Ciuman itu terus berubah menjadi ciuman yang menggairahkan. Lidah Justin terus memaksa masuk ke dalam mulut Vanilla, berusaha untuk mencari lidah perempuan itu guna menikmati lebih dalam gulatan ciuman di antara mereka berdua.
Rasanya panas, menghangatkan dan menggairahkan. Hingga rasanya Vanilla tidak ingin berhenti menikmati pagutan yang mendebarkan ini.
Namun, alarm bawah sadar Vanilla berdering, membangunkan jiwanya yang sempat terbuai oleh Justin. Dengan gerakannya yang cepat, dia mendorong tubuh Justin hingga membuat pagutan di antara bibir keduanya yang sangat mesra, terlepas begitu saja.
"Sial, jangan menciumku lagi!"
Justin merespon ucapan Vanilla dengan tawanya yang kencang dalam suara bariton yang menyaringkan telinga gadis itu. "Terserah kamu saja, sekarang waktunya makan. Kamu belum makan dari tadi,,” ujar Justin sambil menyiapkan makanan yang tampaj lezat ke piring Vanilla, mengabaikan raut kekesalan gadis itu.
Vanilla tidak bisa mengatakan apapun dan hanya memposisikan dirinya untuk duduk di samping Justin. melupakan segala bentuk kekesalan yang telah diterimanya karena ciuman itu.
"Besok bersiap-siaplah," seru Justin seketika, membuat Vanilla mengangkat kepala dengan mata yang menatapnya.
"Untuk?" Tidaklah aneh ketika Vanilla penasaran dengan tujuan Justin yang memintanya bersiap-siap.
"Kamu akan tahu saat ada di sana." Justin menoleh ke arah Vanilla. "Bisa tidak kamu langsung mengatakan iya tanpa bertanya sebabnya terlebih dulu?"
Vanilla memutar matanya jengah dan menatap Justin dengan tajam. "Aku tidak akan menjawab sebelum berpikir, lagipula itu yang selalu guruku ajarkan. Dan aku juga tidak bisa mengatakan iya semudah itu. Aku harus tahu kamu akan membawaku kemana."
Justin mengerutkan keningnya. Sepertinya terlalu banyak ruang untuk Alec di kepala Vanilla. "Kamu menyukai Alec?"
Vanilla mengangkat alis karena pertanyaan Justin dan langsung menggeleng. "Aku hanya mengaguminya. Itu tidak aneh kan untukku yang mengagumi guruku. Disaat aku kekurangan kasih sayang keluarga, dia memberikannya kepadaku... bentuk kasih sayang itu."
Justin terdiam. Dia mendengarkan cerita Vanilla tentang Alec dengan wajah yang serius. Hingga ada titik dimana Justin yakin jika pria itu memang tidak bisa melupakan Avira.
"Kamu yakin tidak menyukainya?"
Vanilla mengangguk, memberikan jawaban yang diinginkannya. "Berhenti bertanya dua kali. Aku benci seseorang seperti itu."
Justin mengembuskan napasnya dan memalingkan wajah dari Vanilla. "Cepat makan, setelah itu kita akan kembali."
Sebenarnya Vanilla tidak ingin kembali, karena dia begitu menyukai tempat ini. Coba saja dia mengingat jalannya, mungkin dia akan kemari setiap hari.
Perjalanan ke rumah berjalan dalam keheningan, tidak ada di antara mereka yang ingin bicara. Masing-masing sedang sibuk dengan pemikirannya.
Merasa bosan, Vanilla melihat ke luar jendela dan hujan turun dengan derasnya. Beruntung hujan turun saat mereka sudah berada di mobil. Jika tidak, maka bisa dipastikan pakaian mereka basah oleh hujan.
Tanpa banyak orang sadari, Vanilla benci hujan. Baginya hujan adalah luka yang berusaha mempertambah luka di hati Vanilla. Alasan kenapa dia membenci hujan adalah; pertama, setahu Vanilla dia dibawa ke London saat hujan, dan hujan sudah menemani kepergian Levina. Dari yang Vanilla dengar, Levina kecelakaan mobil di malam hari saat hujan deras.
Hujan adalah bencinya. Seolah hujan menjadi tanda bahwa perjalanannya hanya akan ada halangan, tanpa adanya hujan yang berhenti dan membiarkan sinar matahari menuntunnya. Karena itulah, hujan hanya akan membawanya jauh dari kebahagiaan yang diinginkannya di usia mudanya. Kebahagian yang Vanilla sadari tidak akan pernah dia dapatkan.
"Kamu tidak apa-apa?" pertanyaan itu Justin lontarkan saat melihat wajah pucat Vanilla. Wajah meronanya yang biasa, kini hilang dan hanya memperlihatkan wajah Vanilla yang pucat pasi dan membuat Justin khawatir.
Vanilla mengangguk. "Aku akan tidur." Dia pun merilekskan posisinya dan tidur begitu saja. Justin menatap datar wajah Vanilla. Seperti ada yang gadis itu sembunyikan.
"Dia terlihat semakin cantik jika diam," seru Justin dan kembali memfokuskan diri ke depan.
Setibanya di sana, Justin menggendong Vanilla ala bridal style, dan merebahkan tubuh itu ke ranjang empuknya. Setelah menutupi tubuh Vanilla dengan selimut, dan memberikan kecupan kecil di bibir, Justin meninggalkan kamar itu.
Justin turun perlahan dari kamar dan dia terkejut melihat Lara yang sudah berdiri dalam keadaan basah kuyup. Justin pun berlari ke arah Lara dan memegang lengan gadis itu.
"Astaga, Lara, apa yang terjadi?" Justin mencoba membimbing Lara ke sofa, tapi gadis itu menolak.
"Lara..."
"Aku mohon, Just. Jauhi Vanilla."
Justin mengerutkan kening. Lara tiba-tiba menangis dan memohon seperti itu pada Justin.
"Lara, aku tidak bisa."
"Tidak, kamu harus bisa. Aku mohon, Just..."
"Katakan kepadaku kenapa aku harus melakukannya, Lara?"
Lara menggelengkan kepalanya cepat-cepat. "Aku tidak bisa mengatakannya. Tidak akan pernah bisa, Just."
Justin memegang kedua pundak Lara dan ia mencoba untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi pada gadisnya itu. Namun, bagaimanapun dia berusaha, dia tidak akan pernah bisa menemukannya, kecuali Lara mengatakannya sendiri.
"Aku mohon, Justin. Jangan menikah dengan Vanilla dan yang lainnya. Aku mohon..."
Justin mencoba mencari titik terang di mata gadis itu. Ia mulai memikirkan satu alasan.
"Apa karena kamu mencintaiku?"
Lara terdiam. Raut mukanya berbeda.
"Apa benar seperti itu? Kamu tidak ingin melihatku menikah karena rasa cinta kamu?"
Lara menggeleng. Dan itu membuat Justin tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Lara mengusap air matanya kasar, dan dia mulai menjauhkan diri dari Justin. Justin yang melihat tingkah Lara, hanya bisa megerutkan keningnya. Bingung dengan segala sikap yang Lara perlihatkan kepadanya.
Lara terdiam sejenak, hingga akhirnya dia mengatakan sesuatu.
"Aku memang mencintaimu, tapi aku tahu bahwa mendapatkanmu adalah hal yang sangat sulit. Oke, silakan saja kamu menikahi Vanilla. Namun, jangan salahkan aku jika sesuatu yang sangat buruk terjadi. Aku sudah mencoba memperingatkanmu, Just." Lara membalikkan tubuhnya perlahan, kemudian ia berlari meninggalkan Justin yang masih bergeming seraya mencerna perkataan Lara.
Karena hal itu, Justin sedikit takut. Pasti ada yang coba Lara sembunyikan darinya. Tapi apa? Apakah jika dia menanyainya, maka Lara akan memberikan jawaban yang diinginkannya?
***
Vanilla hanya tidur selama satu jam lamanya. Dia turun dari ranjang super empuknya dan berjalan keluar kamar. Setelah menutup pintunya rapat-rapat, Vanilla turun ke lantai bawah. Awalnya dia berniat untuk meminum segelas air, tapi langkahnya terhenti di anak tangga terbawah saat melihat Justin sedang berhujan. Vanilla pun berjalan ke teras dan terlihat jelas Justin yang dengan bodohnya membiarkan hujan mengenainya.
Vanilla menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas raut wajah Justin, tapi dia tidak menemukannya, karena Justin menundukkan kepalanya.
"Justin," panggil Vanilla lantang, dan berhasil membuat Justin mendongak.
"Apa yang kamu lakukan di sana?"
Justin tidak menjawab. Keanehan pria itu membuat Vanilla super duper takut. Tubuh Justin bergetar, seperti menahan dinginnya air hujan dan hembusan angin.
"Masuklah!"
Justin tetap terdiam. Dengan kesalnya, Vanilla mengambil payung dan berlari ke arah Justin. Sekarang, keduanya sedang berada di bawah payung biru yang melindungi tubuh mereka dari guyuran hujan.
Mereka terdiam sesaat di sana, karena Vanilla tiba-tiba saja menemukan kesedihan tersirat di mata cokelat itu.
"Ada yang memberiku surat tangan Avira." Akhirnya Justin bersuara, meskipun itu terdengar sedih.
"Aku pergi, tapi aku akan kembali. Hatimu adalah milikku, begitu juga hatiku. Jika kamu menjaganya dengan baik, maka semuanya akan baik-baik saja. Tetaplah di sisiku, dan kita akan bahagia selamanya."
Vanilla mengerutkan keningnya bingung.
"Itu kalimat yang Avira tulis di suratnya. Hanya kalimat itu, dan aku mengingatnya dengan baik," ucap Justin sambil menunjukkan pada Vanilla potongan kertas yang sudah basah.
Tiba-tiba saja kertas itu terjatuh dan hilang di genangan air hujan.
"Kamu masih mencintainya?" Vanilla mempertanyakan pertanyaan yang ingin sekali ia lontarkan.
"Dulu, aku mencintainya."
Kalimat itu sudah cukup menjawab pertanyaan Vanilla. Vanilla maju selangkah dan menyentuh pipi Justin dengan lembut. "Jika begitu, apa lagi yang kamu khawatirkan? Kamu tidak mencintainya lagi. Dan kenapa kamu begitu bodoh sampai membiarkan dirimu berada di bawah guyuran hujan hanya karena satu paragraf?"
"..."
"Aku tahu ini dari guruku. Masa lalu memang harus diingat, tapi kenapa kita harus mengingat hal yang bahkan sudah tidak bisa kita ingat? Avira sudah hilang, jadi kenapa kamu harus mengingatnya?"
Justin tercengang. Ia tak tahu dari mana Vanilla mengetahui tentang Avira, tapi perkataan Vanilla ada benarnya. Avira sudah menghilang, dan yang tersisa hanyalah kenangan manis selama gadis itu masih ada.
"Kamu tidak harus melupakan Avira secara keseluruhan, tapi setidaknya kamu bisa mengenyahkan sedikit Avira dari pikiranmu. Kamu bisa bersikap egois untuk kali ini saja."
Vanilla menghembuskan napasnya dan menjauhkan tangannya dari wajah Justin. Ia melakukan itu agar Justin sedikit tenang.
"Aku benci hujan, dan kamu membuatku masuk ke dalam hujan." Vanilla menyerahkan payung itu ke tangan Justin dan ia hendak pergi, tapi Justin mencekal tangannya dan membuat mata yang berbeda warna itu saling menatap.
Debaran jantung Vanilla terasa, memberikan aliran listrik yang tidak bisa dia biarkan terus dia rasakan saat ini.
"Ayo masuk, kamu bisa sakit," ucap Vanilla penuh perhatian.
Dengan sedikit paksaan, Vanilla melepaskan cekalan Justin dan membalikkan tubuhnya, tapi lagi-lagi Justin mencekalnya dan membuat tubuhnya berbalik ke hadapan Justin. Dia melihat kedua mata Justin yang menatapnya dengan sangat lekat. Seolah tidak ingin melepaskan pandangannya yang hanya terarah kepada Vanilla.
"Just, jangan-"
"Bagaimana ini? Sepertinya aku mulai mencintaimu."
Mencintai? Itu adalah hal paling aneh yang Vanilla dengarkan dari pria ini. Bagaimana bisa dia mengatakan kata itu dengan sangat mudah tanpa memikirkan bagaimana perasaan Vanilla?
Satu hal yang ada di benak Vanilla sekarang ini.
Is Justin being crazy?
Jika benar kewarasan Justin sudah menghilang, lalu apa yang harus ia lakukan sebagai anak tiri yang baik? Diam atau membawa Justin ke rumah sakit jiwa? Tapi masalahnya Vanilla tidak tahu di mana letak rumah sakit itu.