9. Butuh itu Sesuatu

1239 Words
Bella Pov             Seminggu aku mengabaikan Ardo.  Kudiamkan dan kuanggap tak ada.  Aku tak mau  menemuinya, untuk mengantarku aku meminta Martin yang menyetir mobillku.  Tapi aneh, mengapa aku jadi belingsatan sendiri?  Astaga, sepasrah itukah dia?  Apa dia tak punya keinginan untuk melihatku?  Apa dia tak mau berusaha sedikit saja untuk menemuiku?  Gadis yang telah diciumnya, lalu dicuekinya?!  Ehmmm, kalau dipikir-pikir lagi aku duluan sih yang mengabaikan dan mencuekinya.   Apalagi dia itu hanya supir mana berani dia berinisiatif mencariku?               Jadi, apa sekarang aku yang mencarinya?  Aku berhak melakukannya!  Aku bosnya, aku bisa mencari alasan untuk menyuruhnya mengerjakan apapun!  Lagipula aku membutuhkannya, dan butuh itu sesuatu!  Manusia harus melakukan segala upaya untuk memenuhi kebutuhannya kan?  Gengsi menemuinya langsung aku menyuruh seorang pelayan rumah kami mencari Ardo dan memintanya menemuiku.             Yang kulupakan adalah tempat pertemuan kami.  Aku hanya berpesan lewat pelayan agar Ardo menemuiku saat ini.  Dan aku lupa saat ini aku berada di kamarku.   Otomatis supir gantengku itu menemuiku di kamar.  Saat dia mengetuk pintu aku baru sadar, aku masih bersantai di ranjangku.  Dengan pakaian tidurku, tanpa dalaman.  Dengan wajah kusut, rambut berantakan, dan belum sikat gigi! Astaga-naga, mana yang harus kubereskan terlebih dahulu?              “Non ....  Non Bella, ini Ardo.  Nona meminta saya datang,” terdengar suaranya disela ketukan pintunya.             “Sebentar!” seruku cepat.             Aku semakin gugup.  Aku melompat bangun, menuju ke meja riasku.  Kusisir rambutku secepatnya, kububuhkan bedak ala kadarnya ... dan aha!  Aku nyaris melupakan sesuatu, alis bagi wanita itu sangat penting.  Kutebalkan alisku dengan pensil alis.  Ampun, aku belum gosok gigi!  Tak keburu lagi, aku hanya kumur dengan air putih yang kuambil dari dalam gelas minumku, lalu kuoleskan bibirku dengan lipgloss.  Selesai sudah!  Aku berlari cepat dan melompat kembali ke ranjangku.              “Masuk!!”  teriakku searogan mungkin.  Seusai mengatakannya aku baru mengingat sesuatu.  OMG!  Aku lupa memakai dalamanku!  Tapi tak masalah, kunaikkan selimutku, hingga menutupi seluruh tubuhku kecuali dari leher keatas.              Dia masuk tanpa tergesa-gesa, dengan menampilkan wajah datarnya.  Aku jadi gemas, tak adakah keinginannya untuk segera melihatku dengan menampilkan keantusiasan sedikit saja?              “Mengapa lambat sekali?  Seperti orang belum dikasih makan setahun saja!” omelku padanya.             Dengan sabar, Ardo menjawab, “Non, saya telah menunggu didepan pintu selama kurang lebih ...”  dia melirik jam tangannya, “lima belas menit dua detik!”             Astaga, selama itukah aku bersiap-siap?   Padahal hanya persiapan sebegitu saja.              “Tak usah protes, aku ini bosmu!  Bos berhak bermalas-malasan.   Aku baru bangun tidur, jadi wajar perlu memusatkan konsentrasi dan pikiran jernihku untuk menghadapi dunia.  Dan pegawai pemalas sepertimu!!  Bahkan aku belum sempat melakukan apapun, yang kau lihat adalah penampilan alamiku,” ujarku dengan dagu terangkat angkuh.  Hei, lihatlah dude..  Meski tak dandan, aku cantik kan?             Mengapa aku merasa ujung bibir Ardo melengkung sedikit keatas?  Apa ia sedang mentertawakanku?             “Ada apa?!  Emang aku badut?!” ketusku.             “Bukan, Non.  Tapi ...”              Dia mendekatiku, hingga dengan kesadaran penuh aku mencengkeram selimutku.  Khawatir kepergok jika aku tak memakai dalaman dibalik gaun tidur tipisku.  Tapi mengapa dari dekat begini Ardo terlihat semakin tampan?  Kulitnya berubah lebih gelap, apa dia banyak terpapar sinar matahari?  Jangan-jangan ibu dan saudara tiriku mengerjainya dengan memberinya banyak pekerjaan kasar dibawah terik matahari!  Tapi akibatnya, kulitnya sedikit gelap, tubuhnya lebih kekar,  Ardo jadi lebih maskulin.  Ya ampun, meski lebih mempesona, My Cinderella Man semakin jauh dari tampilan halus bangsawan pangerannya.  Aku harus melakukan sesuatu padanya.  Misal dengan lulur, masker, dan perawatan salon lainnya.             Tengah aku membatin seperti itu, manik abu-abu Ardo menatapku lekat.   Mendadak aku jadi gugup.             “Ada apa?” cicitku pelan.  Dia tersenyum geli.  Mengabaikan pertanyaanku, dia melanjutkan ucapannya tadi.             “Tapi...”  Dia mengusap bibirku, tepatnya sekitar bibirku.  “Lipgloss Nona belepotan, bisa merusak penampilan alami Nona,” bisiknya didekat telingaku.             Pipiku memerah seketika.  Anjrit, aku ketahuan berbohong!!  Sialan!  Sialan!!             “Mundur tiga langkah!!” perintahku gusar.              Dia mundur tiga langkah, lalu dengan tenang bertanya padaku, “Jadi untuk apa Nona memanggil saya kemari?  Hanya untuk memeriksa penampilan alami Nona saat bangun tidur, lalu mundur tiga langkah?”             Sindirannya menyebalkan!  Bibirku mencebik kesal.  “Apa kau pikir aku pengangguran yang punya banyak waktu memanggil pegawai pemalas sepertimu hanya untuk menilai kecantikanku?!  Damn, Ardo!!  Ayo cepat kerjakan tugasmu!!”             “Dan apa tugas saya, Nona?” tanyanya lamat-lamat.             Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal.  Bodohnya, aku lupa memikirkan tugas apa yang tepat untuknya!             “Ehm begini, “ aku berdeham untuk mengurangi kegugupanku, “aku mendengar suara-suara mencurigakan dibawah kolong tempat tidurku.  Cepat cari tahu, ada apa didalam sana!“             Saat ini hanya itu yang sempat terpikirkan olehku.  Biar saja, aku ingin melihatnya membungkuk didepanku.  Masuk dalam kolong ranjangku yang kuharap cukup berdebu untuk m*****i wajah tampannya yang sedari tadi tersenyum mencemoohku.  Rasakan, Ardo!              Meski tahu dia kukerjai, Ardo dengan patuh melaksanakan perintahku.  Ia membungkuk dan masuk dalam kolong ranjangku yang cukup besar, namun untuk tubuh kekarnya, Ardo pasti merasa kesempitan didalam situ.             “Bagaimana Ardo?  Adakah sesuatu yang mencurigakan didalam sana?” tanyaku sembari menggoyangkan tubuhku naik turun menumbuk ranjang supaya Ardo yang dibawah kolongku semakin merasa tak nyaman.             Aku menahan tawaku saat mendengar ia bersin beberapa kali didalam sana, dan merutuk pelan.              “Barangkali ada tikus disana?  Apa kecoak?” kataku berkhayal untuk menakutinya.   Helow, di kamar mewah putri mafia sepertiku ... mana ada makhluk menjijikkan seperti itu berani datang kemari?  Mau ditembak mati?!             “Nona ... ehmmm,” dia berdeham kuat, lalu melanjutkan ucapannya, “jangan terkejut.  Memang benar dugaan Anda, ada kecoak disini.”             Ngibul!!  Dia pasti balas mengerjaiku.  Aku tak akan terprovokasi olehnya.              “Wowwwww, seraaammmmmm,” ucapku lebay.  Sengaja.  Tapi sedetik kemudian mataku membelalak begitu menemukan ada kecoak betulan yang naik ke ranjangku.           Aku menjerit histeris, lalu bangkit berdiri dan melonjak ketakutan diatas ranjangku.             “Ardoooo!!  Tolonggg!!!”             Mendengar teriakanku, Ardo segera keluar dari kolong ranjangku.  Tanpa berpikir panjang aku melompat ke gendongannya.  Memeluknya bagai anak koala menempel pada ibunya.             “OMG!!  Betulan ada kecoak!  Mengapa kau tak bilang, Do?”             “Sudah, Non,” ucapnya tenang.  Matanya menatap dadaku tak setenang ucapannya.              Sial, aku lupa telah melompat kedalam gendongannya dengan gaun tidur tanpa dalaman!  Buru-buru kututup  dadaku.             “Matamu, menunduk!  Eh, mendongak!”             Dia menengadahkan kepalanya, membuatku bisa melihat pergerakan jakunnya yang gelisah naik turun.  Aku bergerak turun setelah memastikan kecoak sialan itu tak berada diatas ranjangku.  Kuselimuti diriku, dari kaki hingga ke leher.             “Do, aku memintamu kemari hanya untuk mengingatkanmu akan janjimu untuk membantuku.”             “Saya memang pembantu Nona, jadi itu sudah kewajiban saya,” sahut Ardo, dengan kepala tetap mendongak keatas.  Haishhh, aku lupa meminta kepalanya kembali tegak!  Tapi masa dia harus kuberitahu hal beginian setitik koma?             “Ardo, kepalamu boleh kembali tegak.  Lain kali jangan menunggu semua kuberitahu hingga sedetail ini,” gerutuku tak puas.             Dia menurunkan wajahnya dan menjawabku dengan tatapan datar.  “Saya pembantu Nona, kewajiban saya mematuhi perintah Nona hingga ke titik koma.”             “Aduh, susah bicara denganmu!” gerutuku sebal.  Dia tersenyum simpul mendengarnya, membuatku tak bisa terus marah padanya.  Habis ganteng sih,  lagipula aku membutuhkan bantuannya.  Butuh itu sesuatu, membuat kita harus menahan kesabaran ke titik terendah demi mendapatkannya.             “Ardo, kamu belum pikun kan?  My Cinderella Man?”             “Oh itu, iya Nona.  Saya mengingatnya dengan sepenuh hati,” sahutnya sembari tersenyum manis.             Butuh itu sesuatu.  Apalagi kalau kita membutuhkan sesuatu semanis ini.              “Bagus, mulai besok kita akan berlatih mendekatkan diri.  Sebagai pasangan kekasih.”             “Dengan senang hati, Nona,” kata Ardo patuh.             Teruslah patuh, Ardo,  Karena aku membutuhkanmu sebagai My  Cinderella Man.   ==== >(*~*) Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD