Satu hal yang ada di benak Vanilla sekarang ini.
Is Justin being crazy?
Jika benar kewarasan Justin sudah menghilang, lalu apa yang harus ia lakukan sebagai anak tiri yang baik? Diam atau membawa Justin ke rumah sakit jiwa? Tapi masalahnya Vanilla tidak tahu di mana letak rumah sakit itu.
"Are you kidding me?" Vanilla mencoba untuk tertawa, seolah-olah kalimat itu hanyalah omong kosong belaka. Yah, meskipun perlu ia benarkan, jika tatapan Justin begitu tulus. Tidak ada kebohongan di dalam sana.
Justin memutar matanya jengah. Ia melepaskan payung itu dan menarik tubuh Vanilla masuk ke dalam rumah. Kemudian, ia membawa Vanilla ke ruang tengah dan membuat lantai menjadi becek.
"Apa aku terlihat bercanda?"
Vanilla mengedikkan bahunya.
"Vanilla, berhentilah menganggap semua ucapanku adalah omong kosong."
Vanilla menghembuskan napasnya. Tentu saja ia selalu menganggap semuanya omong kosong, karena setiap kalimat yang keluar dari bibir Justin membuat semuanya terdengar mustahil.
"Sudahlah, Just. Aku ingin istirahat. Kau lihat langit di luar? Itu sudah malam."
Vanilla pergi dan kali ini Justin membiarkan gadis itu pergi, karena Justin juga masih tidak mempercayai ucapannya sendiri. Ia merasa aneh berada di dekat Vanilla, seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Sentuhan Vanilla di pipinya dan suara merdu Vanilla memberikan efek yang berbeda ke tubuhnya.
Justin menghembuskan napasnya kasar, dan tidak lupa ia menarik rambutnya frustrasi. Tiba-tiba saja rasa pusing menyerang kepalanya. Sepertinya air hujan berhasil membuat kondisi tubuhnya berbeda. Ia pun berjalan ke sofa dan menyandarkan punggungnya.
Ia menarik napasnya perlahan dan mulai memejamkan matanya. Rasa dingin di tubuhnya benar-benar mematikan. Ia ingin segera membersihkan diri, tapi rasa pening itu mengalahkan keinginannya.
Justin terkesiap saat Vanilla meletakkan handuk kecil ke wajahnya. Ia mendongak dan melihat Vanilla yang masih menggunakan pakainnya tadi.
"Bersihkan dirimu," seru Vanilla lalu pergi meninggalkan Justin yang tersenyum miring kepadanya.
"Vanilla," panggil Justin.
Vanilla menoleh, memunculkan tanda tanya di kepalanya.
"Jam tujuh aku akan ke club. Kau berani di sini sendirian?"
"Club?"
Justin mengangguk.
Vanilla masih memikirkannya. Selama ini ia tidak pernah masuk ke tempat yang sering Alec bicarakan dulu. Kata Alec, tempat itu adalah tempat penuh dosa. Dan Alec seringkali melarangnya untuk tidak boleh memiliki niatan datang ke tempat itu. Namun, sekarang Vanilla benar-benar penasaran.
Tapi, Vanilla tidak ingin ke sana. Ia tidak akan pernah ke tempat terkutuk itu.
"Aku berani," ucap Vanilla lemah. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke lantai atas.
"Vanilla," teriak Justin.
Vanilla menoleh.
"Setelah teror itu, aku tidak akan meningalkanmu. Jadi, kau ikut denganku. Ini perintah!"
"Apa?!"
"Gunakan pakaian yang menutupi tubuhmu. Aku menunggumu di mobil nanti.
"Tidak, Just. Aku tidak akan pergi."
"Tidak! Kau akan ikut denganku. Tenang saja, aku akan memesan tempat tertutup yang di mana kau akan merasa nyaman," kata Justin lalu berjalan ke arah Vanilla, dan melewati gadis itu menuju kamarnya.
Vanilla masih bergeming di tempatnya, ia masih tidak mempercayai pendengarannya. Oh tidak, Justin akan mengajaknya ke club.
Ia tidak boleh ke sana. Itu tempat dengan sejuta dosa.
***
Setelah mengenakan pakaiannya yang cocok untuk club, Justin datang ke kamar Vanilla. Ia langsung membuka pintu itu tanpa mengetuk terlebih dulu. Dan saat pintu terbuka, di tepi ranjang menampilkan sosok Vanilla yang masih duduk dan mengenakan pakaian yang tadi.
"Vanilla, kenapa kau belum siap-siap?"
Vanilla menoleh. "Aku tidak akan pergi."
Justin mendecak kesal dan berjalan ke lemari Vanilla. Ia memilih sebuah dress pendek berlengan panjang dan menguburkannya pada Vanilla.
"Gunakan sendiri atau aku yang akan memakaikannya?"
Vanilla mengerutkan kening. "Aku ti---"
"Ah, jadi kau ingin aku memasangnya? Oke, lagipula itulah yang aku tung---"
"Dasar!" umpat Vanilla lalu mengambil paksa dress itu dan masuk ke kamar mandi.
Justin tersenyum puas. Memaksa Vanilla adalah hal yang terindah dari semuanya. Sembari menunggu Vanilla membersihkan diri, Justin mengeluarkan ponselnya dan naik ke ranjang Vanilla. Ia merebahkan diri di sana dan mulai membuka game.
Setengah jam kemudian Vanilla keluar dengan hanya mengenakan handuk yang terlilit, dan ia begitu terkejut saat melihat Justin masih ada di kamarnya.
"Kau ti-tidak keluar?"
Justin menoleh, dan ia terpaku sejenak atas penampilan Vanilla. Gadis itu terlihat sangat seksi dengan rambut basah dan sialnya, Vanilla menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa? Walaupun aku dalam keadaan mabuk saat itu, tapi lekukan tubuhmu masih tersimpan jelas di memoriku, Vanilla." Justin kembali memainkan ponselnya, dan sesekali melirik pandang ke Vanilla yang entah mengapa sudah seperti kepiting rebus.
"Menyebalkan, berengsek, dan b******n. Tiga kata itu yang bisa ku berikan untukmu, tuan O'brian," kata Vanilla malas lalu berjalan ke walk-in closet-nya seraya membawa dress tadi.
Sedangkan Justin, ia hanya terkekeh geli karena godannya benar-benar mempan untuk Vanilla Fernando.
***
Vanilla masih bergeming di depan pintu masuk klub yang kata Justin sangat terkenal di Jakarta. Vanilla menelan salivanya kuat-kuat. Kakinya gemetar begitu juga dengan tangannya yang terus mencengkeram tas kecilnya.
Justin yang melihat hal itu, merasa tidak suka. Sebenarnya ia tidak ingin Vanilla masuk ke tempat itu, tapi hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa melindungi Vanilla dari dekat.
"Jangan khawatir." Justin mencoba untuk menenangkan Vanilla dengan memegang pundak Vanilla.
"Ak-aku ingin pulang," bisik Vanilla.
"Tidak, Vanilla. Aku harus melakukan sesuatu di sini dan ini antara hidup dan matiku."
Vanilla memandang Justin dengan penuh tanda tanya. Memangnya apa yang akan Justin lakukan di tempat terkutuk ini?
"Ayo," ajak Justin. Ia menggenggam tangan Vanilla dan menarik gadis itu ke dalam club.
Saat tubuhnya memasuki tempat itu, bulu kuduk Vanilla berdiri. Dan tubuhnya semakin khawatir berada di tempat ini, tapi Justin menjaganya dengan baik. Ia bahkan berjalan di belakang Vanilla untuk melindungi wanita nya itu. Bukan hanya itu, jas yang tadi Justin gunakan dilepas dan diikat dengan kuat ke pinggang Vanilla. Hal itu Justin lakukan agar semua pria yang ada di klub tidak melihat paha mulus Vanilla.
Setibanya di ruang VVIP, Vanilla membulatkan mata saat begitu banyak wanita berada di sana, dan semua wanita itu tengah bergelayut mesra pada Mike.
Vanilla menelan salivanya lagi.
"Ayo," bisik Justin di telinga Vanilla. Vanilla pum berjalan dan duduk dengan rapat di samping Justin. Ia takut bersentuhan dengan wanita-wanita itu. Kata Alec, itu adalah wanita yang harus ia hindari.
"Ehem... " deheman Justin berhasil menghentikan aktivitas semua wanita itu, termasuk Mike.
"Oh, kau ikut, Vanilla?"
Vanilla belum mengenal Mike, tapi ia tersenyum saja saat pria itu menyapanya.
"Di mana Reno?" tanya Justin.
Mike mengedikkan bahunya dan ia mengerlingkan satu matanya pada wanita panggilan itu. Saat itu juga, wanita itu duduk di pangkuan Justin dan bergelayut mesra di d**a Justin.
Vanilla tercengang melihat kelakuan biadab wanita itu. Ia pun mengalihkan perhatiannya, dan entah mengapa ia tak suka dengan ini semua.
"Mike..." geram Justin.
Mike pun memanggil wanita itu dan memintanya untuk turun dari pangkuan Justin.
"Semuanya keluar!" perintah Mike dan langsung dituruti oleh mereka.
"Sialan!"
"Sorry, aku pikir gadis di sampingmu membutuhkan hiburan," ucap Mike sambil melirik ke arah Vanilla yang wajahnya tampak merah.
Justin mengikuti arah pandangan Mike dan ia tersenyum melihat ekspresi Vanilla.
"Aku akan main, bisa kau jaga Vanilla di sini?"
"Aku juga ingin melihatmu bermain, Just."
Justin berdiri. "Kalau begitu, kau keluar dan jaga Vanilla baik-baik. Jika ada satu pria yang menyentuhnya sedikitpun, maka kau akan kubunuh di tempat itu juga."
"Siap, bos."
Cup
Justin mengecup bibir Vanilla sekilas dan keluar dari ruangan itu dengan senyum yang mengembang. Vanilla sendiri? Ia membulatkan matanya karena perlakuan Justin.
"Kau benar tidak mencintai sahabatku itu?"
Vanilla menoleh ke arah Mike. Kemudian ia mengangguk.
"Sayang sekali, padahal ia benar-benar ingin memilikimu sebagai yang terakhir."
Vanilla akui, ia tidak terlalu paham dengan maksud perkataan Mike.
"Kau tidak paham? Ya sudah. Bagaimana jika kita melihat Justin bermain?"
"Bermain?"
Mike mengangguk dan menarik tangan Vanilla untuk keluar dari ruangan. Dengan susah payah Mike menjaga Vanilla agar tidak ada satu pria pun yang menyentuhnya, dan Mike beruntung mereka sudah berada di lantai dansa.
"Lihat itu," tunjuk Mike ke atas panggung.
Vanilla mengikuti arah yang ditunjuk Mike, dan ia terkejut saat melihat Justin yang sedang berdiri di sana dengan sebuah gitar. Lengan kemejanya ia gulung sampai siku, dan rambutnya sedikit berantakan. Terlihat seksi pastinya.
"Ia benar-benar memiliki suara yang indah," bisik Mike lagi.
"Bertemu lagi, guys?" ucap Justin pada semua orang.
"Malam ini, saya akan membawa sebuah lagu berjudul ever enough dari a rocket to the moon," ucapnya dengan santai.
Beberapa detik kemudian, Justin memulai permainan gitar dan suaranya dengan awalan yang bagus. Vanilla pun mendengar dan memperhatikan pria itu.
"Ever Enough"
No I'm never gonna leave you darling
No I'm never gonna go regardless
Everything inside of me is living in your heartbeat
Even when all the lights are fading
Even then if your hope was shaking
I'm here holding on
[Chorus:]
I will always be yours forever and more
Through the push and the pull
I still drown in your love
And drink 'til I'm drunk
And all that I've done,
Is it ever enough
I'm hanging on a line here baby
I need more than if's and maybe's
We'll come down from the highest heights
Still searching for the reason why
And now I know what it's like,
Reaching from the other side
After all that I've done
[Chorus:]
I will always be yours forever and more
Through the push and the pull
I still drown in your love
And drink 'til I'm drunk
And all that I've done,
Is it ever enough?
For all that it's worth, is it worth it?
Cause more than it's hard to desert it
For all that it's worth, is it worth it?
How do we know without searching?
I will write you this song to get back what's ours
Would that be enough?
[Chorus:]
I will always be yours forever and more
Through the push and the pull
I still drown in your love
And drink 'til I'm drunk
And all that I've done,
Is it ever enough?
For all that it's worth, is it worth it?
Is it ever enough?
How could we know without searching?
Is it ever enough?
Seakan ada sebuah mantra, suara lembut Justin dan permainan gitarnya membuat siapapun yang mendengarnya tidak bisa mengedipkan mata, termasuk Vanilla. Yang sepertinya sudah tersihir ke dalam pesona seorang Justin O'brian.
Vanilla terus menatap Justin di sana. Pria itu terlihat sangat menakjubkan.
Selama kurang lebih tiga menit, Justin menyelesaikan lagu itu dengan fantastis. Dan berhasil mendapatkan tepukan dari semua orang.
Kemudian, Justin meletakkan gitarnya dan tersenyum ke satu orang, Vanilla.
"Lagu ini saya persembahkan untuk calon istri saya, Vanilla Fernando."
Vanilla terkejut. Dan semua orang yang ada di sana berusaha untuk mencari keberadaan Vanilla.
"Itu dia, gadis bermata biru dengan wajah blasteran. Ia adalah calon istri saya," ujar Justin.
Karena ucapannya itu, semua orang sekarang menoleh ke arah Vanilla dan itu membuat Vanilla takut. Dan Justin dapat melihat ketakutan itu. Ia turun dari panggung dan berjalan ke arah Vanilla.
"Jangan takut, aku akan melindungimu," bisik Justin tepat di telinga Vanilla. Dan karena bisikan lembutnya, Vanilla merasa lega. "Dan juga, apa kau tidak ingin memujiku, Vanilla?" sambungnya.
"Vanilla?"
Vanilla, Justin, dan Mike menoleh ke asal suara.
"Kau Vanilla Fernando?" tanya seorang pria paruh baya yang memiliki mata yang sama dengan Vanilla.
"Kau siapa?" tanya Vanilla.
Pria itu tersenyum dan segera memeluk Vanilla dengan erat. "Akhirnya Dad menemukanmu, sayang."
Mike dan Justin saling berpandangan.
"Dad?" tanya Vanilla sambil melepaskan pelukannya.
Pria itu mengangguk. "I'm your Dad. My name is Alex Fernando."
Vanilla terkejut.
"Ini mimpi, kan?" batinnya bertanya.