Bab 25

1970 Words
Revan baru saja turun dari mobilnya ketika dia mendengar suara motor Dipta yang memasuki kawasan rumah Raka. Iya, Raka memang memiliki rumah sangat besar. Rumah ini mirip seperti castle seperti yang ada di film disney. “Lo baru dateng?” Tanya Dipta. Revan menganggukkan kepalanya. Hari ini Raka memang sudah diizinkan untuk pulang karena keadaan fisik Raka sudah sembuh. Ya, begitulah, Raka memang terlihat baik-baik saja tapi sebenarnya tidak demikian. Di dalam rumah yang besar dan mewah ini tersimpan begitu banyak kenangan mengerikan yang akhirnya membuat Raka jadi depresi. Raka menjalani kehidupan yang sangat tidak menyenangkan. Raka anak tunggal dari pasangan pengusaha kaya raya yang sangat terkenal di negeri ini. sekalipun orang tua sangat sukses dalam memimpin perusahaan mereka, nyatanya tidak ada satupun dari mereka yang sukses dalam membina rumah tangga. Di rumah yang sangat besar ini Raka tinggal sendirian karena memang orangtuanya tidak pernah pulang untuk menengok keadaan Raka. Mungkin jika saat itu Revan tidak menemukan Raka di saat yang tepat, saat ini Revan dan Dipta sedang berada di pemakaman sahabatnya sendiri. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan. Kenangan mengerikan itu tetap saja membuat hatinya tidak tenang. Iya, bayangkan saja, dalam satu hari Revan harus melihat dua orang nekat yang berusaha menghabisi nyawa mereka sendiri. Yang pertama adalah Raka lalu yang kedua adalah Kyra yang belakangan ini Revan ketahui sebagai saudara kembar Kalila. “Gimana keadaan lo? Udah lebih baik?” Tanya Dipta begitu mereka masuk ke dalam kamar Raka yang ada di lantai dua. Di rumah ini memang ada banyak sekali pelayan, tapi tetap saja, tidak ada satupun tanda-tanda kehidupan di rumah ini. Semuanya terlihat sangat sunyi tan sepi. Revan tidak bisa membayangkan bagaimana Raka harus menghabiskan waktunya di rumah ini setiap hari. “Baik gue..” Kata Raka dengan tenang. Hari ini Dipta dan Revan sengaja datang ke sini untuk kembali meyakinkan Raka agar temannya itu mau mendapatkan perawatan di salah satu rumah sakit kejiwaan yang dipimpin oleh ayahnya Dipta. Iya, Raka memang terlihat baik-baik saja sekarang, tapi siapa yang tahu jika sebenarnya Raka masih menyimpan sebuah rasa sakit di dalam hatinya? Tidak, Raka tidak boleh dibiarkan hidup seperti ini. Bisa saja Raka kembali melakukan tindakan yang nekat jika Raka tidak segera mendapatkan penanganan. “Kalian ngapain ke sini lagi? Nggak bakal bunuh diri lagi gue” Kata Raka. Revan melemparkan botol kaleng soda ke arah Raka ketika temannya itu kembali mengatakan hal yang tidak-tidak. “b**o banget, lo!” Kata Dipta dengan santai. Revan memilih untuk duduk dan membuka ponselnya untuk melihat apakah ada sesuatu yang penting. Yang pertama kali Revan lihat adalah foto profil Kalila yang terpampang jelas di ponselnya karena percakapan singkat Kalila dan Revan baru saja berakhir beberapa menit yang lalu. Benar, setelah melakukan panggilan video, Revan memang sempat beberapa kali mengirimkan Chat kepada Kalila. Tampaknya Kalila sudah tidur karena pesan terakhir yang Revan kirimkan masih belum terbaca. Sudahlah, ini memang sudah cukup malam, Kalila pasti tidak terbiasa begadang. Revan tersenyum tipis ketika menyadari jika hubungan dengan Kalila sudah berada di tingkat yang lebih jauh dari yang selama ini Revan lakukan bersama dengan beberapa teman perempuannya. Revan memang baru mengenal Kalila selama beberapa hari, tapi entah kenapa Revan merasa sangat dekat dengan Kalila. “Kalian udah pada makan?” Tanya Raka dengan tenang. “Udah” Jawab Revan. Sejujurnya setelah pulang berbelanja bersama dengan Kalila, Revan mengajak Kalila untuk membeli makanan. Revan merasa senang karena bisa menghabiskan waktunya bersama dengan Kalila. Sekalipun Kalila adalah perempuan yang pendiam dan pemalu, Kalila tetap sangat menyenangkan untuk diajak berbicara. “Makan di mana lo? Gue tadi ditanyain Kak Nessa, katanya sampek jam 10 lo nggak ada kabar” Tanya Dipta. Astaga, kenapa Kakaknya melakukan itu? Revan sudah bukan anak kecil lagi. Jujur saja tadi Revan tidak melihat ponselnya sama sekali. Ketika sedang bersama dengan Kalila, Revan tidak mendengar suara ponselnya jadi dia sama sekali tidak tahu jika kakaknya sedang mencarinya. Revan pikir Nessa hanya akan menghubungi dirinya saja, tapi ternyata tidak. Untuk apa Nessa menghubungi Dipta? “Gue pergi sama Kalila. Gue nggak tahu kalo Kak Nessa nyari gue” Jawab Revan dengan tenang. “Kalila? Astaga, lo suka ya sama Kalila?” Tanya Dipta sambil menunjuk ke arah wajah Revan. Revan mengernyitkan dahinya. Ada apa dengan Dipta? “Lo apaan sih, Ta?” “Ya kali aja lo beneran suka sama Kalila” “Kalo gue suka sama Kalila emang kenapa? Jangan macem-macem ya, lo!” Kata Revan. Revan tahu jika Dipta selalu tertarik dengan perempuan cantik. Ya, memang bukan dalam artian serius karena sampai sekarang Dipta masih menyimpan perasaannya untuk Aira, tapi tetap saja. Revan tidak akan rela jika Dipta mendekati Kalila hanya karena kecantikan Kalila saja. Kalila itu sangat baik, Dipta pasti akan mempermainkan perempuan itu. Ah, lagipula Revan juga tidak akan membiarkan Dipta mendekati Kalila. Kali ini hanya Revan yang boleh bergerak, tidak dengan Dipta ataupun Raka. “Enggak, gila! Gue nggak cocok sama Kalila, gue lebih tertarik sama kembarannya, sih” Kata Dipta sambil tertawa pelan. “Kembarannya nggak bakalan mau sama lo!” Kata Raka dengan santai. Revan tertawa pelan ketika mendengar kalimat pedas yang dikatakan oleh Raka. “Oh iya, besok Kakak gue mau tunangan, ada pesta kecil-kecilan gitu. Kalian di undang” Kata Revan. Revan mengingat dengan jelas pesan yang dikatakan oleh Kakaknya sebelum Revan berangkat ke sini. Sebenarnya, Kakaknya juga cukup dekat dengan teman-teman Revan sehingga Dipta dan Raka akan diundang ke pesta kakaknya itu. “Wih, mabuk-mabukkan nggak, Van?” Tanya Dipta. Revan memutar bola matanya dengan pelan. Apakah Dipta memang hanya memikirkan tentang minuman saja? Mana mungkin pesta pertunangan yang dilangsungkan oleh Kakaknya diwarnai dengan acar abuk-mabukan? “Bilangin selamat ke Kak Nessa, Van. Sorry, gue nggak bisa dateng” Kata Raka. Revan mengernyitkan dahinya ketika mendengar kalimat yang dikatakan oleh Raka. “Kenapa?” Tanya Dipta. Sebenarnya Revan sudah ingin menanyakan pertanyaan yang sama, tapi Dipta mendahului dirinya. “Gue mau pergi ke rumah sakit bokap lo. Gue udah buat janji sama dia. Gue pengen sembuh..” Kata Raka. Revan membelakkan matanya. Astaga, akhirnya Raka mau mengikuti saran dari ayahnya Dipta. Revan pikir saat ini dia dan Dipta akan susah payah untuk membujuk Raka, tapi ternyata tidak. Meninggalkan Raka sendirian seharian ini membuat Raka mempergunakan waktunya untuk berpikir dengan jernih. Ya, tentu saja Revan sangat senang ketika dia mendengarkan kalimat Raka. “Wah, beneran, Ka?” Tanya Dipta. “Iya, gue udah bosen hidup gini terus. Gue mau sembuh. Gue mau lanjut kuliah terus keluar dari rumah ini. Seenggaknya itu rencana gue sekarang” Kata Raka. “Gue bakal dukung lo, Ka. Tenang aja, jangan terlalu mikirin orangtua lo itu. Santai aja, ada gue sama Revan kok.. jangan khawatir” Kata Dipta sambil tertawa. “Thanks, kalian bener-bener baik sama gue” Kata Raka sambil tertawa juga. “Lo kayak sama siapa, aja. Kita temen, kali.. jangan sungkan gitu” Kata Revan. Revan menghembuskan napasnya dengan pelan. Setidaknya masalah Raka akan segera selesai sebentar lagi. Iya, Raka memang sebaiknya segera keluar dari rumah ini karena tempat ini akan selalu membuat Raka terjebak di dalam masalahnya. Tidak seseorang yang akan sembuh di tempat yang menyakitinya. Raka mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan selama dia tinggal di rumah mewah ini. Benar, Raka memang selalu mendapatkan banyak uang dari orangtuanya, tapi bukan itu yang Raka butuhkan. Ada saat dimana Raka sangat merindukan kasih sayang orangtuanya yang tidak pernah mau peduli pada dirinya. “Gue bakal di sana selama satu bulan dulu, kalo gue udah baikan, gue bisa pulang.. tapi kayaknya gue bakal lebih betah di sana deh. Ada banyak orang gila pasti. Gue harusnya ada di habitat gue, kan?” Kata Raka. “Lo itu nggak gila, b**o! Lo cuma b**o aja” Kata Dipta dengan kesal. Banyak sekali yang mengira jika orang yang datang ke psikiater adalah orang gila, orang yang mendapatkan perawatan mental juga adalah orang gila. Tidak, sebenarnya tidak demikian. Seseorang kadang mengalami trauma karena suatu keadaan yang menyakitkan atau mengerikan, Raka hanya sedang depresi dan jika mendapatkan penanganan yang tepat, maka Raka akan segera membaik. Sebenarnya seseorang yang mengalami depresi seperti Raka bisa saja melakukan penyembuhan tanpa harus menginap di rumah sakit. Mereka bisa menemui dokter kejiwaan lalu kembali pulang setelah melakukan konsultasi. Ya, begitulah.. tapi sepertinya pengobatan seperti itu tidak akan berhasil pada Raka. Rumah ini adalah tempat yang membuat Raka merasa depresi, jika dia terus tinggal di sini, bisa saja Raka malah akan semakin parah. Oleh sebab itu ayahnya Dipta menyarankan agar Raka melakukan perawatan dengan menginap di rumah sakit saja. Rumah sakit jiwa tidak hanya diisi oleh orang gila. Orang awam mungkin berpikir demikian, tapi sebenarnya tidak. “Gue nggak nyangka sih, kalo gue bakal tinggal di rumah sakit jiwa..” Kata Raka. “Nggak masalah, jangan terlalu terbeban. Yang penting lo cepet sembuh, Ka.” Kata Revan dengan santai. Raka tidak seberuntung dirinya, Raka harus menerima kenyataan pahit jika orangtuanya sendiri tidak peduli padanya. Iya, tapi Raka adalah manusia yang kuat. Dia pasti sanggup melewati semua ini. Sebagai seorang teman, Revan dan Dipta memiliki tugas untuk selalu memberikan dukungan kepada temannya itu. Dipta tumbuh di keluarga yang utuh, begitu juga dengan Revan, mereka tidak pernah bisa benar-benar mengerti akan apa yang dirasakan oleh Raka. Memang benar jika manusia memiliki masalah yang berbeda-beda. Tidak semua orang diberkati dengan keluarga yang utuh, tapi memiliki keluarga yang utuh juga tidak menjamin jika kita bahagia, bukan? Ya, setidaknya jika Revan memiliki masalah di dalam hidupnya, dia masih memiliki keluarga yang akan selalu memberikan dukungan kepadanya, hal itu tidak berarti untuk sebagian anak yang malah mendapatkan masalah dari keluarganya. Kesehatan mental itu sangat penting, oleh sebab, manusia memiliki hak untuk mengungkapkan emosi mereka. Selama ini Raka tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menyatakan apa yang dia rasakan, Raka dipaksa untuk tetap diam dan menerima semua keputusan orang tuanya. Begitulah, mungkin Raka memang sudah berada di tahap dimana dia tidak sanggup lagi menahan semuanya. Raka membutuhkan pengobatan, dan sekarang temannya itu akan segera mendapatkannya. Raka mungkin harus tinggal di rumah sakit kejiwaan selama beberapa bulan. Rumah sakit yang dipimpin oleh ayahnya Dipta tidak hanya fokus untuk menampung orang gila saja, di sana ada banyak sekali terapi yang akan dilakukan untuk menyembuhkan penyakit mental. Raka bukan orang gila, tapi rumah sakit itu akan tetap memberikan pengobatan yang terbaik untuk menyembuhkan depresi berat yang diderita oleh Raka. “Kata bokap gue, di sana ada banyak banget anak muda yang dirawat karena depresi. Jangan khawatir, pasti banyak yang mau temenan sama lo” Kata Dipta sambil tertawa. Kadang, di saat yang dibutuhkan, seorang teman akan menjadi pendengar yang serius dan pemberi nasehat yang baik. Tapi di beberapa keadaan, seorang teman juga akan menjadi penghibur yang setia. Revan merasa beruntung karena dia mendapatkan teman seperti Dipta dan Raka. Dari mereka, Revan belajar banyak hal. “Aira udah tahu kalo lo mau ke rumah sakit itu?” Tanya Revan. Sebenarnya Revan juga malas membahas tentang Aira, apalagi di sini ada Dipta. Revan tahu dengan benar jika setiap kali mereka membicarakan Aira, Dipta harus berpura-pura sedemikian rupa agar temannya itu tidak terlihat menyukai Aira. Ya Tuhan, Revan memang menghargai perasaan kedua temannya itu, tapi kenapa mereka harus terjebak dengan perempuan yang sama? Apalagi perempuan itu adalah Aira. Seorang perempuan arogan dan juga menyebalkan. Entahlah, Revan sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran kedua temannya. “Enggak, nanti malah ribet urusannya” Kata Raka dengan santai. “Kalo lo nggak kasih tahu dia, nanti yang ribet malah gue sama Revan!” Kata Dipta. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Dipta memang benar. Tapi kalimat Dipta terdengar sangat kasar. Sungguh, Dipta kadang memang suka berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu. “Nanti gue kasih tahu pas gue udah di rumah sakit. Gue nggak mau dia ribet sendiri. Pas gue udah di sana, baru gue bilang ke dia” Kata Raka. Ya, Aira adalah kekasih Raka, maka terserah Raka saja dia akan mengatakan apa kepada Aira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD