Takdir setiap manusia sudah di atur oleh sang pencipta. Manusia hanya objek saja
~Berapa Bulan?~
Tere berjalan tergesa-gesa ke arah kamar mandi dan langsung memuntahkan isi perutnya yang sedari tadi memaksa ingin keluar.
"Huek huek huek."
Tere terus saja memuntahkan sarapan paginya tadi sehingga tak tersisa lagi di perutnya dan sekarang perutnya terasa sangat lapar namun dirinya tidak siap makan dan muntah lagi.
Sejak kemarin dirinya terus saja muntah-muntah, kondisinya sedang tidak fit bahkan hari ini Tere memutuskan untuk tidak bekerja dulu di cafe sebagai pelayan karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
"Sialan, aku sangat lapar tapi aku lelah terus muntah Tuhan," ucap Tere lalu berselonjoran di lantai kamar mandi meratapi nasibnya yang hidup sebatang kara.
Beginilah hidup seorang Tere Queenera, hidup sebatang kara tanpa ada siapa pun yang peduli ia masih hidup atau sudah mati. Air mata mengalir di kedua pipinya saat mengingat mendiang mama dan ayahnya yang telah meninggal karena kecelakaan pesawat meninggalkan Tere sendirian menghadapi kerasnya ibu kota.
"Sepertinya aku harus ke apotek, membeli obat agar kondisiku membaik. Sebulan lagi aku akan berangkat ke Amerika untuk kuliah tidak mungkin aku sakit seperti ini."
Tere berusaha bangun dari duduknya lalu mengambil dompet, jaket, dan payung karena sekarang sedang hujan walaupun hanya gerimis.
Tere mengunci pintu kos-kosannya lalu membuka payungnya dan berjalan melewati hujan yang membasahi bumi. Tere tidak sadar bahwa ada mobil yang sedari tadi mengikutinya lebih tepat sejak sebulan lalu saat kejadian malam itu.
Dia adalah Arya Panggalila.
Entah kenapa Arya tak bisa melupakan wajah tegas dan tatapan tajam seorang Tere dari benaknya. Rasa bersalah selalu menghantuinya saat mengingat malam itu walaupun sebenarnya malam itu adalah kesalahan mereka berdua dan Tere pun tidak meminta pertanggungjawaban namun tetap saja dirinya selalu dihantui rasa bersalah saat mengingat air mata Tere pagi itu.
"Kemana dia akan pergi disaat gerimis begini?" Tanya batin Arya khawatir.
~Berapa Bulan?~
"Permisi mbak saya ingin membeli obat pereda mual dan pusing," ucap Tere pada wanita pemilik apotek ini.
Wanita itu menatap Tere dari atas kepala hingga bawah kaki dengan tatapan menilai membuat Tere berdiri dengan kikuk.
"Berapa minggu dek?"
Seketika wajah Tere langsung melongo karena tidak mengerti maksud ucapan pemilik apotek itu.
"Maksudnya mbak?" Tanya Tere karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan pemilik apotek ini.
"Adik hamilnya berapa minggu?" Tanya pemilik apotek itu memperjelas pertanyaannya.
Jantung Tere langsung berhenti berdetak sejenak, nafasnya tercekat mendengar pertanyaan pemilik apotek itu. Tubuh Tere seketika lemas, pandangannya kabur, kepalanya pusing lalu Tere tak dapat lagi menahan rasa pusingnya dan kesadarannya pun hilang.
Samar-samar ia bisa mendengar pemilik apotek itu dan beberapa orang berusaha membangunkannya dan memanggilnya namun Tere sudah terlalu lelah dengan keadaan hidupnya sekarang.
Dan yang terakhir ia dengar adalah suara bariton yang memanggil namanya lalu Tere bisa merasakan tubuhnya diangkut oleh pemilik suara itu. Setelahnya Tere benar-benar tidak sadarkan diri.
"Kamu harus sadar Tere, saya di sini sama kamu. Saya akan selalu melindungi kamu, maafkan saya yang sudah merusak masa depan kamu Tere."