12. PAMAN JAYA

2520 Words
"Guntoor, Vlazhis." Langit menambah kecepatannya dengan kemampuan sihirnya. Sekarang, ia bergerak secepat kilat menghampiri Jaya. Begitu juga dengan Jaya. Dengan sekali tekanan pada otot-otot kakinya, ia langsung melesat cepat ke arah Langit yang sama-sama sedang melesat ke arahnya. "Guntoor, Voltroz!!" Tangan kanan Langit mengeluarkan percikan listrik putih menyilaukan yang kini menyelimuti seluruh permukaan tangannya. Ia siap menggunakannya untuk menerjang tubuh Jaya. Jaya tidak mau kalah. Ia memusatkan spirit negatif berwarna ungu di tinju tangan kanannya. Dengan tinjunya itu, ia siap menghantam tubuh Langit dengan keras. Jarak di antara keduanya semakin memendek. Mereka berdua terus mendekat dengan cepat hingga akhirnya, telapak tangan petir milik Langit dan tinju spirit negatif milik Jaya saling bertabrakan dan menyebabkan sebuah ledakan yang cukup besar. Semua orang menatap ke arah pertarungan mereka dengan wajah yang sangat serius dan penuh harap. Mereka berharap Langit dapat membuka jalan untuk melihat di mana kelemahan Jaya. Namun, ekspresi berbeda sedikit ditunjukkan oleh Bumi. Wajahnya terlihat sangat sedih dan seperti ada perasaan bersalah terpampang di sana. "Paman ...," ucapnya lirih. Kilas balik satu setengah tahun yang lalu... Jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Seluruh anggota keluarga Azkara tampaknya masih terlelap tidur di kamarnya masing-masing. Tapi, ada salah seorang dari mereka yang terlihat sudah bangun dan telah berpenampilan sangat rapi pagi ini. Ia terlihat sangat cerah dengan kemeja merah mudanya. Aura kegembiraan menyeruak keluar dari dirinya membuat siapa saja yang bertemu dengannya pasti akan ikut merasa gembira. "Du ... du ... ru ... du ... du ...." Pria tampan dengan umur sekitar empat puluh tahunan itu bersenandung riang sambil berjalan ke suatu tempat. Wajahnya yang tersenyum senang benar-benar terlihat seperti orang yang tidak punya beban hidup sama sekali. "Ah, subuh-subuh begini bangunin macan tidur kayaknya seru," ucap pria itu dan lantas mempercepat langkahnya menuju ke sebuah kamar. Sepanjang perjalanan ia bertemu dengan beberapa pelayan yang telah memulai pekerjaannya. Ia menyapa ramah pelayan-pelayan itu sebelum mereka menyapanya duluan. "Pagi," sapa pria itu sambil menyuguhkan senyumnya. "Pagi, Tuan," balas pelayan yang juga ikut tersenyum. Terlihat dengan sangat jelas setiap pelayan dan pekerja yang ada di rumah ini sangat senang dengan keberadaan pria tersebut. Wajah mereka menjadi lebih berseri setelah mendapat sapaan darinya. Setelah berjalan melewati beberapa lorong, akhirnya pria itu sampai di depan pintu kamar orang yang ia ingin jahili. Senyum usil pun terpampang jelas di wajahnya saat ini. Ia mulai membuka pintu dan lalu berjalan masuk ke dalamnya. Sesampainya ia di dalam, ia berjalan dengan sangat hati-hati karena keadaan kamar yang begitu gelap. Ia terus berjalan sampai akhirnya langkah kakinya terhenti tepat di depan sebuah kasur tidur berukuran king size yang di atasnya terdapat seseorang yang masih terlelap tidur. Lalu dengan jahilnya, ia langsung melompat ke atas orang yang sedang tidur itu sembari berteriak dengan keras. "LANGIIIIIITT KEPONAKANKU!!! AYO BANGOOOOON!!! SUDAH SIANG!!!" Teriakan pria itu terdengar sangat keras dan berisik. Orang yang diganggunya itu pun seketika langsung membuka kedua matanya dengan perasaan kaget yang teramat sangat. "APAA??!!" kata Langit sambil membelalakkan kedua matanya. Pria yang masih ada di atas tubuh Langit itu terlihat tertawa terbahak-bahak. Ia merasa sangat senang karena melihat ekspresi lucu orang yang dikagetinya itu. Langit yang tidur tanpa sehelai benang itu lalu mulai merasa sangat kesal ketika mengetahui kalau pamannya yang jahil itu ternyata telah mengganggu tidur nyenyaknya. Ia pun lantas mulai berteriak marah pada Jaya. "PAMAN JAYA!!!" Tahu akan dimarahi, pria yang ternyata adalah Jaya itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Ya, rencana awalnya kan memang membangunkan macan yang sedang tidur. Jadi, risiko diomeli pun pasti sudah siap ia terima. "Sumpah, Paman! Ini tidak menyenangkan sama sekali!" kata Langit yang masih kesal. "Tapi buat Paman ini sangat menyenangkan." Jaya tertawa sambil berguling-guling di atas kasur empuk milik Langit yang mana malah semakin membuat Langit kesal. "Paman!!! Cepat keluar dari kamarku!!! Aku mau tidur lagi!!!" "Eh? Masa tidur lagi sih? Bangunlah terus mandi. Bangun pagi biar rejekinya ga dipatok ayam." "Ini masih subuh Paman!!! Bukan pagi!!! Jadi cepat sekarang Paman keluar dari kamarku!!" Jaya lalu bangkit dari kasur Langit dengan wajah yang masih cengengesan. Setelahnya, ia bertanya sesuatu pada Langit yang mana terlihat sekali kalau ia sangat menaruh perhatian pada keponakannya itu. "Kamu sedang sakit, hem?" tanya Jaya. "Tidak!" jawab Langit ketus. "Jangan bohong! Paman merasakan aliran spiritmu kurang stabil sekarang. Dan terlihat dari wajahmu yang sedikit pucat itu menandakan kalau kamu memang sedang kurang enak badan." Jaya sudah sangat hafal dengan Langit yang memang selalu menyembunyikan apa pun perihal kelemahan dirinya. Salah satunya adalah sakit. Langit yang sudah terpojok tidak berkata apa-apa dan malah kembali merebahkan tubuhnya. Ia juga memejamkan kedua matanya untuk kembali tidur. Jaya yang sangat sayang dengan keponakannya itu lantas berinisiatif membuatkannya ramuan obat untuk mengembalikan kondisi tubuhnya. "Akan Paman buatkan ramuan obat untukmu dan nanti minumlah saat perjalanan menuju ke kantor." Jaya lalu duduk di tepi ranjang milik Langit dan mendekatkan tubuhnya ke arah keponakannya itu. Langit yang merasa pamannya itu mendekat lantas kembali membuka kedua matanya yang terpejam. "Paman akan memberikannya secara diam-diam dan Paman jamin, yang lainnya tidak akan tahu kalau kamu sedang sakit," katanya dan lalu mengedipkan sebelah matanya pada Langit. "Baiklah kalau begitu, Paman pergi dulu ya. Bye-bye." Sebelum Jaya beranjak pergi, ia kembali bertingkah usil dengan mencubit hidung keponakannya itu dan lalu menariknya dengan keras, yang seketika langsung mendapat amukan dari empunya. "PAMAN JAYA!!!" teriak Langit dengan kedua matanya yang memancarkan kilatan petir. Jaya pun berlari keluar kamar Langit sambil tertawa puas. Ia sangat suka menjahili keponakannya yang pemarah itu. Setelah ia mengunjungi kamar Langit, ia lalu berniat mengunjungi kamar kakak laki-lakinya (bukan kandung) dan istrinya yang mana ia bertujuan untuk membangunkan mereka. "Morning Kakak dan Kakak Iparku tercinta!!" ucap Jaya dengan nada riang gembira. Wajahnya dengan penuh kegembiraan memasuki kamar sepasang suami istri itu tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Dan respons mengejutkan pun datang dari Raja dan Ratu yang ternyata sudah bangun. "JAAAYAAA!!!" teriak Raja panik. Ia lalu turun dari atas tubuh Ratu. Begitu juga dengan Ratu yang berteriak dan dengan cepat menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai benang pun menggunakan selimut. Jaya yang juga ikut merasa kaget langsung membalikkan tubuhnya menghadap pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini, hah?!" tanya Raja sambil sedikit membentak. Ia sepertinya kesal karena momen mesra-mesraannya dengan Ratu malah diganggu oleh Jaya. "Ampun, Kak, maaf!! Aku tidak tahu kalo Kakak lagi begituan!!" Setelah itu Jaya langsung berlari keluar kamar dengan secepat kilat. Ia benar-benar masuk di momen yang salah. Raja dan Ratu yang sebelumnya terlihat panik kini terlihat saling tatap satu sama lain. "Adikmu itu kebiasaan, deh, suka nyelonong masuk ke kamar orang," kata Ratu. "Ya, mau bagaimana lagi, memang sudah sifatnya yang seperti itu," kata Raja. Setelah lari kocar-kacir dari kamar Raja dan Ratu, kini pria yang sudah menginjak kepala empat itu berniat untuk mengunjungi kamar keponakannya yang lain. Ia akan mengunjungi kamar keponakannya yang paling kaku dan sangat keras kepala. Setelahnya, barulah ia akan pergi ke ruang perpustakaan untuk membuat ramuan obat yang telah ia janjikan pada Langit. Jaya memasuki kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu pintunya (kebiasaan). Ia berniat ingin menjahili keponakannya itu sama seperti ia menjahili Langit. Tapi saat ia memasuki kamar, terlihat kalau keponakannya yang satu itu tengah bersiap-siap mengenakan pakaiannya. Ia pun malah mendapatkan sapaan darinya. "Pagi, Paman," Jaya tersenyum dan kembali menyapa keponakannya itu. "Pagi, Bumi." Ia terlihat senang dan bangga melihat keponakannya yang satu itu telah siap di jam sepagi ini. "Wah, hebatnya keponakan Paman sudah rapi. Mau ke mana memangnya?" tanya Jaya. Sambil tetap tersenyum, Bumi pun menjawab, "Aku ada pekerjaan Paman. Aku harus pergi ke suatu tempat." "Pekerjaan dari Papamu?" tanya Jaya lagi. Bumi menganggukkan kepalanya. Senyum manis tidak luntur sedikit pun dari bibirnya. Jaya yang beberapa hari ke depan tidak memiliki pekerjaan tiba-tiba saja memiliki niatan untuk ikut dengan Bumi. "Paman ikut ya? Kali saja Paman bisa membantu." Bumi berpikir sejenak. Ia seperti sedang menimang-nimang permintaan pamannya itu. "Baiklah, Paman boleh ikut. Setelah sarapan Paman sudah harus siap ya," kata Bumi. "Wokeh siyap!! Kalau begitu, Paman pergi dulu untuk bersiap-siap." Setelahnya, Jaya pergi keluar kamar Bumi. Ia kini harus segera membuat ramuan obat untuk Langit dan lalu menyiapkan barang-barang bawaannya untuk bepergian bersama Bumi nanti. *** Di ruang makan... Seperti biasanya, sarapan pagi berjalan dengan sangat hikmat, obrolan hangat pun menemani orang-orang yang sedang duduk di sana. "Hey, Raga, Agro, nanti bulan depan kita coba ke air terjun yang ada di Jawa Timur itu yuk. Kita coba lompat dari atasnya. Pasti akan sangat seru," ajak Jaya pada dua keponakannya yang sangat suka dengan olahraga ekstrem. "Hayuk-hayuk!" ucap Agro dengan antusias. "Ide yang bagus tuh, Paman," ucap Raga. Bintang yang merasa penasaran dengan lokasi air terjun tersebut lantas menanyainya pada Jaya. Ia pun kini bergabung dengan obrolan ketiga orang itu. "Air terjun yang mana, Paman?" "Air Terjun Perawan. Objek wisata yang seru itu," jawab Jaya antusias. Surya yang mendengarnya langsung membelalakkan kedua matanya. "Maksud kalian Air Terjun Perawan yang itu?" tanya Surya memastikan. Mereka bertiga pun menganggukkan kepala mereka dengan kompak. "Kalian gila! Di bawahnya itu kan banyak sekali batu-batu besar yang cukup tajam. Kalian bisa mati kalau lompat dari atas sana," kata Surya dengan sedikit mengomel. "Aahh ... kamu terlalu berlebihan, Sur. Batu-batu itu tidak besar dan tidak tajam kok, cuman batu-batuan kecil, batu sungai biasa," kata Jaya. "Batu sungai biasa apanya?! Aku sudah pernah melihat tempat itu di internet!" "Untuk pencinta olahraga ekstrem seperti kita mah itu adalah hal yang lumrah dan biasa. Apa yang menurutmu berbahaya, bagi kami adalah sebuah tantangan yang sangat seru. Benar kan anak-anak?" Jaya menatap ke arah Raga dan Agro sambil mengedipkan sebelah matanya. "Yoaai!!" ucap Agro dengan muka soknya. "Lagi pula, batu-batu empuk itu tidak akan bisa melukai kita. Benar begitu kan, Paman, Agro?" kata Raga dengan wajah tak kalah sombongnya dari Agro. Surya pun hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan mereka bertiga. "Kalian benar-benar gila." Jaya, Raga dan Agro pun hanya tertawa mendengar ucapan Surya. Percakapan seperti itu sudah sangat biasa terjadi antara Jaya, Raga, Agro dan Surya. Surya yang memang memiliki sifat perhatian dan kepedulian yang tinggi selalu merasa cemas dan khawatir pada ketiga anggota keluarganya yang sangat menyukai hal-hal berbau ekstrem seperti itu. Setelah percakapan mereka selesai, kini Jaya beralih berbicara pada Raja. Ia membicarakan soal keikutsertaannya dalam pekerjaan yang ia berikan pada Bumi. "Kak, aku akan ikut Bumi bekerja. Bumi sudah mengizinkanku untuk ikut, sekarang tinggal Kakak yang belum menyetujui keikutsertaanku ini," kata Jaya dengan santai tanpa adanya sedikit pun rasa canggung. Padahal, pagi tadi ada momen yang kurang mengenakan yang terjadi antara Jaya dan Raja yang seharusnya membuatnya merasa canggung. Tapi nyatanya, ia terlihat biasa-biasa saja. "Kamu mau ikut? Memangnya tidak ada pekerjaan lain yang harus kamu lakukan?" tanya Raja. Justru malah ia yang terlihat sedikit canggung. Jaya pun menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Aku bebas sampai dua minggu ke depan." "Ya sudah, kalau begitu ikutlah. Bantu Bumi dalam pekerjaannya." Raja pun mengizinkannya untuk pergi. Surya yang sebelumnya berdebat dengan Jaya soal Air Terjun Perawan, tiba-tiba saja meminta padanya untuk mengajarkannya cara meracik ramuan pengubah wujud. Ia sudah sangat lama ingin menguasai cara membuat ramuan tersebut. Namun belum ada kesempatan untuk bisa mempelajarinya. "Paman, ajari aku cara membuat ramuan pengubah wujud. Aku benar-benar ingin menguasai cara membuatnya," pinta Surya. "Memangnya mau kamu gunakan untuk apa ramuan itu?" tanya Jaya. "Aku mau mengubah Chandra menjadi seorang perempuan." Seketika itu juga, Chandra terbatuk dan lalu menatap aneh ke arah Surya, sementara yang lainnya terlihat tertawa mendengar ucapan yang keluar dari mulut Surya. "Loh? Apa maksudnya kamu mau aku berubah menjadi perempuan?" tanya Chandra. Dan dengan santainya Surya berkata, "Aku hanya penasaran, secantik apa kamu kalau kamu menjadi seorang perempuan." Semuanya terlihat tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Baru kali ini seorang Surya memikirkan hal yang tidak jelas seperti itu. "Kamu mulai segila Paman beserta dua orang lainnya itu," kata Chandra. Tapi tiba-tiba saja, Bintang yang sedari tadi asik mendengar obrolan mereka, mulai berceletuk. "Tapi aku setuju dengan Kak Surya. Kak Chandra yang punya lesung pipi pasti akan terlihat sangat cantik kalau jadi perempuan." Surya pun langsung memberikan gestur seperti orang menunjuk setuju pada Bintang. Chandra yang mendengar hal itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Kalian gila," ucapnya. Jaya yang sedari tadi tersenyum lantas langsung mengiyakan permintaan Surya. "Baiklah, Paman akan ajarkan kamu nanti setelah pulang dari membantu pekerjaan Bumi." Surya pun mengangguk senang mendengarnya. Akhirnya, sebentar lagi ia akan bisa mengubah Chandra menjadi sesosok perempuan cantik. Walaupun cuman sesaat. Ratu yang baru selesai meminum segelas air putih langsung menanyai Jaya perihal barang-barang yang akan dibawanya nanti saat menemani Bumi. "Jay, apa barang-barang yang harus kamu bawa sudah disiapkan?" tanya Ratu. "Sudah, Kak, semuanya sudah siap," jawab Jaya mantap. "Kalau begitu, aku titip Bumi ya. Aku sangat bersyukur kamu ikut karena perjalanannya kali ini cukup berbahaya." Jaya mengangguk. "Siap, Kak, aku akan selalu menjaga setiap keponakanku yang ada di sini dengan sangat baik!" Ratu hanya tersenyum mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Jaya. Ia sangat bersyukur ada Jaya di tengah-tengah keluarganya ini, yang mana sangat membantunya dan juga Raja dalam mengurus kedelapan anak-anaknya. *** Setelah kegiatan sarapan pagi selesai, Bumi yang telah siap dengan barang bawaannya, lantas menghampiri Jaya yang berada di kamarnya. Tok-tok... "Masuk." Terdengar suara orang dari dalam. Bumi pun membuka pintu dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Jaya. "Paman sudah siap?" tanya Bumi. Jaya yang baru saja selesai menutup kopernya menjawab, "Sudah." "Baiklah, kalau begitu ayo kita berangkat. Mobil sudah menunggu kita di bawah." "Eh iya, tapi sebelum itu, Paman mau bertemu Langit terlebih dahulu. Ada sesuatu yang harus Paman berikan padanya." Bumi hanya mengangguk tanda ia menyetujuinya. Mereka berdua kini berjalan pergi keluar kamar menuju ke lantai bawah. Awalnya Jaya ingin menghampiri Langit di kamarnya terlebih dahulu, tapi secara kebetulan ia malah bertemu dengan keponakannya itu tepat di lorong yang sedang ia lewati. "Langit, baru saja Paman mau ke kamarmu," ucap Jaya. Setelahnya Jaya meminta Bumi untuk pergi terlebih dahulu karena ia ingin berbicara sesuatu dengan Langit. "Pergilah duluan, ada yang ingin Paman bicarakan dengan Langit." Bumi mengangguk. Tapi sebelumnya, ia menawarkan diri untuk membawakan koper milik Jaya. "Biar kubawakan kopermu Paman." Jaya dengan senang hati memberikan kopernya pada Bumi dan setelahnya Bumi berjalan pergi meninggalkan Jaya dan juga Langit berduaan di sana. Saat sosok Bumi sudah tidak terlihat lagi, Jaya lantas mengeluarkan ramuan obat yang telah dibuatnya tadi dan lalu diberikannya ramuan itu pada Langit. "Ini, segera diminum agar badanmu enakkan," kata Jaya. Langit langsung menerima ramuan itu dengan ekspresi wajah datarnya. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Jaga kesehatanmu baik-baik, karena tidak selamanya Paman akan berada di dekatmu." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Jaya menepuk pundak Langit pelan dan berlalu pergi meninggalkannya. Langit tidak pernah menyadari bahwa kata-kata yang didengarnya tadi adalah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Jaya sebelum sebuah insiden menimpanya di kemudian hari. Di lantai bawah tepatnya di depan pintu rumah, Bumi sudah menunggu Jaya. Ia berdiri bersama dengan Raja dan Ratu yang terlihat mengantar kepergian mereka. "Hati-hatilah kalian berdua," kata Raja. "Mama doakan agar pekerjaan yang kamu dan Paman lakukan dilancarkan dan dimudahkan," kata Ratu. Setelahnya, Bumi dan Jaya melangkah pergi memasuki mobil. Mobil itu lalu melaju pergi meninggalkan kediaman Keluarga Azkara tanpa ada satu pun orang yang memiliki firasat buruk tentang apa yang akan menimpa Jaya di kemudian hari. Kilas balik selesai...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD