2 ~ Bakso

1597 Words
“PENGUMUMAN, TOLONG BANTUIN GURU-GURU BUAT BAWA PAK NUR GAIS!” Matthew CS terdiam di kursi mereka saat yang lainnya berlarian keluar dengan heboh. Ares, dan Ben hanya menatap ke arah Astrid yang masih rebahan, tidak peduli dengan apa yang baru saja dia dengar. “Trid, lo kok diam-diam aja?” Astrid melirik dari kelopak matanya yang hampir terpejam karena elusan tangan Matthew di rambutnya membuatnya ingin mengantuk. “Jadi Astrid harus apa? Barang kali aja itu cuman kebetulan doang, udah deh, Astrid mau tidur, jangan diganggu!” “Mehong, lo berdua…udah ah, gue mau lihat pak Nur dulu. Siapa tahu dia kenapa-napa gara-gara hantu yang dibilang sama Astrid!” “Hantunya nanti nempel sama lo, Ben. Lo kan suka sama tante-tante, hantunya juga sama, dia suka dedek bayi bau kencur kayak lo.” “ASTRIDDDDD!” *** Wajah Aress dan juga Ben pucat pasi saat baru kembali. Mereka duduk sempoyongan begitu saja di lantai. Tidak peduli jika lantai yang mereka duduki sedang kotor. Kaki mereka masih lemah, kayak jeli. “Kenapa?” Matthew yang tidak ikut, hanya bisa bertanya. Astrid yang sedang bobo cantik lebih prioritas bagi Matthew. Tidak lucu jika nanti peliharaanya satu itu ngambek, dan tidak mau pulang gegara Matt tinggalkan. Kan yang repot dia juga. Nasib punya teman rasa peliharaan yang begini, membuat Matt hanya bisa ngelus dáda sambil banyak-banyak sujud di depan Gusti. Meminta kesabaran menjadi majikan yang baik dan benar, dan tidak sombong. “Pak Nur, bola matanya pecah kena kaca di tembok. Gue aja heran, sejak kapan ada kaca di tembok? Tapi emang beneran ada loh!” Ben mendeskripsikannya dengan raut wajahnya yang masih pucat, seolah darahnya berhenti mengalir. “Jadi pak Nur udah kemana?” Sembari anak-anak kelas mereka yang lain masuk dengan diam dan wajah pucat, Matt memperhatikan mereka satu-satu. Tidak biasanya anak kelas mereka diam seperti ini. “Udah dibawa sama bu Tika ke rumah sakit, pasti kelas kita jadi bulan-bulanan lagi ini. Gue udah feeling sih kalo kelas kita bakal di tuduh lagi kelas sialan!” Ujar Aress, dengan nada sarkastik. "Pak Nur di ikuti hantu itu juga!" “Tapi gue jadi mikir, kalo yang Astrid bilang tadi itu bener . Gue jadi curiga sama kematian istri keduanya pak Nur itu. Mungkin Istrinya Pak Nur lagi balas dendam kali ya!” “Husss!” Matt menyuruh Ben memelankan suaranya, “ntar di dengar anak-anak lain, ribet loh urusannya. Astrid lagi nanti yang kena, dia kan gak salah apa-apa!” Matthew membenarkan posisi wajah Astrid yang tenggelam di bahunya. Saking seringnya, Matt bahkan sudah tidak peduli lagi dengan air liur Astrid yang membasahi bahunya. Mengambil tissue, membersihkan mulut Astrid dan kembali mengelus rambutnya dengan begitu perhatian. Ben dan Aress hanya bisa saling menatap, tanpa bisa mengatakan apa-apa pada dua makhluk Tuhan, epsss, satu lagi sudah mengklaim dirinya sebagai coklat. Tapi tetap jadi mahluk Tuhan juga sih, ya sudahlah, mereka tetap menjadi makhluk Tuhan. “Matt, lo belum mau cerita ama kita kenapa Astrid gitu. Masalahnya, kita sering salah paham lo hubungan kalian berdua. Lo suka kan sama Astrid?” “Bodo.” ujar Matt, masih mengelus rambut Astrid, “dia peliharaan gue lah, ya wajar lah kalo gue suka sama peliharaan. Kalo gak suka, kan udah gue tendang nanti!” Aress yang bertanya hanya bisa kicep. Matthew sepertinya benar-benar sudah menerima takdir menjadi majikan dari Astrid. Majikan rasa budaĸ alami maksudnya. *** Begitu Astrid tiba di rumah, dia langsung membaringkan badannya di kasur. Tanpa membuka seragamnya lebih dulu. Tadi Matthew izin tidak bisa menemaninya sore ini, karena Matthew ada rapat osis. Jadi setelah mengantar Astrid ke rumahnya dengan selamat, lelaki itu langsung kembali lagi ke sekolah. Repot memang, tapi Matthew melakukannya dengan senang hati. Malas Bisik Astrid saat tidak sengaja melihat sosok wanita yang berdiri di ambang pintu. “Malas hidup, malas makan, malas semuanya!” “Trid…” Membuka bola matanya sedikit, Astrid menatap Anna—mamanya, yang masuk ke dalam kamarnya. Kedua tangan wanita itu menyilang di depan d**a, tatapannya hanya tertuju pada Astrid, putri semata wayangnya yang membuatnya tetap bertahan hidup. Sekalipun Astrid tidak berguna dan membuat Anna selalu stress, tapi dia masih bersyukur, setidaknya putrinya itu masih memilih untuk hidup sebagai setengah manusia, dan setengah lagi menjadi milik Matthew. “Trid, mama gak dirumah untuk 2 hari ini. Mama mau ikut liburan ke kota bareng teman-teman mama, kamu…gak papakan?” “hmmm” Mendengar gumanan itu, membuat Anna mendekat dan mengambil tangan putrinya yang pucat. Astrid sangat jarang terkena cahaya matahari, jadi kulitnya pucat karena kekurangan vitamin A. Bukan karena Astrid vampire. “Gak papakan?” “Y” “Jawab yang bener dong sayang, tadi mama udah nitipin kamu sama Matthew. Dia bakal di sini tidur selama 2 hari!” “Ok” “Trid…” “Iya…iya!” Anna berhenti mencoba untuk mengajak putrinya itu bicara. Dia langsung keluar dan menghapus jejak air matanya yang mengalir. Anna langsung memasuki kamarnya. Dia sakit ketika melihat Astrid yang hanya meresponnya seperti itu. “Loh tante? Sudah mau pergi? Saya antar?” Mendengar suara itu, Astrid yang masih rebahan dengan ponsel di tangannya menilik dengan malas percakapan antara mamanya dan Matthew. Bukan maksudnya untuk mengabaikannya, tapi Astrid lagi malas dan mager. “Iya nak, tante nitip Astrid ya selama 2 hari. Kamu bisa tidur di kamar sebelah Astrid, kamu…tidak keberatan kan jagain putri tante itu?” Matthew menggeleng semangat. Dititip dan tidak, menurutnya sama saja. Karena hampir semua waktu Matthew hanya untuk Astrid saja. Tidak untuk orang lain. Jadi untuk apa merasa seperti diberi beban? “Baguslah jika kamu tidak keberatan, tante pergi dulu ya.” “Iya tente, apa perlu saya antar?” “Tidak perlu nak, jagain putri tante saja itu sudah lebih dari cukup. Nanti tante pulang, nak Matt mau pesan apa?” “Hahaha, terserah tante saja. Apa yang tante bawa saya pasti makan nanti!” Matthew mengantar Anna sampai di depan pintu. Wanita paruh baya itu menaiki mobil hitam, dan menghilang di balik persimpangan. Tatapan Matthew langsung tertuju ke kamar Astrid yang sama saja. Dia pergi, meninggalkan pintu kamar tidur itu terbuka, dan gadis itu yang rebahan. Matt pulang, juga tetap saja. Astrid tetap rebahan, tanpa mengganti seragam sekolahnya. Padahal seragam itu masih harus mereka pakai besok. “Trid!” Matt menatap Astrid dari ambang pintu. Masih bertanya pada dirinya, kenapa bisa bertahan menjadi majikan Astrid. Kamar tanpa pencahayaan sinar matahari, baju kotor di sana sini. Wajah Matt bahkan memerah melihat beberapa pakaian dalam Astrid yang terserak begitu saja. Peliharaan yang tidak tahu malu, batin Matt sabar. Dia mendekat, lalu duduk di tepi kasur Astrid. Gadis itu hanya menatapnya sedikit, tanpa ada niat untuk membalas. “Udah makan?” Astrid menggeleng. “Gue bawain bakso tadi dari tempat lɑngganan kita, mau gue buatin ke mangkok?” Astrid mengangguk. “Oke, lo bangkit dulu, nafas dulu, sama ganti baju dulu. Kalo enggak, gue makan semua nanti. Gue tunggu di meja makan!” “Malas Matt ... malas ... malas!” “Malas pangkal miskin dan lapar. Gue gak sisain nanti!” Astrid langsung bangkit dan hendak melangkah keluar. Tapi tangan Matt lebih dulu menahan bahunya. “Ganti baju, dan baru ikut gue ke ruang makan!” “Oke!” Astrid langsung membuka kancing bajunya. Membuat Matt membelalakkan mata terkejut. Buru-buru Matthew langsung berlari keluar, dan menutup pintu Astrid. “Dasar gila!” Matt selesai menuang bakso ke mangkuk, dan barulah Astrid tiba dengan kening yang banjir keringat. Hal itu membuat Matt mengerutkan kening. Apa yang gadis ini lakukan, dia hanya menyuruhnya untuk ganti baju. Tapi kenapa bisa keringatan? “Trid, lo kenapa keringatan begitu?” “Jatoh...di kamar mandi. Ini bukan keringat” “Lo jatuh? Kok gak manggil gue?” Astrid terdiam, lalu duduk di kursi. Tapi Matt lebih dulu menarik Astrid, dan mendudukkan gadis itu di atas meja. Memperhatikan lebih detail kening Astrid, ternyata itu bukan keringat, tapi memang air. Dan kulit gadis itu perlahan mulai membiru. “Ya Tuhan, gue cuman ninggalin lo beberapa menit, Astrid. Kok bisa jatuh di kamar mandi? Yang kena bagian mana saja?” Tangan Astrid menunjuk lututnya, dan juga lengannya. Meskipun kesal, dan merasa jengkel. Tapi Matt langsung mengambil PT3Knya untuk membersihkan luka Astrid. Kali ini Matt marah bukan karena Astrid lagi-lagi ceroboh, tapi karena lagi-lagi gadis itu diam jika terjatuh. Matt yakin, jika dia tidak bertanya, Astrid tidak akan mengatakannya. “Pelan!” Matt menahan lutut Astrid. “Udah, lain kali kalo kamu jatuh, panggil aku, Trid. Okay?” “Oke!” “Kamu kenapa sih masih gak pernah ngasih tau? Kita udah sahabatan sejak lama, gue kenal lo deket, tapi lo selalu aja gini. Kalo gue gak nanya, lo gak ngasih tau, buat gue harus mikir sendiri apa mau lo, Trid. Gue capek gini terus!” Tidak ada jawaban dari Astrid. Gadis itu hanya menatap ke arah Matt dengan lurus. “LO DENGAR GAK SIH?” bentak Matt pada akhirnya, dia juga manusia yang punya batas kesabaran. Hiks Matt panik saat mendengar isakan Astrid. Ya Tuhannn !!!! Teriak Matt dalam hati. Membodohi dirinya sendiri. Ia jelas tidak bisa lupa, tapi entah kenapa hari ini dia lupa dengan masa lalu Astrid. Tangannya langsung menarik tubuh Astrid, memeluknya erat dan mengelus puncak kepalanya. “Maaf...maaf....maaf, Trid. Gue gak sengaja, gak bakal gue ulang lagi, hari ini gue stress banget. Jadi…” “Iya, lo diam aja!” Mereka terus berpelukan, hingga Astrid mengurangi pelukan Matthew lebih dulu karena perutnya yang sudah keroncongan. Matt juga begitu, mereka hanya tertawa melihat bakso mereka yang sudah kedinginan. Astrid lekas turun, dan segera makan, tidak lupa menarik tangan Matthew yang hanya berdiri dengan diam saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD