7 : Kencan? Olala..

1489 Words
    “Ayo kita mulai kencan pertama kita hari ini,” ucap Ardo dengan mata berbinar.             Kencan? Olala...             Apakah kami ini nampak seperti pasangan kencan?  Tak pantas seorang supir sepertinya mengatakan hal selancang itu!  Aku akan... ups!  Dia menyeretku dengan girang, membawaku mendekati satu permainan yang diminati banyak orang karena antriannya panjang.  Bodohnya aku mengikutinya dengan sukarela.  Aku malah mengomel untuk sesuatu yang menyebalkan lainnya.             “Apakah kita harus bermain yang ini dulu?  Lihat antriannya!  Ya ampun, waktu kita akan habis hanya untuk mengantri saja!”             “Justru itu Non, permainan yang paling asik memang antriannya panjang sekali.  Tapi percayalah Non, kita rugi  jika tak mau mencobanya!”             Mendengar penjelasan Ardo aku jadi tertarik, kuperhatikan permainan yang dipilihnya.  Roller coaster dengan jalur relnya yang panjang dan meliuk tajam.  Sepertinya mengerikan, tapi seru!  Aku ingin mencobanya.             “Baik, ayo kita terobos antrian menyebalkan ini!  Bella Kania Alfonso berhak mendapatkan pelayanan yang terbaik,” kataku angkuh.              Dengan dagu terangkat tinggi aku melangkah maju, ingin menerobos antrian didepan kami.  Namun Ardo menahan tanganku.              “Bukannya Nona ingin menjadi orang biasa saja?  Apa Anda melupakan impian itu?  Belajarlah menjadi orang biasa dengan mengantri secara tertib,” tegur Ardo sesopan mungkin.                        Oke!  Dia benar.  Aku harus membiasakan diri menjadi orang biasa.  Pertama dengan membiasakan diri dengan budaya antri!  Dengan menghembuskan napas panjang aku pun kembali ke antrianku.              “Good girl!”              Mataku membulat ketika Ardo memujiku dan mencubit pipiku gemas.  Olala, apa dia lupa kalau aku adalah nona majikannya?  Aku harus memarahinya!  Harus!  Aku harus... ternyata aku membiarkannya.  Biarlah sekali ini ia bersikap seenaknya, lain kali aku akan memarahinya habis-habisan.  Hari ini aku hanya bisa mengandalkan Ardo selama masa pelarianku bersamanya.             Mengantri ternyata tak terlalu membosankan, selama menjalani antrian itu Ardo banyak bercerita tentang kejadian lucu-lucu di sekitar lingkungan miskinnya.  Aku jadi penasaran, ternyata kehidupan sebagai orang biasa sangat lucu dan tak membosankan.  Ingin sekali mencobanya, tapi rasanya mustahil mengingat Dad mengawasiku sangat ketat.  Aku menghela napas berat memikirkan hal itu.  Sedihnya..             “Suatu saat Nona pasti bisa mengalaminya,” ucap Ardo tulus.              “I hope so.”             Ardo tersenyum cerah, melihatnya membuat hatiku yang nyesek jadi lebih ringan.              “Nah kini giliran kita!”             Ohya?  Secepat itu tiba giliran kami?  Tak terasa..             Olala, jantungku kembali berdegup kencang ketika Ardo menggandengku menaiki wahana roll coaster.  Dengan gentle ia memasangkan sabuk pengaman melintang miring di dadaku.  Saat melakukannya, tak sadar wajah kami sangat berdekatan.  Mata kami terkunci satu sama lain ketika menyadarinya.  Ya ampun, manik mata Ardo ternyata berwarna tembaga.  Indah sekali!  Aku terpana menatapnya, hingga tak menyadari ketika bibir kami saling mendekat.  Merasakan napas hangatnya menerpa bibirku, aku baru sadar bahwa kami nyaris berciuman.  Bukannya melarangnya, aku justru menanti ciumannya dengan napas tercekat.              Suara bel panjang yang menandakan permainan roll coaster akan dimulai menyentak kami, Ardo segera mundur dan menegakkan punggungnya di kursinya.             “Nona berani kan?” cetusnya tiba-tiba.             Berani kamu cium?              “Tentu saja berani!  Hanya begittttt....... argggghhhhhhhh!!”  aku berteriak kencang ketika mendadak roller coaster itu bergerak cepat menyusuri rel kecil yang meliuk-liuk mengikuti jalurnya.             Mendadak aku merasa khawatir.  Apakah rel sekecil ini bisa dilintasi oleh kereta yang begitu berat dengan beban segitu banyak orang?  Logikaku menolaknya, dan mengutuk keteledoranku.  Mengapa aku menyetujui usul Ardo untuk menaiki permainan dengan tingkat safety meragukan seperti ini?!             Aku memandang kebawah dengan ngeri, melihat betapa kecilnya benda-benda dibawah bulu kudukku meremang seketika.  Seandainya kami jatuh, pasti langsung binasa.  Dengan tubuh tak lagi utuh!  OMG!  OMG!!  Aku sontak gemetar membayangkannya.  Mendadak Ardo menarik kepalaku ke dalam pelukannya, hingga aku tak bisa melihat kebawah lagi.  Dia menempelkan wajahku di dadanya yang bidang.             “Nona, lebih baik tak usah melihat kebawah.  Nikmati saja sensasinya dengan mata terpejam.  Nona akan merasakan serunya permainan ini tanpa diwarna kekhawatiran yang memicu ketakutan Nona,” ucap Ardo dengan bibir menempel di telingaku.  Aku tahu ia sengaja melakukannya supaya aku bisa mendengarnya dengan jelas.  Tapi akibatnya, hatiku melonjak-lonjak tak karuan.  Sekarang bukan ketakutan yang kurasakan, tapi sensasi lain akibat gairah yang muncul.             Olala, ternyata berdekatan dengannya tak baik bagi kesehatanku.  Tiap kali jantungku terasa menegang nyaris putus jika dia berlaku intim begini.  Aku harus memperingatkannya, harus!  Tapi tak sekarang, saat aku menikmati kebebasan sementaraku.             Aku memejamkan mataku dan balas memeluk Ardo.  Ternyata sangat nyaman dalam pelukannya, mungkin karena aku terlarut dalam permainan kabur-kaburan bersamanya.  Pasti karena itu, tak mungkin aku menyukai pria ini.  Dia hanya pion dalam permainan Cinderella Man-ku!   ==== >(*~*)                 “Setelah ini kita mau kemana?” tanyaku antusias.  Tak sadar aku mengayunkan tanganku yang digandeng oleh Ardo.  Dia menatapku geli.             “Nona menggemaskan, seperti anak kecil yang lepas dari pingitan.”  Boro-boro menjawab pertanyaanku, dia justru mengomentari kelakuanku.  Aku mencebik kesal.             “Kamu meledekku, beraninya!  Ingat, aku bisa memecatmu kapan saja,” ancamku halus.             “Ya Nona, sekarang kamu sedang memecatku untuk beberapa jam.  Saat ini aku bukan supirmu, tapi teman kencanmu.  Berkaitan dengan itu, aku boleh memanggilmu Bella saja kan?”             Pipiku memanas mendengar ucapannya.  Apa dia sedang modus padaku?  Astaga, beraninya dia melakukan itu padaku.  Aku akan.. aku akan... membiarkannya.  Khusus hari ini.  Saat kabur bersamanya.             “Ardo, tak usah banyak bacot!” kataku kasar, “kau banyak berkata hal tak penting.  Lebih baik tentukan tujuan permainan yang akan kita kunjungi!”             “Apa kamu memiliki tujuan khusus Bella?” dia balas bertanya.             Sebenarnya ada, tapi aku malu mengatakannya.  Ragu mengatakannya, “aku ingin sekali bermain...”             Dan disinilah kami berada, di antara anak-anak balita yang tengah berputar dengan menaiki kuda atau gajah mainan yang bergerak naik turun.  Sebenarnya aku malu, naik salah satu kuda yang berukuran cukup besar.  Tapi demi impian masa kanak-kanakku, aku nekat melakukannya.  Dulu permainan caroussel inilah yang menarik perhatianku disaat aku mengunjungi wahana permainan bersama Dad.  Bukan untuk berlibur, karena Dad masih trauma membawaku ke wahana permainan.  Disanalah peristiwa penculikannku dan Mommy terjadi, hingga Mommy meninggal.  Sejak saat itu Dad melarangku mengunjungi wahana permainan.  Saat itu dia terpaksa membawaku, karena tak ada yang bisa menjagaku di rumah dan Dad harus bertemu dengan klien penting berkaitan dengan pembelian satua wahana permainan.  Jadi aku dibawanya bekerja.  Dari balik kantor pengelola, pandanganku tertuju ke permainan caroussel.  Betapa bahagianya anak-anak yang bermain disana, didampingi oleh papa mamanya.  Keluarga mereka nampak sangat harmonis dan bahagia.  Tak seperti diriku yang sering merasa kesepian meski bergelimang harta dan perlindungan total. Kini aku mentuntaskan obsesiku menaiki kuda di permainan caroussel ini, namun yang mendampingi adalah Ardo.  Ia berdiri disampingku, tangannya memegang pinggangku posesif. “Aku tak bakalan jatuh, Ardo,” sindirku. “I know,” sahutnya ringan. “Lalu...” aku melirik tangannya penuh arti.  Bukannya melepas tangannya dari pinggangku, dia justru meremasnya lembut. “Aku hanya melakukan kebiasaan disini,” Ardo memandang sekelilingnya, ”Lihat mereka semua memegang anaknya masing-masing.” Itu karena mereka masih terlalu kecil.  Dan aku bukan anakmu, Ardo!  Ingin kuteriakkan hal itu didepan Ardo.  Tapi seperti biasanya, aku menelan kegemasanku dalam hati.  Ini hari istimewa. Banyak permainan yang kami kunjungi.  Terakhir sebagai penutup, Ardo mengajakku menaiki bianglala.  Hari menjelang senja ketika kami melakukannya, langit berwarna kegelapan dihiasi bintang-bintang.  “Indah sekali,” komentarku dengan wajah menengadah keatas.        Saat aku kembali menatap ke depan, kutemukan Ardo tengah memandangku lekat.  Aku jadi grogi, mengapa dia melakukannya?  Apa dia.. tertarik padaku?  Astaga!  “Ardo, mengapa kau menatapku seperti itu?” Mendengar pertanyaanku, Ardo yang awalnya duduk di seberangku berpindah tempat ke sampingku.  Pandangannya tak lepas dari wajahku, hingga pipiku merona merah dibuatnya.  “Bella, aku merasa kini kau seperti gadis kebanyakan.  Manis dan polos,” ucapnya pelan.  Manis dan polos?  Itu bukan tipikalku sebagai putri tunggal keluarga mafia ternama, keluarga Alfonso!  Aku adalah gadis angkuh yang suka bertindak semaunya, tak ada kesan manis dalam diriku!  Apa Ardo tak salah menilaiku?!  Aku spontan mendengus kasar. “Dan kau tahu ada satu kebiasaan yang dilakukan pasangan yang biasa berkencan didalam bianglala,” sambung Ardo sembari menyeringai. “Apa itu?” cicitku penasaran. Ardo tak menjawabnya, dia hanya memandangku intens.  Aku tak tahu bibirnya mendekatiku, terlambat menyadarinya saat Ardo memagut bibirku mesra.  Mau memberontak juga percuma, karena aku menikmatinya. Ada sensasi aneh yang membakar gairahku, darahku bergelenyar, kulitku meremang dan hatiku berdesir kencang.  Gesekan bibirnya pada bibirku menghangatkan diriku, membuatku seakan berada di awang-awang.  Mabuk.  Kubalas ciuman Ardo tak kalah panasnya, hingga kuremas-remas gemas rambutnya.  Lidah kami berpilin menjadi satu, berpadu dan bergerak harmonis menyentuh titik-titik s*****l dalam mulut kami.  Ciuman ini terlalu hot.  Aku tak sanggup mengatasinya, dia terus membakarku hingga aku ingin melakukan yang lebih jauh.  Tanganku bergerak menelusup kedalam kemeja Ardo.  Namun dia menahannya. “Bella...” “Why?” tanyaku dengan mata menatap sayu. “Kereta kita sudah berhenti, saatnya kita turun.” Jiahhhhhhh!   Aku berjengkit kaget mendengar kalimat Ardo.  Dengan muka merah padam aku merapikan rambutku yang agak berantakan.  Wajahku menunduk saat menyadari beberapa pasang mata menatap kami dengan berbagai ekspresi.  Ada yang ingin tahu, ada yang memandang geli, sebagian besar berdecak gusar. “Anak muda jaman sekarang, bisanya ciuman di...” Aku menutup telingaku rapat-rapat.  Berbeda denganku Ardo nampak santai menghadapi cemoohan itu.  Dia mengucapkan permisi, sambil berkata, “Permisi dan maaf, kami agak kebablasan.  Hari ini spesial, dia baru saja melamarku, sebagai Cinderella man-nya.” WHAT?! Ardooooo!!!   ==== >(*~*) Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD