BADDAS 6

1731 Words
"Lo ngapain sih bikin usulan kayak begini?" Dalam kamar tidurnya Joanna lagi-lagi mengusik ketenangan Zhie. "Maksud lo apa, lu sendiri juga kan setuju dengan usulan ini?" tanya Zhie, sambil merapikan selimut yang akan dia pakai. "Gue tau, lo jangan-jangan cuma caper doang, supaya apa? Supaya lo keliatan hebat, gitu?" "Joanna, please gue mohon jangan terus-terusan cari gara-gara, kalau gue ada salah sama lo, lo tinggal ngomong." JNE tidak tahan dengan perlakuan Joanna. Walau bagaimanapun mereka akan tinggal di kamar yang sama selama bertahun-tahun, tidak mungkin selama itu pula mereka harus hidup dalam permusuhan seperti sekarang ini. "Nggak ada masalah," sanggah Joanna, cewek itu akhirnya memilih untuk berbaring memunggungi temannya. Jujur sebenarnya usulan Zhie, dia setujui juga bahkan dirinya sudah terlalu berekspektasi. Untuk itu ketika Harvey menyampaikan kabar Kalau Alaska tidak menyetujui gen 9 ikut Olimpiade Joanna sedikit kecewa. Siapa sih yang tidak ingin debut menjadi orang terkenal atau bahkan menjadi mahasiswa di luar negeri dengan biaya ditanggung sepenuhnya. Kenapa perempuan itu menyalakan Zhie saat ini, karena baginya jika Zhie tidak mengusulkan untuk mengikuti Olimpiade ini, maka semua orang tidak akan menaruh harapan terlalu tinggi. Dan menanggung kekecewaan yang yang besar. "Gue tahu lo kecewa, kita sama-sama kecewa. Kalau bukan kita sendiri yang berdamai dengan keadaan siapa lagi yang bisa membangkitkan angkatan kita. Apalagi sepanjang sejarah penerimaan siswa Baddas Academy hanya gen kita yang jumlahnya sedikit." Setelah si menutup percakapannya akhirnya kedua perempuan itu memilih untuk berbaring di ranjangnya masing-masing dengan posisi saling memunggungi. Sebelum memejamkan mata akhirnya Zhie berujar, "Gue yakin masih ada kesempatan untuk kita bisa ikut Olimpiade." Joanna menoleh sedikit kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Joanna sebenarnya takut Zhie bisa membaca raut wajahnya yang dihiasi sedikit senyuman. Sedikit rasa senang dia rasakan, ketika mendengar masih ada harapan, meski itu entah akan terwujud atau tidak. *** Aries terlihat begitu gagah dengan balutan seragamnya. Sepuluh orang anggota gen 9 sudah siap untuk mengikuti sarapan pagi bersama di auditorium. "Rey, Rey," panggil Aries. Dia berusaha mengendus harum tubuh Rey. Rey tidak kalah rapi dari Aries, blazernya pas badan. "Ada apa?" Melihat gerak gelagat Aries yang terus mengendus tubuhnya membuat Rey kehilangan kepercayaan dirinya. Dia ikut mengendus ketiaknya, khawatir bau badan. "Gue bawa badan ya," tanya Rey. "Nggak justru loh ya banget gue mau nanya lu pakai parfum merk apa," tanya Aries random. Rey memutar bola matanya, kirain ada apa. Ketika Rey menerima undangan untuk melanjutkan pendidikan di Baddas Academy seluruh anggota keluarganya bangga, terlebih ibu dan ayahnya. Baddas Academy sudah dikenal sebagai akademi pendidikan bidang seni yang memiliki lulusan terbaik dibandingkan sekolah lainnya. Antusiasnya kedua orang tua Rey membuat mereka menyiapkan segala sesuatunya. Termasuk minyak wangi yang Rey pakai saat ini. "Oh, gue enggak tahu ini semua Udah disiapin sama nyokap." Rey menjawab seadanya kemudia dia melepaskan tangan Aries yang dari tadi memegangi lengan blazernya. "Oh sorry, jadi kusut, ya," ucap Aries. "Gak apa-apa, kalau lo mau parfumnya pakai aja nanti simpan lagi ke tempatnya yang rapi ntar gue diomelin sama Andreas kalau kamarnya berantakan." "Really?" Tanya Aries. "Hmm ...." Kesibukan pagi itu di ruangan tempat gen 9 berkumpul cukup seru juga di antara mereka sudah terjadi keakraban. Meski kadang Darren si kepala plontos masih enggan berbaur dengan yang lain, dan Joanna masih saja banyak protes juga banyak bicara. Anak-anak gen 9 sepakat untuk pergi kemanapun bersama kecuali ketika mereka ada kelas yang berbeda. Mereka khawatir jika pergi sendirian akan terjadi perundungan oleh kakak kelas. meskipun perundungan merupakan salah satu pelanggaran dan menyebabkan catatan pelanggaran akan bertambah, tetapi masih banyak orang yang selalu melakukan hal tersebut. Tidak hanya secara fisik akan tetapi melalui psikis dengan ujaran-ujaran kebencian. Gen 9 diibaratkan seperti sekumpulan ayam yang masuk ke dalam lingkungan angsa yang indah. Setidaknya seperti itu yang ada dipikiran anak-anak gen 7 dan 8. "Mana ini Joanna masih lama?" tanya Andreas ketika semua sudah berkumpul kecuali Joanna yang masih di kamarnya. "Zhie, Joanna udah siap, kan?" tanya Mahda. Zhie mengangguk karena memang Joanna lebih siap daripada dirinya. Teman sekamarnya itu sudah mandi sejak, kemudian merapikan lemari. Beberapa menit menunggu di luar kamar, akhirnya Joanna keluar juga wajahnya semringah berseri-seri. Padahal biasanya Joanna itu ketus, komentarnya selalu nyakitin apalagi jika berurusan dengan Zhie. "Tumben lu kagak cemberut kayak tutut," komentar Aries. "Ih, diem Lo," protes Joanna. Melihat semuanya sudah berkumpul akhirnya Andreas memimpin jalan untuk segera datang ke auditorium. Jangan sampai jam 9 menorehkan cap jelek karena telat meskipun itu hanya sekadar sarapan. "Ndreas, tunggu sebentar," cegah Joanna. Bukan hanya Andreas yang berhenti melangkah tetapi yang lainnya juga. "Kalau aja semalam gue gak debat sama si masalah Olimpiade ini, mungkin gue nggak bakalan dapat ide kayak sekarang." "Ngobrolin masalah itu nanti siang aja gimana, takutnya kita telat." Andreas melihat jam yang melingkar di tangan. Memang masih ada waktu beberapa menit sebelum sarapan dimulai. Mungkin bisa dipertimbangkan, Karena bagaimanapun pendapat semua orang harus ditampung dan kemudian diskusikan bersama. "Kalau misalnya nunggu siang berarti kita sekarang nggak bisa action." "Ya udah buruan," celetuk Peach. "Oke, kita kan memang nggak akan pelajaran praktek dulu selama beberapa Minggu. Kita satu kelas akan belajar tentang pengetahuan umum matematika dan yang lainnya. Bagaimana kalau kita menunjukkan bakat kita secara tidak sengaja, maksudnya seolah-olah kita memang enggak sengaja ngelakuin itu padahal kita udah direncanain dari. Misalnya kita nari bareng di lapangan, nyanyi di koridor, atau bikin mural di dinding. Intinya kita menarik perhatian mereka supaya apa yang kita inginkan itu bisa dikabulkan gitu." Gen 9 tercenung ketika mendengar pendapat dari Joanna kecuali Aries. "Waaah kayak lo yang nyari perhatian sama Zhie, ya?" Aries berusaha menggoda Joanna, hingga perempuan itu mendelik cemberut karena. "Diem, lo!" bentak Joanna. "Gue sudah sempet kepikiran kayak gitu kemarin," ucap Darren. "Tapi gue tahu diri gue siapa." "Lo gak harus ngomong kayak gitu, Ren. Kalau ada yang ingin Lo sampaikan, sampaikan aja." Darren hanya mengangkat bahu, kemudian berjalan melewati Andreas, "Waktunya sudah habis kalau mau mendingan diskusinya nanti siang aja." Andreas kembali melihat, Darren benar waktunya sudah habis pada akhirnya gen9 memilih untuk tidak melanjutkan diskusi ini mereka semua bergegas menuju auditorium. Pelajaran di hari pertama ini selesai setelah tengah hari, kemudian mereka kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya lalu makan siang di auditorium. Jangan berpikir tugas mereka mencari ilmu itu, karena pada kenyataannya setelah makan siang ada kelas materi per bakat yang dimiliki oleh setiap siswa. Di kelas seni rupa hanya Peach seorang, dalam ruangan kelas yang besar itu terdapat beberapa siswa dari gen 7 dan 8. Mereka sudah mulai bisa menggambar objek, melukis. Sedangkan Peach harus menerima materi seni rupa. Tiba-tiba saja Peach mengingat usulan Joanna tadi pagi, memang benar salah satunya agar gen 9 bisa dilirik oleh semuanya dan bisa diikutsertakan dalam Olimpiade The Baddas adalah dengan cara menampilkan bakatnya. Peach mengeluarkan sketchbook miliknya, benda yang biasa dijadikan media pengembangan diri oleh perempuan itu. Kegemarannya, menggambar Daan melukis membuat Peach selalu membawa benda itu ke mana pun. Kemampuannya cukup terasah karena Peach selalu membawa sketchbook nya dan kemudian menorehkan pensil di setiap kesempatan. Ketika materi pagi ini sudah dia lahap seluruhnya, Peach dengan sengaja membuat sketchbooknya, kemudian dengan luwes menggambar gambar bentuk hati tiga dimensi. Dia selalu merasa percaya diri ketika menggambar bentuk pertama yang dia pelajari bersama sang Ibu. Belum ada satu bulan di Baddas Academy membuat Peach merindukan ibunya di rumah. Setiap goresan mewakili rasa rindunya. Peach menyadari guru seni rupa berdiri di belakangnya, memerhatikan tangannya meliuk lincah di atas kertas sketchbook. Hanya saja Gambarnya memang belum sempurna, namun mengingat Peach siswa baru yang belum mendapatkan pelajaran lengkap, Harris, yang merupakan guru seni rupa itu memilih diam tidak menegur. Baginya untuk ukuran anak baru gambarnya nyaris sempurna. Jika dinilai dari angka satu sampai sepuluh maka nilai Peach adalah tujuh. Peach cukup puas dengan tindakannya, saat kelas berakhir dia tidak sabar ingin mengatakan kepada teman-temannya apa yang dia lakukan barusan. Sayangnya, Peach sedang tidak beruntung. Di koridor langkah gadis itu dihadang oleh senior seniornya dari gen 7 dan gen 8. "Liat sketchbook Lo," pinta Zara, salah satu siswa gen 7 yang berpenampilan nyaris seperti laki-laki. Rambutnya pendek, salah satu bagian warnanya dicat abu-abu. Di Baddas Academy, sebagai siswa jurusan seni, mereka dibebaskan untuk mengecat rambut. Tidak ada halangan selama mereka bisa mengekspresikan bakatnya dan juga mempertahankan prestasi. Peach bergeming. Tangannya memegang erat tas berisi beberapa sketchbook miliknya. "Lo gak denger, ya?" tanya Zara. Peach melihat sekeliling berharap ada orang yang akan membantunya dari perundungan ini, tetapi semua seakan-akan tidak melihat ke arahnya. "Gue minta baik-baik, siniin Sketchbook lo." Tangan Peach bergetar, dia takut akan tetapi berusaha untuk berpikir positif. Tangannya terulur menyerahkan Tote bagnya. Zara merebutnya kasar, kemudian membalikkan tas hingga semua isinya berserakan di lantai. Seumur hidupnya, Peach selalu menjaga agar sketchbook yang baginya merupakan barang berharga itu tidak rusak. Apalagi jatuh ke lantai. Kini benda benda itu berhamburan, sebagian ada yang terinjak oleh Zara. "Kaya begini Lo bilang lukisan?" sindir Zara. Dia membuka lembar per lembar seraya tertawa. Diikuti oleh teman-temannya. "Gue heran, apa pertimbangan dewan sekolah dan kepala sekolah pilih murid kayak kalian. Gak ada otaknya, kosong. Gak bisa apa-apa." Tawa renyah penuh ejekan terdengar begitu menyakitkan. Tidak ada tindakan perusakan seperti yang ditakutkan oleh Peach. Namun, ejekan dan hinaan mereka sudah cukup menorehkan kekecewaan dan sakit hati. Zara dan teman-temannya pergi dari koridor tersebut, melangkahi serakan kertas-kertas yang Peach kumpulkan sejak lama. Semangatnya yang semula karena ingin menyampaikan tentang kejadian di kelas tadi hilang seketika. Peach hanya ingin segera sampai kamarnya dan menangis memeluk bantal. *** "Joanna!" panggil Zhie, perempuan itu mempercepat langkah agar bisa menyusul Joanna. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergerak ke kiri dan ke kanan. "Jo, duh, cepet banget jalannya," keluh Zhie sedikit terengah-engah. "Apa?" jawab Joanna, masih saja ketus. Namun, Zhie tidak masalah. Setidaknya Joanna tidak seketus biasanya. "Gue suka ide lo tadi," ungkap Zhie. Memang benar, Zhie tidak sedang berusaha mengambil hati teman sekamarnya. "Trus?" Joanna terus berjalan tanpa menoleh hingga mereka berdua tiba di pintu depan asrama gen 9. Ada Peach yang berjalan tergesa, wajahnya memerah. Zhie dan Joanna saling pandang, mereka ingin bertanya tetapi takut salah. Di dalam ruangan sudah ada beberapa orang, Mahda dan Aries yang sedang ngobrol hal-hal random. Sedangkan Andreas, Rey dan Darren sedang pasang White board. Untuk memudahkan segala macam diskusi mereka, Aries mendatangi bagian Manajemen sarana dan prasarana sekolah. Lelaki itu tanpa malu minta jatah papan tulis setelah melihat di salah satu kamar asrama gen 7. Saat itu juga papan tulis diantarkan, tetapi Aries melarang petugas untung memasangnya. Alasannya karena belum mendapatkan izin dari ketua kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD