“Fiction is truth behind lies.” – Stephen King
***
Jam telah menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Emily masih sibuk dengan goresan pensilnya di atas sobekan kertas. Seperti biasa, guru menjelaskan sesuatu yang tak bisa ditangkap otaknya. Emily menahan kantuk dengan mencorat-coret sesuatu. Pastinya coretan mengenai imajinasinya.
“Emily, bisa kau jelaskan cara menyelesaikan ini?”
Seketika badannya tegak. Pandangan gadis itu linglung menatap teman-teman sekelilingnya yang memandanginya. Berharap mendapat bantuan jawaban, namun alhasil justru temannya itu tersenyum kecil melihat tingkah Emily. [Ayolah otak, pikirkan sesuatu], batin Emily.
Dia sama sekali tidak tahu.
“Em, mungkin begini.” Emily menuju papan tulis. Dia menuliskan semua yang ia tahu untuk menyelesaikan soal itu. Namun, dia tidak menggunakan “bakat” nya. Semua murni pengetahuan Emily mengenai materi itu. Sayangnya, ia tak tahu apa-apa. Temannya hanya menahan tawa, sedangkan guru matematika itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Usaha yang bagus, tapi itu masih salah. Kau melupakan pangkat tiga di angka dua itu. Lain kali, perhatikan ke depan!” seru guru itu tegas.
“Ya, Pak!”
***
“Emily!!”
Sarah Greene berlari di koridor ketika melihat gadis berkucir ekor kuda dengan pita merah melintas keluar kelas begitu bel istirahat berbunyi. Sontak, Emily menoleh menuju ke sumber suara.
“Oh hai, Sarah. Ada apa?” sapa Emily sambil menyunggingkan senyuman.
“Kau mau nonton teater nanti malam? Acara itu sangat dinantikan lhoo! Kau tau, adik kelas kita yang masih kelas sepuluh, Nathano Gilbert, jadi anggota teater terbaru yang langsung ditunjuk tampil! Tokoh utama pula!" Sarah yang heboh hanya ditanggapi Emily dengan senyuman. Gadis ini memang pandai melebihkan sesuatu.
“Ah, aku tidak bisa ikut. Kemungkinan besar Mr. Lj akan mengadakan kuis soal besok. Mau belajar, hehe,” jawab Emily mencari-cari alasan. Dia memang tidak terlalu suka tempat ramai. Entah kenapa rasanya sesak dan hanya membuang waktu.
“Ayolah, Emily!! Kudengar aktingnya bagus! Belum lagi kudengar dia itu ganteng! Ayo temani akuu, please, aku sudah beli tiketnya..." Sarah memohon dengan mimik wajah yang dibuat-buat. Bukannya mendapat kesan wajah puppy eyes, tapi malah lebih mirip Ratu Merah Kepala Besar di Alice in Wonderland ketika merajuk.
Jika sudah begini, Emily tak bisa memupuskan harapan temannya. Bisa-bisa ia tak dipinjami rangkuman materi lagi. Maklum, Sarah yang rajin membuat catatan selalu dibutuhkan oleh orang-orang yang agak lamban berpikir seperti Emily. Kelebihan Sarah bisa menjadi pertimbangan setiap orang untuk tidak menolak permintaan gadis pintar itu.
“Oke, tapi aku tidak janji bisa menonton acara hingga selesai. Kalau membosankan aku langsung pulang, tak peduli acara itu baru mulai atau ada adik kelas yang kau ceritakan itu. Ngomong-ngomong, seperti biasa, aku pinjam rangkuman materi kimiamu."
Mendengar Emily menerima ajakannya, Sarah langsung berbinar-binar. “Siap!!”
***
[Aula sekolah, 18.00]
[Back stage]
“Hoi, ayo berkumpul! Anggota teater yang sudah berganti pakaian, ayo kumpul! Briefing singkat!” seru Rafael, pimpinan acara teater.
“Mana si anak baru? Gilbert!!”
Seorang bocah lelaki tinggi dengan kostum setelan jas hitam berjalan cepat ke arah suara. Rambutnya yang hitam dipadukan gel rambut dan bola matanya yang berwarna hijau – benar-benar hijau – membuat siapa saja yang melihat langsung terpana. Begitu muncul, ia langsung menghampiri Rafael, seniornya itu.
“Aku di sini.”
Rafael menatap Gilbert sejenak. Dipandanginya penampilan bocah itu dari ujung kepala hingga kaki.
“Bagus, penampilanmu sudah sesuai. Ingat peranmu baik-baik!”
Rafael kembali menatap ke sekumpulan orang berkostum dihadapnnya. “Setengah jam lagi acara dimulai. Kita lakukan semaksimal mungkin!! Jangan biarkan latihan 2 bulan kita sia-sia! Terutama kau, Gilbert. Peranmu paling penting disini! Jangan meragukan kepercayaanku menaruh peran itu padamu. Semuanya, kalian siap?!"
“Yes, we are ready!!”
***
[Aula sekolah, 19.00]
[Front stage]
Emily memandang sekelilingnya. Sudah satu jam ia berdiri di sisi depan panggung. Menunggu Sarah. Ia tak mau buru-buru duduk sendirian sedangkan Sarah belum datang. Di mana Sarah? Kenapa belum datang, batinnya dalam hati.
Tanpa sadar seseorang menabrak dirinya. Itu terjadi begitu cepat. Pundak Emily mendadak nyeri karena itu. Ketika dia menoleh, Emily mendapati pria berjas hitam itu sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya berlari kencang ke belakang panggung.
“Maaf!!” teriak laki-laki itu sambil lalu.
Emily tersenyum kecut. Ia menghela napas dengan berat. [Kesialan macam apa ini. Kalau Sarah tidak datang sepuluh menit lagi, aku pulang saja.]
Tentu saja Emily mencak-mencak. Dia benci keramaian dipaksa menunggu selama ini. Belum lagi seseorang menabraknya dengan kencang. Pakaian orang tadi rapi sekali, jangan-jangan anak teater?
“Akhirnya aku sampai!" seru Sarah sambil menepuk pundak Emily. Napasnya terengah-engah.
“Kamu! Darimana saja, hah?!”
“Jalanan macet, Sayang. Ayo duduk!" jawab Sarah melempar alasan klasik. Ia melenggang masuk dalam keramaian
“Jangan pakai 'sayang' segala! Dikira lesbian nanti,” sahut Emily setengah bercanda. Emily mencubit lengan temannya itu. Sarah hanya tertawa menanggapi tingkah Emily.
“Ladies and Gentleman! State High 3 teater proudly present, this fantastic night with our actresses and actors, please come to the stage!!”
Sambutan pembawa acara terdengar membahana ditambah tepuk tangan meriah penonton. Emily dan Sarah baru saja duduk di bangku kosong barisan kedua setelah melewati lautan manusia penasaran yang masih berdiri di sekitar aula.
Begitu tepuk tangan mereda, para pemain muncul ke atas panggung. Yang paling mencolok diantara mereka tentunya lelaki berjas yang berdiri di tengah. Emily memicingkan mata, dirinya tak salah lagi lelaki itu pastinya...
“Aaaa!! Itu Gilbert!! Dia ganteng banget! Emily, lihat itu!”
Kehebohan Sarah dan gadis-gadis lainnya membuat pikiran Emily teralihkan sejenak. Perlahan tapi pasti, kesadarannya kembali untuk berpikir. Berulang kali Emily mengerjapkan mata. Sekarang ia sungguh yakin. Tak salah lagi, itu orang yang menabraknya tadi.
“Sarah, diamlah! Kau berisik!" seru Emily. Sarah pun diam menutup mulut, tapi tetap bergerak-gerak seperti kebanyakan penonton lain yang menyaksikan.
Pembawa acara kembali mengambil alih. “Kami akan membawakan teater kali ini dengan judul 'Mata dibalik Pikiran'. Kami akan membawa para penonton melihat kelihaian para penguasa dalam mengelabui orang banyak. Sebagai contoh, memecahkan kasus dengan mengucapkan satu kalimat saja. Penasaran? Selamat menyaksikan..."
Tirai menegangkan penuh takdir pun dibuka.
***