09. PERDEBATAN SAUDARA

2863 Words
Malamnya tepat saat acara makan malam, Dio yang sejak siang tadi belum makan apa pun terlihat menghabiskan setiap lauk makanan yang ada di hadapannya dengan sangat lahap. Ia mengambil lauk ini dan itu dan langsung menghabiskannya dengan sangat cepat. Semua anggota keluarganya pun terlihat heran dengan cara makan Dio kali ini. Karena sebelumnya cara makan Dio terbilang cukup tenang dan tidak terburu-buru. Ini pertama kalinya Dio bersikap seperti itu. "Pelan-pelan Sayang, bisa-bisa nanti kamu tersedak," kata Ratu. Dio pun hanya mengangguk sambil terus melahap makanannya. "Kamu kelihatannya lapar sekali, Dik. Seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari," kata Bumi. Dio tidak mengatakan apa-apa dan terus fokus pada makanannya. Walaupun mereka merasa keheranan dengan sikap Dio, tapi mereka terlihat sangat senang karena mereka merasa Dio semakin lama semakin betah tinggal di sini. Terlihat dari cara makannya yang penuh selera. Untuk masalah yang menimpa Dio tadi siang, tidak ada satu pun orang dari keluarga ini selain Dio dan Langit yang tahu. Itu dikarenakan Dio memutuskan untuk menyimpan masalah ini sendiri tanpa ada ancaman dari Langit. Setelah Dio menghabiskan makan malamnya, Dio meminta izin pada Raja untuk langsung pergi tidur lebih awal. Ia benar-benar sangat kelelahan karena seharian ini ia telah berkeliling rumah, pekarangan dan halaman belakang rumah untuk memotret. "Pa, aku izin untuk pergi tidur duluan ya." "Loh? Kenapa, Dio? Kok cepat sekali kamu ingin tidur hari ini?" tanya Raga. "Iya Kak, soalnya tubuhku ini rasanya capek sekali. Jadi hari ini aku ingin tidur lebih awal," jawab Dio. "Ya sudah kalau begitu, beristirahatlah duluan dan jangan lupa untuk sikat gigi terlebih dahulu." Raja mengiyakan permintaan Dio dan seketika itu juga Dio langsung pergi meninggalkan ruang makan di mana acara makan malam saat itu masih berlangsung. Langit yang melihat adiknya itu pergi, tiba-tiba saja langsung bangkit dari kursinya. "Aku selesai. Aku akan pergi ke kamarku sekarang." Lelaki tampan itu lalu berjalan pergi meninggalkan ruang makan, disusul dengan tatapan mata seluruh anggota keluarga Azkara padanya. "Dia pasti sedang marah," bisik Agro pada Chandra yang duduk di sebelahnya. "Sok tahu kamu," balas Chandra. "Ei ... aku sudah hafal betul kalau Langit sedang marah, ia akan bersikap seperti itu," kata Agro. Chandra lalu dengan santainya menoyor kepala Agro. "Bagaimana kamu bisa dengan sok tahu mengatakan kalau saat ini ia sedang marah, kalau pada faktanya, Langit setiap hari dan setiap waktu memang selalu seperti itu (marah)." "Ish, Kak! Aku tahu kalau ia selalu marah. Tapi maksudku, marahnya yang sekarang ini itu berbeda. Kali ini, ia sepertinya benar-benar marah. Marah yang membeludak. Ia pasti sedang ada masalah." "Sshhh ... sudahlah. Aku tidak mau membicarakannya. Terserah ia mau marah atau tidak. Itu bukan urusanku." Obrolan keduanya pun selesai dengan Chandra yang terlihat tidak terlalu mau ikut campur dengan masalah yang sedang Langit alami. Karena ia sudah paham betul jika ia ikut campur dalam masalahnya, pasti ujung-ujungnya malah ia yang kena imbasnya (dimarahi). Kamar Dio... Dio yang kini telah berada di kamarnya, terlihat telah mengenakan celana tidurnya tanpa mengenakan atasan. Ia sedang bertelanjang d**a sekarang. Tubuhnya bisa dikatakan standar untuk anak remaja seusianya. d**a bidang, bahu sedang dan perut yang ramping dengan sedikit abs yang terbentuk. Kulitnya pun putih seputih s**u. Tapi ada satu hal menyedihkan dari tubuh bagian atasnya itu. Ya, tubuhnya penuh dengan bekas luka. Luka yang telah lama berada di sana. Luka bekas siksaan kedua orang tuanya dan orang-orang yang tidak menyukainya. Ditambah kini terdapat beberapa luka memar baru bekas tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu kakaknya, yaitu Langit. Dio menatap sedih bayangan dirinya yang memantul dari dalam cermin. Rasa sakit dan penderitaan yang ia alami terpancar jelas di wajahnya saat ini. Setetes air mata pun turun membasahi pipi remaja manis itu dengan sendirinya. "Aku tidak boleh mengingatnya lagi. Aku harus menghapus semua kenangan buruk ini. Aku tidak ingin merasakan rasa sakit seperti ini lagi. Aku harus bahagia." Dio mencoba menyemangati dirinya sendiri. Ia juga terlihat memaksakan senyum di kedua sudut bibirnya. Berusaha bertindak seolah-olah ia kuat dan bisa bangkit sendiri untuk menjalani kehidupannya yang baru. "Ya! Aku bisa!" Setelah menyemangati dirinya sendiri. Dio terlihat mengambil salep yang ada di kotak obat yang ia taruh di atas meja belajarnya. Ia buka tutup salep itu dan lalu ia oleskan salep pada luka memarnya yang masih terasa sangat ngilu dan perih. "Aw!" Remaja malang itu tidak menyangka kalau lukanya akan sesakit dan separah ini. Tapi ia juga tidak bisa marah ataupun mengadu atas apa yang telah Langit, kakaknya itu lakukan. Karena luka yang ia dapatkan saat ini adalah hasil dari kesalahannya sendiri. "Seharusnya aku tidak ke sana (ruang perpustakaan)." "Aku yakin, Kak Langit sekarang semakin tidak menyukaiku karena aku adalah anak yang nakal dan tidak penurut." Dio terus mengoceh sendiri sambil tangannya tetap mengolesi luka lebam yang ada di tubuhnya dengan salep. Sampai tiba-tiba, terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka. Ceklek Panik! Itulah yang Dio rasakan. Tanpa melihat ke arah pintu ia segera mencari atasan baju tidurnya yang entah berada di mana dengan cukup panik. Ia harus segera menutupi tubuh bagian atasnya yang mengerikan itu sebelum orang lain yang melihatnya, khususnya keluarganya. Tapi sialnya, belum sempat ia menemukan baju atasannya, orang yang kini telah berdiri di depan pintu kamarnya itu sudah terlanjur melihatnya. Orang itu pun terlihat berdiri mematung sambil memegangi sebotol minuman kaca yang berisi air berwarna hijau. Ia langsung tertegun dengan apa yang dilihatnya saat ini. Dio yang tidak menemukan atasan baju tidurnya itu lantas langsung menatap ke arah pintu dan betapa terkejutnya ia kalau orang yang memasuki kamarnya ini ternyata adalah kakaknya yang sangat pemarah. Siapa lagi kalau bukan Langit. Rasa takut pun seketika menghinggapinya. Langit yang sebelumnya hanya berdiri diam sambil memandangi tubuh Dio yang penuh luka, kini mulai berjalan menghampirinya. Ia berjalan perlahan sambil matanya terus memandang lekat-lekat tubuh Dio. Dio pun hanya bisa berdiri diam sambil menundukkan kepalanya. Setelah beberapa langkah Langit berjalan, kini ia telah berdiri tepat di hadapan Dio. Dio pun semakin dilanda ketakutan. Irama detak jantungnya terdengar semakin cepat. "Apa yang Kak Langit lakukan di sini?" tanya Dio dalam hati. Diam. Tidak melakukan apa-apa. Itulah yang Langit lakukan. Ia hanya berdiri diam di hadapan Dio sambil matanya terus terpaku menatap tubuh Dio. Namun tak lama kemudian, tangan kanan Langit mulai bergerak. Ia menyentuh salah satu luka yang ada di tubuh Dio dengan lembut. Luka itu tampak seperti luka bekas setruman aliran listrik bertegangan cukup tinggi. Selanjutnya, mata Langit kembali menjelajahi luka-luka lain yang ada di permukaan tubuh Dio, sementara sang pemilik tubuh hanya terdiam mematung saking takutnya. Langit yang fokus menjelajahi tubuh Dio, tiba-tiba saja tertuju pada perut remaja itu. Kedua matanya langsung melebar ketika mendapati sebuah luka sayatan yang terlihat cukup panjang, dengan jahitan yang cukup berantakan. Seperti bekas operasi asal-asalan. "Ini ... bekas operasi?" tanya Langit dengan suara datar dan beratnya. "I-iya," jawab Dio gugup. "Operasi apa?" tanya Langit lagi. Dio tidak menjawab. Ia hanya diam sambil matanya berusaha untuk melihat ke arah samping. Langit yang merasa tidak suka karena didiamkan, dengan sedikit tenaga ia menekan pusar Dio. "Akh!" Karena merasa nyeri dan linu, Dio lantas berjalan mundur ke belakang untuk menghindar. Tapi sayangnya, Langit malah mengikutinya sembari terus menekan pusarnya. Hingga akhirnya, tubuh Dio berhenti berjalan mundur ketika tertahan oleh dinding. Rasa tekanan di pusarnya pun kini terasa semakin kuat. "S-sakit ...." Langit dengan ekspresi wajah datarnya lalu berucap satu kata pada Dio. "Jawab!" Karena merasa tekanan yang ia rasakan di pusarnya semakin terasa sakit, Dio pun akhirnya menjawab pertanyaan Langit dengan sangat terpaksa. "Ayahku mengambil ginjalku secara paksa untuk dijual!" jawab Dio dan lalu setelahnya, ia mulai menangis. Langit yang mendengar jawaban itu seketika langsung menghentikan aksinya menekan pusar Dio. Kini Dio menangis. Pasti kenangan tentang kejadian kelam di masa lalunya itu langsung muncul lagi di dalam benaknya. Langit terdiam sambil memperhatikan Dio yang sedang menangis di hadapannya. Ia juga kembali memandangi luka-luka lainnya yang berada di tubuh remaja tersebut. Dan didapatilah luka-luka bekas tindakan kasarnya tadi siang. Wajah Langit yang biasanya selalu terlihat marah, kini menampilkan satu ekspresi wajah yang sudah sangat lama tidak ia tampilkan. Yaitu, ekspresi wajah sedih. Langit menatap sedih ke arah Dio. Dan tanpa diduga-duga, Langit langsung membawa Dio ke dalam pelukannya yang hangat. Dio yang sedang menangis, awalnya merasa sedikit kaget dengan apa yang kakaknya itu lakukan. Tapi setelahnya, ia malah merasa nyaman dan lalu dengan puasnya, ia kembali melanjutkan tangisnya sembari membenamkan kepalanya di d**a bidang Langit. Langit juga mengusap-usap kepala bagian belakang Dio dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Mereka bertahan dalam posisi itu dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya, Langit melepaskan pelukan mereka saat Dio sudah menghentikan tangisannya. Ia bahkan juga mengusap sisa air mata yang membasahi pipi Dio. Dio hanya menatap kakaknya itu dengan sebuah tatapan sayu. Entah bagaimana, kakaknya yang sebelumnya bertindak kasar padanya, kini malah bersikap seperti ini. "Sudah puas nangisnya?" tanya Langit. "Iya, Kak, sudah," jawab Dio. Langit menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu istirahatlah. Kamu pasti merasa sangat lelah." Dio pun hanya kembali mengangguk mendengar ucapan Langit. Tapi, sebelum ia bergegas untuk menghampiri kasurnya, Langit memberikannya sebotol air berwarna hijau untuk segera ia minum. "Minum ini sekarang." "Apa ini, Kak?" tanya Dio. "Minum saja." Dio pun menurut dan lalu meminum air hijau tersebut. Ekspresi wajahnya terlihat berubah menjadi cukup aneh sesaat setelah ia selesai meminumnya. Sepertinya rasanya sangat tidak enak. "Nah, kalau begitu tidurlah sekarang," perintah Langit. Dio lagi-lagi menurut dan berjalan menuju kasurnya. Sebelum tidur, Dio terlebih dahulu mengenakan atasan baju tidurnya yang telah berhasil ia temukan. Setelahnya, barulah ia bergegas untuk tidur. "Selamat malam, Kak," ucap Dio pada Langit tepat sebelum ia memejamkan kedua matanya. Langit yang mendapatkan ucapan selamat malam itu terlihat hanya diam sambil memandangi Dio yang semakin lama semakin terlelap dalam tidurnya. Sebelum Langit meninggalkan kamar, tepatnya saat ia akan menutup pintu. Barulah ia membalas ucapan selamat malam dari Dio. "Selamat malam ... adikku." Klek *** Jam telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Bulan purnama malam itu terlihat bersinar sangat terang menerangi malam yang gelap. Suasana di rumah mewah milik Keluarga Azkara terlihat sangat tenang dan sepi. Tidak ada lagi kegiatan dan aktivitas yang dijalankan di sana. Semua orang telah tertidur pulas di ranjangnya masing-masing. Tapi ... apa benar semua orang sudah tertidur? Jawabannya adalah tidak! Di ruang perpustakaan yang setiap siang harinya selalu dilarang untuk dikunjungi oleh siapa pun, malam ini malah didatangi oleh seluruh anggota Keluarga Azkara. Mereka semua terlihat berkumpul di dalam ruang perpustakaan yang sangat luas itu, tepatnya di tengah-tengah ruang perpustakaan. Mereka di sana hanya dibantu oleh lilin-lilin yang melayang di udara serta cahaya rembulan sebagai penerangan. Terlihat ruangan perpustakaan yang katanya sedang direnovasi ini, dalam keadaan yang sangat kacau dan berantakan. Lemari-lemari buku yang tampak rusak, buku-buku yang robek berserakan di lantai, kursi-kursi hancur terlempar ke sana kemari dan masih banyak lagi kekacauan lainnya. Entah apa atau siapa yang telah membuat kekacauan di tempat ini. Sementara itu, Raja, Ratu dan anak-anak mereka terlihat sedang berkumpul di sisi sebuah kubah medan energi berukuran besar yang berada tepat di tengah-tengah ruang perpustakaan. Sepertinya, kubah energi ini mereka ciptakan untuk menahan sesuatu agar tidak keluar dari dalam sana. Cukup gelap untuk melihat ada apa di dalam kubah tersebut. Tapi yang jelas, ada sesuatu yang sepertinya akan sangat berbahaya jika sampai terlepas ke dunia luar. "Kita harus cari mantera dan cara lain lagi untuk menolongnya," kata Raja yang terlihat sedang meracik sesuatu bersama dengan Chandra, Surya dan Ratu. "Papa, Mama, Kak Surya dan Kak Chandra berusahalah dengan ramuannya. Biarkan aku serta yang lainnya mencari cara lain lewat buku-buku sihir ini. Pasti kita akan menemukan sebuah cara untuk menyelamatkannya," kata Bumi. Raja terlihat mempercayakan sisanya pada anak-anaknya yang lain. Entah apa yang sedang mereka semua urusi, tapi kelihatannya sangat penting sehingga membuat mereka harus bekerja ekstra seperti ini. "Kita sudah melakukan ini selama berbulan-bulan jadi pasti akan segera ketemu titik terangnya," kata Ratu. "Jadi ayo! Semangatlah semuanya!" Ia mencoba menyemangati seluruh anggota keluarganya. Semua orang di ruangan itu terlihat sangat bersemangat. Bahkan Bintang yang pemalas pun terlihat sangat serius membaca lembar demi lembar halaman buku mantera yang tebal. Namun, berbeda dengan Langit, ia malah terlihat hanya membolak balikan lembar demi lembar buku itu dengan sangat malas. Bumi yang menyadarinya, lantas langsung menanyakannya pada Langit. "Ada apa, Lang? Kenapa hari ini kamu terlihat ogah-ogahan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa ada sesuatu sehingga kamu bersikap seperti ini?" Langit tidak menjawab, ia hanya diam sambil tangannya terus menerus membolak balikan satu halaman buku yang sama. "Hey, Langit! Kakak sedang bertanya padamu!" Bumi yang memiliki sifat tegas dan keras (hampir sama seperti Langit), terlihat mulai menaikkan nada bicaranya. Ia sedikit tidak suka jika lawan bicaranya tidak menanggapinya. Langit yang orangnya memang gampang marah dan tersinggung, langsung merasa kesal saat Bumi berbicara padanya dengan suara yang sedikit ditinggikan. "Berani sekali kau meninggikan suaramu padaku!" bentak Langit. "Salah sendiri! Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku tadi!" Bumi terlihat tidak mau kalah. "Memangnya harus ya, setiap pertanyaan aku jawab, hah?!" Langit terlihat semakin emosi. Mendengar ada keributan di antara kedua anaknya, Ratu yang sedang sibuk dengan pekerjaannya itu langsung berusaha menengahi keduanya. "Bumi, Langit, ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar? Tidak baik bertengkar seperti itu apalagi di saat penting seperti ini." Mendengar ibunya yang berusaha untuk menengahi, Bumi pun langsung menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi. "Itu, Ma, Langit terlihat ogah-ogahan untuk menyelesaikan masalah ini!" kata Bumi tegas. Tatapan mata pun kini langsung ditujukan ke arah Langit. "Apa benar begitu Langit?" tanya Ratu. Langit hanya diam. Matanya malah menatap ke arah lain bukan menatap ke arah Ratu yang sedang mengajaknya berbicara. "Langit?" Ratu kembali bertanya. Tetapi Langit tetap dalam diamnya. "Langit?!" Kali ini Ratu sedikit melakukan penekanan pada suaranya dan ternyata berhasil. Langit meresponsnya tetapi bukan dengan jawaban, melainkan dengan ledakan amarah. Ia dengan kasar melempar buku mantera yang ia pegang sedari tadi ke sembarang arah. Ratu, Bumi dan yang lainnya pun terlihat terkejut. "Langit! Ada apa?! Kenapa kamu bertingkah seperti itu?!" Ratu kini mulai lebih serius menghadapi tingkah salah satu anaknya itu. "Ada apa?! Ada apa Mama bilang?! Itu!" Langit menunjuk ke arah dalam kubah pelindung. "Masalah itu tidak akan pernah bisa diselesaikan! Tidak ada ramuan, obat ataupun mantera yang dapat mengembalikan dia seperti semula! Kutukannya tidak akan bisa dihilangkan! Jalan satu-satunya untuk masalah ini adalah dengan membunuhnya!" Mendengar ucapan Langit, Bumi pun seketika naik pitam. Kini ia terlihat sama emosinya dengan Langit. "Jaga mulutmu Langit Azkara! Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu, hah?! Aku tidak menyangka kau akan setega itu pada Paman!" kata Bumi. "Tega? Ya! Aku memang tega! Aku memang lebih memilih untuk membunuhnya daripada mencari solusi untuk mengembalikannya!" Bumi terlihat sangat emosi. Kedua tangannya pun kini sudah mengepal dengan cukup kuat. "Kenapa? Kamu tidak terima huh?!" tantang Langit. Bumi yang sudah habis kesabaran pun lantas menggunakan salah satu manteranya dan berniat untuk memberi Langit pelajaran. "Argon, Veccah Dattoen!" Dalam sekejap mata, lantai dan dinding yang terbuat dari material batu dan juga beton langsung mengalami retakan dan hancur menjadi serpihan-serpihan berujung tajam dengan ukuran sedang, yang mana, tiap dari serpihan tajam itu kini melayang-layang di udara menghadap tepat ke arah Langit. Seakan-akan, serpihan batu dan beton itu akan menghujani tubuh Langit. "Cih! Kau pikir kau dapat membuatku terluka hanya dengan menggunakan serpihan batu seperti itu?!" tantang Langit. Bumi yang sudah habis kesabaran pun langsung menggerakkan tangannya ke arah depan dan secara bersamaan, serpihan batu tajam yang melayang di udara itu juga ikut bergerak sesuai dengan arahan tangannya. Tapi, belum sempat batuan itu menghujani Langit, Raja dengan segera menghentikannya. Ia langsung menengahi perkelahian dua anaknya yang sama-sama keras kepala itu. "Anak-anakku tolong berhenti!" Dengan sekali ucapan, Langit dan Bumi langsung menghentikan pertengkaran mereka. "Tolong jangan bertengkar satu sama lain seperti ini." Terlihat ekspresi sedih di wajah Raja. Ia benar-benar merasa terluka jika melihat anak-anaknya saling bertengkar. "Maaf, Pa," kata Bumi. "Aku juga, Pa. Aku minta maaf," sambung Langit. Raja langsung menerima permintaan maaf yang diutarakan oleh Bumi dan juga Langit. Ia mengerti dengan apa yang sedang kedua anaknya itu rasakan. "Papa paham dengan apa yang kalian rasakan." "Papa paham, Bumi ingin agar Paman segera kembali seperti sedia kala agar bisa berkumpul lagi bersama dengan keluarga kita." "Papa juga paham dengan Langit yang ingin agar Paman tidak merasakan penderitaan dan rasa sakit lagi dikarenakan ramuan, obat dan mantera-mantera yang kita berikan padanya. Papa paham." Bumi dan Langit hanya terdiam sambil menundukkan kepala mereka. Anggota keluarga yang lainnya pun ikut terdiam. Mereka mendengarkan perkataan Raja dengan saksama. "Tapi untuk sekarang ini, ada baiknya jika kita melakukan apa yang kita bisa lakukan untuk menyelamatkan Paman. Jika memang sudah tidak ada yang bisa kita lakukan lagi, ditambah dengan keadaan Paman yang semakin memburuk. Maka jalan satu-satunya adalah ... membunuhnya." Ekspresi sedih terpampang jelas di wajah semua orang yang ada di ruangan itu. Begitu juga dengan Langit yang sebelumnya meminta agar pamannya itu untuk dibunuh. Kini ia terlihat menangis. Sesuatu yang sangat jarang terjadi pada diri seorang Langit. "Kita lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan sebagai keluarga." Kata Raja menutup percakapan. Semua anggota keluarga merasa paham dengan apa yang Raja ucapkan dan dengan sekuat tenaga mereka, mereka kembali mencari cara terbaik untuk menyelamatkan orang yang mereka panggil Paman itu. Sementara itu dari dalam kubah pelindung, tanpa mereka sadari, sosok yang mereka panggil dengan sebutan Paman itu, terlihat samar-samar dari dalam kegelapan sedang menyeringai dengan sangat mengerikan. Menampilkan deretan gigi-giginya yang sangat menyeramkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD