Usai sarapan Andreas menghampiri Harris, sesuai dengan kesepakatan bersama gen 9 memutuskan untuk melanjutkan usulan untuk mengikuti Olimpiade The Baddas.
Perasaan cemas Andreas rasakan, apalagi mereka belum resmi belajar di Badas Academy. Pelajaran pertama baru akan dimulai beberapa hari ke depan, tetapi permintaan mereka mungkin terlalu muluk karena meminta diikutsertakan dalam olimpiade yang biasa diselenggarakan 8 tahun sekali.
Harvey, penampilannya berbeda dari pertama kali mereka bertemu. Lebih terlihat santai, dengan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai sikut. Pria itu kemudian mempersilahkan Andreas untuk masuk ke ruangannya. Tidak ada sepatah kata pun dari Andreas, dia harus kembali mengumpulkan keberaniannya yang tiba-tiba lenyap kala melihat tatapan Harvey.
Terkadang Andreas berpikir Kenapa harus ditakdirkan menjadi pemimpin, karena dengan menjadi pemimpin segala sesuatu yang terjadi merupakan tanggung jawabnya.
Sebenarnya dia juga gak mau repot-repot, tapi bagaimana lagi, terlebih usulan Zhie memang masuk diakal dan dia pun menyetujui itu.
Terbayang betapa membanggakannya jika berhasil menempuh pendidikan di Brenau university. Atau berhasil debut di panggung besar disaksikan oleh jutaan penonton dari seluruh negeri bahkan internasional.
"Kenapa diam saja, Andreas?" tanya Harvey.
Andreas menunduk, yang dia lihat adalah ujung sepatu yang memerah karena ketumpahan saus tomat saat sarapan tadi.
"Saya tidak punya banyak waktu, saya harus mengajar. Cepat katakan apa yang ingin kalian katakan." Terdapat penekanan dalam kata 'kalian'.
Sontak Andreas menatap sang pembimbing, bagaimana dia tahu Andreas hanya disuruh oleh teman-temannya di Gen 9.
"Mau tukar ruangan?" tanya Harvey. "Ruangan kalian exclusive sebenarnya, di saat gen lain tidur bersama, dalam satu kamar bisa terdiri dari sepuluh tempat tidur."
Sekali lagi lelaki itu menatap ke arah Harris, Andreas ingat saat membuka amplop berisi pengumuman bahwa dirinya terpilih menjadi salah satu siswa Baddas Academy.
Dia juga tidak menyangka bisa dipilih langsung oleh kepala sekolah untuk menjadi ketua kelas.
Karenanya dia dituntut untuk memiliki keberanian yang lebih dibandingkan dengan teman-temannya.
Masa begini saja sudah menciut dan ketakutan. Apa yang harus dikatakan kepada teman-temannya jika dia kembali tanpa sempat mengutarakan keinginan dari Gen 9.
"Bukan, Pak," jawab Andreas, suaranya tercekat.
Tatapan mata Andreas kini tertuju pada tumpukan buku di atas meja, tertata rapi membentuk gradasi warna dari yang paling gelap sampai semakin terang.
Entah apa tujuannya sampai buku tersebut disimpan di meja, padahal di salah satu sisi ruangan itu terdapat rak buku dengan isi yang nyaris penuh.
"Ayo," ujar Harvey, terlihat tidak sabar.
"Mungkin rasanya begitu lancang jika saya mengutarakan ini, Pak. Tapi saya di sini mewakili teman-teman. Sebelumnya maaf, Pak, saya ...."
Harvey memotong pembicaraan Andreas, "Jangan berbelit-belit Andreas, saya tidak punya banyak waktu. Ada kelas yang sudah menunggu."
"Soal Olimpiade The Baddas, Pak. Kami merasa tidak adil jika kami tidak ikut hanya karena kami masih baru. Apa sama sekali tidak ada kesempatan untuk ikut?"
Harvey tersenyum dengan wajah yang dimiringkan. Baginya usulan dari gen 9 ini cukup menarik. Sepanjang kariernya sebagai seorang guru, tidak pernah menemukan siswa yang protes dengan ketentuan sekolah.
"Jadi kalian ingin ikut?"
Andreas mengangguk.
Harvey yang semula tersenyum kini malah tertawa. Apa yang bisa ditampilkan dari gen 9 ini padahal memulai pelajaran pun belum. Lelaki ini merasa usulan dari gen 9 harus diluruskan jika tidak dia sebagai pendamping akan merasa dipermalukan.
"Kalian jangan mimpi, jangan bikin saya sebagai pendamping kalian malu!"
"T-tapi, Pak."
"Tapi walau bagaimanapun, saya sebagai pendamping wajib menampung aspirasi kalian."
"Ditampung aja, Pak?"
"Ditampung kemudian dilaporkan kepada bagian kepanitiaan Olimpiade The Baddas. Gini-gini saya gak akan biarkan anak didik saya kayak air hujan yang turun ke bumi melalui atap bocor."
Dean mengangkat wajahnya, "Ada apa dengan air hujan?"
"Ditampung doang, abis itu dibuang!"
Tawa keduanya pecah, Andreas lega, setidaknya dia sudah menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan.
***
Harvey tersenyum bangga, setelah Andreas meninggalkan ruangannya lelaki itu melangkah mantap menuju salah satu kelas yang akan dia isi.
Harvey merasa bangga dengan keberanian anak anak gen 9, karena dia sendiri pun tidak setuju jika mereka tidak diajak dalam olimpiade The Baddas ini.
Lelaki itu bukan bukan tidak bisa membantah keputusan dari kepala sekolah, melainkan dia sedikit segan dan tidak memiliki dasar serta alasan yang kuat untuk merekomendasikan anak-anak didiknya yang baru masuk itu.
Senyumnya terus berkembang hingga dia sampai di satu kelas yang akan dia ajar.
Anak-anak gen7 sepanjang karirnya sebagai guru Harvey tidak pernah membeda-bedakan muridnya. Akan tetapi anak-anak gen 7 memang merupakan salah satu angkatan yang cukup sulit diatur.
Tidak ada yang badung semua terlihat tampak baik-baik saja bahkan memang di antaranya ada beberapa yang berprestasi.
Itulah akar masalahnya mereka yang berprestasi itu justru merasa dirinya hebat sehingga apa pun yang disampaikan oleh gurunya selalu mental.
Kebanyakan anak gen 7 tidak begitu menghargai guru, baik itu wali kelasnya sendiri ataupun guru lain yang mengajar di sana.
Untuk menegur rasanya sulit, alasannya memang tidak ada bukti yang kuat bahwa anak-anak itu melakukan pelanggaran.
Mereka para guru hanya merasa sering tidak dihargai oleh murid-muridnya tersebut.
Apalagi jika berhadapan dengan anak-anak gen 7 yang memiliki prestasi, Harvey sebagai guru kalah telak dia tidak bisa apa-apa.
Karena Badas Academy selain memberlakukan peraturan ketat untuk para murid, juga memberlakukan peraturan ketat tenaga pendidik, jika ada salah satu guru yang melanggar peraturan dan kode etik yang berlaku di sana maka siap-siap saja angkat kaki dari sana.
"Selamat pagi. Bagaimana kabar kalian semua? Setelah kita tahu tentang Olimpiade The Baddas yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat, sudahkah kalian mempersiapkan perwakilan dari kelas ini untuk setiap bidang yang dilombakan?"
Anak-anak dan 7 menjawab serempak mereka memang sudah menjagokan wakilnya masing-masing. Kemampuannya memang tidak diragukan lagi.
Harvey berusaha bersikap netral, ketika mendengar jawaban dari anak anak gen 7, dia hanya mengangguk dan memberikan semangat kepada mereka.
"Pak Kenapa gen 9 anak-anaknya cuma sedikit?" tanya Mouza siswi yang menari pada saat penyambutan gen 9 di Auditorium.
"Profesor Alaska yang mengetahui jawabannya, saya juga tidak tahu kenapa gen 9 hanya 10 orang."
"Apakah mereka terpaksa dipilih karena memang tidak ada bibit lain yang lebih unggul?" tanya Jeremy.
"Tidak ada yang tahu pasti apa kualifikasi siswa dan siswi bisa masuk ke sini, termasuk kalian semua. Saya bahkan tidak tahu kenapa profesor Alaska memilih kalian untuk bersekolah dan menjadi anak gen 7."
"Sudah jelas kami memiliki bakat, Pak, apalagi yang diragukan?" Angga menjawab dengan pongah.
"Kalau begitu, anak gen 9 juga memiliki bakat. Memang sekarang ini kita belum tahu apa bakat mereka, tapi lihat aja kedepannya."
"Mentang-mentang pendampingnya," celetuk Angga.
"Jaga bicaramu, ya, Angga, saya memang belum tahu apa bakat mereka tapi Professor Alaska tidak akan pernah salah memilih orang yang berbakat untuk masuk di sekolah ini. Jangan pernah mengira saya pendampingnya dari gen 9 lalu saya membela mereka. Semua murid saya baik itu gen 7 dan 8 gen 9 tidak ada yang saya beda-bedakan."
"Kalau begitu, Kenapa gen 9 tidak ikutan Olimpiade the Badas, berarti, kan, bakatnya diragukan, benar enggak temen-temen?"
"Bener tuh!" "Benar." "betul," "Setujuuuu!" Suara anak-anak riuh, Harvey mengepalkan tangannya dia menahan emosi dia tidak ingin marah di sini.
Rasa senangnya karena antusias gen 9 untuk mengikuti Olimpiade The Baddas kini sedikit memudar dengan cemoohan anak-anak lain.
Meski begitu Harvey akan tetap memperjuangkan anak-anak gen 9 agar bisa maju di Olimpiade The Baddas, dia akan menemui profesor Alaska setelah kelas usai. Menyampaikan keinginan dan usulan anak-anak dan 9 juga keinginan terdalamnya.
Baginya setelah melihat Andreas, Rey, Mahda, Zhie, Airin dan yang lainnya sudah timbul rasa sayang.
Empat puluh lima menit mengisi kelas di gen 7 rasanya sangat lama, akhirnya ketika semua sudah usai tanpa ditunda lagi, Harris segera menemui profesor Alaska di ruangannya.
Lelaki itu mengetuk pintu besar, setelah dipersilahkan untuk masuk dia masuk. Ruangan penuh buku terlihat lebih terang setelah pengurus sekolah mengganti sebagian lampu yang memang sudah hampir padam karena dimakan usia. Salah satu furniture di ruangan itu pun ada yang diganti kini ruangan profesor Alaska tidak menyeramkan seperti dulu. Konsepnya lebih modern dan membuat siapa pun yang datang ke sana betah berlama-lama di dalamnya. Apalagi ditemani dengan berbagai judul buku.
"Pak Harvey ada yang bisa saya bantu?" Bu Juanita sekretaris Professor Alaska menyambut kedatangan Harvey.
"Profesor ada?" tanya Harvey.
"Sedang ada pertemuan dengan profesor Yun di dalam, tunggu saja jika penting. Pak Harvey tidak ada jadwal ngajar lagi, kan?" tanya Juanita.
Tidak untuk saat ini, nanti sekitar pukul 3 saya ada ngajar di gen 8.
"Kapan Gen 8 dan 9 mulai belajar?" tanya Juanita.
"Besok mulai perkenalkan kelas perkelas, saat ini mereka hanya akan disuruh berkeliling untuk mengetahui seluruh lingkungan sekolah."
Juanita mengangguk paham, "Baiklah, Pak, silakan duduk di sana saya mau melanjutkan pekerjaan."
"Oh, ya, Bu, silakan-silakan saya tunggu aja di sini."
Di ruangan besar penuh dengan buku itu terdapat satu set sofa tempat di mana para tamu yang akan berkunjung dan bertemu dengan Profesor Alaska menunggu. Sedangkan ruangan khusus Pak Alaska ada di bagian paling dalam. Dari tempatnya duduk, dibatasi dengan dinding kaca yang kedap suara. Meski begitu Harris bisa melihat profesor Alaska berbicara serius dengan profesor Yun.
Tiba gilirannya untuk bertemu dengan profesor Alaska. Harris melihat profesor itu dengan perasaan takut dalam hati dia tersenyum, mungkin inilah yang dirasakan oleh Andreas tadi pagi ketika menemui dirinya wajah lelaki kecil itu pun terlihat memerah dan ketakutan.
"Ada yang salah sampai kamu harus langsung mendatangi saya, Pak Harvey?" tanya profesor Alaska ketika Harvey sudah duduk di hadapannya.
"Ini mengenai Olimpiade The Baddas, Profesor."
"Ada apa?" tanya Profesor
"Bisakah kita mengikutsertakan anak-anak dan 9 dalam olimpiade ini?"
Profesor diam sejenak dia sudah memikirkan alasan mengapa gen 9 tidak diajak dalam Olimpiade ini, tetapi memang rasanya tidak adil jika mereka tidak ikut.
"Atas dasar apa?" tanya Profesor Alaska.
"Memberikan mereka kesempatan untuk bisa mengembangkan diri dan juga menunjukkan bakat terpendam dan–"
"Tunggu, tunggu, sebentar Pak Harvey," potong profesor Alaska.
Harvey menatap lekat mata sebening madu milik profesor Alaska.
"Mereka datang ke sini dengan bakat, saya dan dewan yang memilihnya dengan baik. Jadi tanpa mengikuti Olimpiade ini, kami tahu mereka berbakat. Ada alasan mengapa kami tidak mengajak mereka dalam olimpiade ini, saya harap Anda bisa mengerti Pak Haris!"