Chapter 2

379 Words
Sabdha menarik pedal rem dan bersandar pada kursi kemudi. Ia memejamkan matanya sejenak. Kepalanya pusing karena Ia hanya mendapatkan waktu tidur 2 jam sebelum alarm ponselnya berbunyi dengan nyaring. Penyebab lain yang membuat kepalanya pusing adalah kenapa Ia harus repot-repot mengkhawatirkan Nata setelah menguping pembicaraan wanita itu di lift kemarin melalui telepon? Nata pasti baik-baik saja, batinnya. Sebagai anak yang dari kecil makan dengan sendok emas, Ia mengakui kalau ternyata Nata tidak selemah dan secengeng dugaannya. Gadis cantik itu pasti sangat terpukul dengan kepergian kedua orangtuanya, dan masalah korupsi ayahnya. Mengetahui Nata tetap berjuang membuat nilai wanita itu dimatanya melonjak tajam. Sabdha turun dari Range Rover Evoque berwarna hitam miliknya dan berjalan menuju lift yang berada di basement. Hanya ada dia sendiri disini karena sudah lewat 1 jam sejak jam operasional perusahaan dimulai. Pintu lift terbuka di lantai G. Sabha melihat Nata berdiri disana dan tidak bergerak sama sekali. "Masuk saja, Nata. Saya tidak terjangkit virus yang harus kamu hindari." Dengan ragu-ragu, Nata melangkahkan kakinya kedalam lift yang hanya berisi mereka berdua. Nata menekan tombol angka 11. "Kenapa baru datang?" Nata menoleh, "Mohon maaf, Pak. Saya nggak akan mengulanginya lagi," ujarnya pelan. "Yang saya tanyakan, kenapa kamu baru datang jam segini?" Desak Sabdha. "Kereta pagi ke arah Jakarta penuh. Setelah lewat 4 kereta saya baru bisa masuk. Sabdha mengerutkan keningnya bingung, "bukannya kostan kamu di jalan sebelah kantor?" "Saya sudah pindah." "Kenapa?" Pintu lift terbuka dan Nata bersyukur karena Ia tidak harus menjawab pertanyaan Sabdha. Seharusnya laki-laki itu turun di lantai ini. "Sudah sampai di lantai Bapak." Nata menahan tombol di lift agar pintu tetap terbuka. Namun sepertinya Sabdha betah berada di lift kecil ini. "Apa yang terjadi kemarin? Siapa yang telfon kamu?" "Kalau Bapak nggak cepat turun, nanti saya tambah telat absennya." "Jawab pertanyaan saya, Nata. Atau saya bilang sama Ibu biar Ibu yang langsung tanya ke kamu. Ibu titip kamu ke saya. Kalau kamu kenapa-kenapa, saya yang di apa-apain sama Ibu." Natasha menghela nafas panjang dan mengangkat jarinya dari tombol lift dengan malas. "Mereka menagih hutang-hutang Papa," jawab Nata pada akhirnya. "Hutang Papa nggak sedikit. Mereka datang terus dan orang sekitar tempat saya kos mereka terganggu. Saya harus pindah." Tidak ada kesedihan dalam nada Nata saat menceritakan hal itu. Malah Ia terlihat sangat santai seakan ini adalah hal yang biasa. "Nggak perlu merasa kasihan. Saya baik-baik saja." Nata tersenyum tipis. Tepat saat pintu lift terbuka, Nata melangkah keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD