14. MULAI TERSADAR

1253 Words
Di kamar Dio... Sudah seharian ini Dio terkurung di dalam kamarnya, ia tidak bisa pergi ke mana pun dikarenakan kegiatan pembersihan rumah secara total yang sedang berlangsung di luar kamarnya. Padahal sebenarnya di luar sana tidak ada kegiatan pembersihan apa pun. Ia hanya diminta oleh Raja agar tetap diam di kamarnya untuk mencegah suatu hal yang tidak dinginkan terjadi. Hebatnya, selama seharian ini Dio tampak tidak bosan, tidak merasakan lapar ataupun merasakan haus sama sekali. Ia justru terlihat sangat asyik dengan kegiatan melukisnya. Sekarang pun ia masih berkutat dengan lukisannya. Ia melukis di atas sebidang kanvas pemberian Awan. Tangannya yang masih kaku itu terus menggoreskan kuasnya dengan berbagai warna yang ia padu-padankan sehingga menciptakan sebuah gambar abstrak yang terlihat cukup bagus. "Aku harus memberitahukan Kak Awan soal hasil karyaku ini nanti. Aku ingin meminta penilaiannya tentang lukisan yang telah aku buat ini," ucap Dio. Terlihat senyum merekah di kedua sudut bibirnya. Tangannya kini melanjutkan kembali gambar abstrak yang belum terselesaikan itu. Dio terus menggoreskan kuasnya di atas permukaan kanvas. Tangannya yang awalnya sangat kaku sekali dalam memegang kuas, kini berangsur-angsur mulai terbiasa menggunakannya. "Dah! Selesai!" Lukisannya kini telah selesai. Terlihat sebuah gambar abstrak dengan perpaduan warna yang bagus. Seperti sebuah warna langit dikala senja Dio yang memang baru belajar melukis merasa kalau lukisannya ini sudah termasuk bagus untuk ukuran seorang pemula. Dan kini, ia memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya sejenak dari aktivitas melukis yang sejak tadi ia lakukan. Tangan dan otaknya begitu lelah karena mengerjakan banyak sekali lukisan. Remaja itu lalu menghampiri kasurnya dan langsung melemparkan tubuhnya yang terasa lelah itu ke atasnya. Dengan asyik, ia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya ke atas dan ke bawah untuk menikmati dinginnya seprai kasur yang tidak ditidurinya sejak pagi. Betul, sejak pagi tadi. Sedangkan sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. "Sejuuuuk sekaliii!!" Dio selama seharian ini tidak menyadari kalau ia bisa berdiam betah di kamar sambil terus melukis, itu semua berkat sihir milik Ratu. Musik klasik yang diputar secara terus menerus di kamarnya ini menstimulasi otaknya untuk terus melukis dan mengabaikan apa pun yang ada di sekitarnya. Sedangkan rasa lapar dan haus yang tidak Dio rasakan sejak tadi itu semua berkat ramuan buatan Chandra yang pria itu taruh di lauk makanan dan juga minuman milik Dio ketika sedang sarapan pagi. Ramuan itu memiliki efek mengenyangkan perut dan menghilangkan rasa haus selama seharian penuh. Dio benar-benar disuruh diam di kamar tanpa boleh keluar sama sekali. Setelah selesai dengan tingkahnya yang kekanak-kanakan, Dio merebahkan tubuhnya telentang menatapi langit-langit kamarnya. Ia sangat bersyukur dengan hidupnya yang sekarang. Ketika ia sedang menatap langit-langit kamarnya yang bercat merah marun, ingatannya tentang Langit yang bersikap baik padanya kemarin malam, tiba-tiba terlintas di pikirannya. Dan di sinilah sihir milik Ratu terlihat mulai berkurang kekuatannya, sehingga Dio dapat memikirkan tentang kakaknya, Langit. "Kak Langit," batin Dio. Ia tampak melebarkan senyumnya yang berbentuk hati. Rasanya seperti mimpi melihat Langit bisa berubah dari sosok kakak yang galak dan menyeramkan, menjadi seorang kakak yang baik dan perhatian. Dio pun merasa senang dan bahagia dengan perubahan yang Langit tunjukkan padanya. "Semoga saja ia akan tetap baik seperti itu padaku." Doa Dio dengan penuh harap. Dio kini membalikkan tubuhnya dan menyelusupkan kepalanya ke bantal tidur miliknya. Tapi tiba-tiba, sebuah ingatan yang lain muncul di dalam pikirannya. Ingatan tiga hari yang lalu saat kedua kakaknya yaitu Raga dan Agro sedang membicarakan suatu hal yang mana memicu rasa penasaran pada dirinya. Kilas balik, sudut pandang Dio... Aku berjalan ke luar dari kamarku. Siang ini aku berniat untuk pergi ke ruang bermain, memainkan salah satu permainan kesukaanku yaitu Pembasmi Monster. Permainan itu sangat seru. Apalagi, kita bisa memainkannya sambil menggunakan teknologi VR. Jadi, walaupun itu hanyalah sebuah permainan, tapi akan terlihat jadi sangat nyata seakan-akan kita berada di dalam permainan tersebut. Dengan sedikit rasa tidak sabar, kupercepat langkah kakiku menuju ruang bermain. Tepat saat aku mau menuruni tangga, aku melihat Kak Raga dan Kak Agro sedang berdiri di dekat tangga sambil mengobrol. Awalnya aku ingin menyapa mereka, tetapi hal itu aku urungkan saat aku mendengar namaku mereka sebut. "Apa Papa akan ‘mewariskannya’ pada Dio?" kata Kak Agro. "Sudah pasti Papa akan ‘mewariskannya’. Tapi masalahnya, apa Dio mau?" kata Kak Raga. Aku yang mendengarnya pun langsung merasa kebingungan. Apa maksud dari kata ‘mewariskan’ yang sedang mereka bicarakan saat ini? "Benar juga. Soal fakta tentang keluarga kita saja dia belum tahu," kata Kak Agro. Fakta? Ada fakta apa memang di balik keluarga ini? Lalu, apa maksud dari ‘mewariskan’? Aku benar-benar tidak mengerti. "Tapi aku yakin, sebentar lagi Papa pasti akan mengatakan semuanya pada Dio. Kita berharap saja, semoga ia tidak terlalu kaget saat mengetahuinya nanti," kata Raga. Kaget? Fakta apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku? Setelah selesai mengobrol, Kak Raga dan Kak Agro terlihat berjalan beriringan menuruni tangga, meninggalkanku yang kini dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya. Kilas balik dan sudut pandang Dio selesai... Selama tiga hari ini Dio cukup kepikiran dengan perkataan yang diucapkan oleh Raga dan Agro. Ia bahkan tidak berani bertanya dan malah menunggu agar papanya yang memberitahukan sendiri padanya. Tapi setelah tiga hari berlalu, papanya itu masih belum memberitahu apa-apa padanya. "Apa yang sebenarnya keluarga ini sembunyikan?" batin Dio bertanya-tanya. Sampai akhirnya, sebuah pemikiran negatif terlintas di benaknya. Ia pun langsung bangkit dari posisi tidurnya dengan wajah yang tampak kaget. "Atau jangan-jangan ... keluarga ini adalah--" Kata-katanya terjeda. "Keluarga pembunuh?!" Dio dengan cepat menggelengkan kepalanya setelah mengatakan hal tadi. "Tidak mungkin orang-orang sebaik mereka adalah keluarga pembunuh." Dio terus menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan segala pikiran negatif tentang keluarga ini dari otaknya. Namun tiba-tiba saja, ia jadi teringat dengan ruang perpustakaan yang mana ruangan itu adalah ruangan yang paling dilarang untuk dirinya masuki. Ia bahkan teringat betapa marah dan paniknya Langit saat menangkap basah dirinya ketika ia sedang mencoba untuk memasuki ruangan tersebut. Pikiran negatif yang berusaha ia hilangkan, kini malah semakin melekat di dalam pikirannya. "Bagaimana ini? Bagaimana kalau kenyataannya, keluarga ini memang adalah keluarga pembunuh? Dan Papa berniat untuk ‘mewariskan’ bakat membunuhnya padaku?" Pikiran Dio sudah ke mana-mana sekarang. Sudah tidak ada satu pun pikiran baik di dalam otaknya tentang keluarga ini. "Aku harus bagaimana jika semua itu adalah benar?" Dio mulai merasa sedikit panik dan takut. "Aku tidak mau menjadi seorang pembunuh." Dio kemudian berjalan berputar-putar di kamarnya yang luas itu. Sembari menggigit jari kukunya, ia terus memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Keluarga Azkara. "Tunggu, jangan-jangan alasan Papa menyuruhku untuk berdiam diri di kamar saat ini bukan karena adanya kegiatan pembersihan rumah secara total. Melainkan ... karena ada hal lain." Dio langsung membulatkan kedua matanya. Ia dengan cepat menatap ke arah pintu kamarnya. Dengan sedikit berlari, ia berjalan menghampiri pintu tersebut. Ia meneguk ludahnya susah sebelum akhirnya ia membuka pintu kamarnya. Klek Ia berjalan keluar dengan perlahan. Suasananya benar-benar terasa sangat sepi. Dio melihat ke arah kanan dan kirinya, tapi tak ia temukan keberadaan satu orang pun di sana. "Jika memang ini pembersihan rumah secara total, seharusnya akan ada banyak pekerja yang berlalu lalang. Dan lagi Papa bilang, pembersihan rumah ini akan dilakukan sampai jam sembilan malam." Dio menatap ke arah jam tangannya. "Sekarang jam belum menunjukkan pukul delapan, tapi keadaan sudah benar-benar sangat sepi. Tidak ada satu orang pun yang terlihat lewat di sini," kata Dio yang kembali melihat ke arah kiri dan kanan. Rasa curiga Dio kini sudah sampai di ubun-ubun. Saat ini, semuanya benar-benar terasa tidak meyakinkan baginya. Dan entah kenapa, rasa ingin pergi ke ruang perpustakaan pun tiba-tiba saja hinggap di dirinya. "Aku harus ke sana. Aku harus memeriksanya sendiri," ucap Dio dan lalu melangkahkan kakinya pergi menuju ruang perpustakaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD