanya seperti ada yang mencekik lehernya sekarang ini. ‘Kenapa kau selalu membuat masalah?!’ ‘Aku?? Hey … apa salahku, Dad?!’ ‘Diam! Jangan berpura-pura bodoh!’             Dyrta menatap tajam putranya yang benar-benar membuatnya geram. “Kau?” ujar Chandly menoleh ke arah sang suami yang hendak menyapa pinggangnya. “Jangan sentuh aku!” Dia menepis kasar tangan kiri sang suami. Glek! ‘Shitt!’ umpat Dyrta menghela panjang napas.             Gamal memasang wajah bingung. “Mom? Dad? Ada apa? Kalian rindu padaku??” ujar Gamal asal bicara.             Astaga! Dia benar-benar kehabisan bahan alasan. Bagaimana ini? Lihat pria itu, rahangnya sudah mengeras. Jangan sampai amarahnya mengancam posisinya sebagai Presiden Direktur Althafa Sport Car. Astaga, jangan sampai!             Chandly menatap putranya dari atas sampai bawah. Dia lalu melirik suaminya dengan mata memicing. “Dimana letak tatomu!” tanya Chandly dengan tatapan mata bagai elang yang mau memangsa. Glek!             Gamal tersenyum kecut. Sepertinya dia tidak bisa berkilah lagi. “Tato, Mom?”             Chandly berusaha tenang menghadapi putranya yang satu ini. Memang banyak sekali tingkahnya. Jauh berbeda dari putranya yang bernama Gaza. ‘Lebih baik kau jujur!’             Dia melirik sang suami yang sepertinya sudah bermain teka-teki bathin di belakangnya. “Angkat kedua tanganmu!” ketus Chandly memerintah dengan kedua tangan masih bertolak pinggang.             Dyrta sudah menatap tajam putranya agar segera jujur sebelum macan betina mereka mengamuk lebih dari ini. Sial sekali! Dia pasti bakal kena getahnya, pikir Dyrta. “M-Mom??”             Chandly mendengus kesal, lalu mengangkat kasar kedua tangan kekar itu ke atas. “Kau ini apa tidak dengar?! Apa aku harus kasar seperti ini agar kau paham?!” Glek! ‘Astaga, Dad. Tolong putramu,’ bathin Gamal mengemis melirik sang Daddy yang sudah menatapnya dengan pandangan ingin memangsanya juga. ‘Bukan urusanku! Aku juga terancam!’ Dyrta memijit kening.             Chandly memperhatikan tubuh putranya dengan seksama. Dia mencari sesuatu bergambar yang pasti melekat di tubuh atletis ini. “Dimana tatomu?!” Glek! “I-ini, Mom …”             Seperti anak kecil yang takut diberi hukuman berat oleh kedua orang tuanya, akhirnya Gamal mengaku dan menunjukan lengan kanan dan pergelangan tangan kiri yang terukir tato kecil.             Dyrta dan Chandly mengamati tato yang ditunjuk oleh Gamal. “Ya Allah Ya Tuhanku … kau punya … dua tato??” ujar Chandly menggelengkan kepala.             Gamal mengendikan kedua bahunya ke atas. “Hanya dua, Mom. Tidak sebesar punya Daddy.” Deg!             Dyrta membelalakkan kedua matanya. ‘Berani sekali kau membawa-bawa namaku!’ ketus Dyrta membathin.             Chandly langsung menoleh ke arah sang suami. Napasnya sudah memburu. Kenapa kenakalan putranya harus berkembang disaat mereka sudah dewasa seperti ini.             Bahkan berani membuat tato sembarangan tanpa izin orang tua. Tidak, dia benar-benar pusing sekarang. “Kau—” Chandly menghela panjang napas sambil memijit kening, melirik tajam suaminya.             Dyrta mengendikan bahu. “Ke-kenapa, Baby?? Apa salahku??”             Gamal memperhatikan interaksi kedua orang tuanya yang saling berbicara dengan bahasa isyarat. Dia pikir, kalau dua orang itu sepertinya akan segera bertengkar hebat.             Dia menggaruk tengkuknya sambil menunggu dua orang itu pergi dari kamarnya. Lalu dia bisa melanjutkan acara mandinya. “Kau benar-benar, Tuan Dyrta! Aku pusing sekali melihat kalian!” ketusnya lalu berbalik badan dan hendak meninggalkan mereka berdua.             Dyrta mengerjap, lalu melirik putranya yang masih bersikap santai. Namun, belum sempat dia membuka suara, Chandly kembali melayangkan tatapan tajam ke arah Gamal. “Sejak kapan tato itu ada?!”             Gamal menatap bingung sang Mommy, lalu menatap sang Daddy. “Jangan melihatku! Aku tidak pernah menyuruhmu bertato!” geram Dyrta sudah mengeraskan rahang. Putranya yang satu ini meliriknya, seakan-akan dia adalah dalang utama.             Gamal mengendikan bahu sambil berpikir. “Setelah bertato, kami langsung mencukur rambut, Mom.” Deg!             Dyrta mengerutkan kening. “Maksudmu? Kami siapa? Kau dan siapa??” cecar Chandly mulai curiga. Glek! ‘Oh sial!’ bathin Gamal sambil menyengir halus. “Eumh …” “Jawab, Gamal!” ketus Chandly. “M-Mas Aka, Mom. Dia lebih banyak dari pada punyaku.” Deg!             Chandly langsung menatap sang suami sambil menggelengkan kepala. Sudah dia duga, Aiyaz dan Gamal memang didikan Dyrta sejak kecil. Tidak heran kalau kelakuannya pun bisa mirip.             Dyrta hendak memeluk sang istri. “Demi Tuhan, aku tidak ada menyuruh—”             Chandly langsung berbalik badan sambil memijit keningnya. “Kenapa kalian mengikuti jejak Daddy kalian?! Apa tidak bisa kalian jadi anak baik-baik! Aku sudah pusing! Kalian membuatku tambah pusing!” gumamnya hendak menuruni undakan tangga di ujung sana. “Mommy, tapi ini sudah terlambat. Demi memenuhi janjiku, Mom …” “Tidak ada cerita, Gamal! Tidak ada sumpah janji demi tato! Kalian mengarang cerita saja!” balas Chandly dengan nada bicara sedikit keras.             Dyrta tidak mau banyak berpikir, dia langsng mengejar sang istri. Tapi dia menyempatkan matanya melirik tajam putranya, Gamal. “Baby?? Baby, Sweety? Candy??  Dengar, Baby …” “Diamlah! Putramu benar-benar keterlaluan! Kalian yang akan berhadapan sendiri dengan Grandma!” ketus Chandly. “Baby? Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Baby …” “Tidak!”             Gamal memasang wajah bingung dan tetap bersikap biasa saja. Walau tahu kalau sang Grandma, Anda pasti akan mengamuk. Setidaknya mereka tahu kalau dia dan Aiyaz adalah cucu kesayangan. Sudah pasti mereka akan dimaafkan bahkan dibela nanti. “Hah … ya sudah. Aku mau mandi,” ujarnya kembali masuk ke dalam kamar dan menutup rapat pintu. … Beberapa menit kemudian.,             Namun, saat Gamal hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, ketukan pintu membuatnya mendengus kesal. Mau tidak mau, dia terpaksa mengurungkan niatnya.             Saat dia membuka pintu kamarnya. Ceklek… Deg!             Secepat kilat Gamal menutup kembali pintu kamarnya. Namun sayang, pintu kamarnya tertahan. “Gamal Abimana!” ketus Dyrta mengeraskan rahang, menahan pintu kamar sekuat tenaga.             Gamal tersenyum lebar sambil membuka pintu kamar. “Daddy?? Aku pikir siapa. Ada apa, Dad?? Dimana Mommy??” tanya Gamal berpura-pura melihat ke arah luar kamarnya.             Dyrta menatap datar putranya yang banyak tingkah ini. Dia masuk ke dalam kamar, lalu menutup kasar pintu kamar putranya. “Dad? Kau mau apa?!” “Diam! Cepat masuk!”             Gamal mulai bergidik ngeri. “Dad! Ingat aku, putramu!” “Lalu?!” Braakk!             Pintu tertutup kasar. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD