Pemaksaan

1044 Words
Tak ingin berharap dan di jatuhkan sama hayalan, Marsha segera menjawab kalimat adik-adiknya. "Maksud kalian apa sih? Perjodohan pernikahan maksudnya gimana?" Marsha menoleh ke arah adiknya satu persatu dengan ekspresi cemas. Siapa sangka mereka justru tertawa mengejek dan bertemuk tangan. “Kok malah ketawa? Siapa yang mau nikah? Aku? Sama siapa?” "Selamat! Kamu bakalan nikah sama pria kayaaa...." Kalimat Marinka menepuk bahu Marsha di iringi Yuwen si adik nomer dua. "Selamat! Kamu akhirnya pergi dari rumah kita. Perlu syukuran sih, ini." Keduanya kembali cekikikan, membuat Marsha menegang. "Kalian ngomong apasih? Aku gak ngerti. Mama mana?" Marsha berkacak pinggang, dan langsung mendapat sahutan dari tangag. Seorang wanita paruh baya turun dengan rokok di sela-sela jari tangannya. "Marsha. Kamu harus menikah besok, dengan pria untuk melunasi hutang yang di tinggalkan papa kamu. Bersiap besok malam calon suamimu menjemputmu. Kita-kita maaf, tidak bisa ikut, soalnya Yuwen dan Marinka mau ujian..." sang ibu mendekat dan menatap kearah dua puterinya. "Benerkan Sayang?" "Iya-Ma. Iya..." sahut mereka berbarengan. Sontak saja kabar itu membuat Marsha bergetar. Antara rasa takut dan senang. Takut, karena dia belum tahu pasti siapa sosok pria yang akan menikah dengannya. Dan senang, karena dia tidak lagi menjadi babu di rumah ini. Walau di luaran juga dia belum tahu bagaimana nasibnya. "Mama yakin, Marsha mau menikah, Ma? Marsha masih muda, Ma. Dan tahun ini, Marsha mau daftar kuliah, dari hasil kerja Marsha setahun ini." Jawaban Marsha hanya menjadi bahan lelucon saja di keluarga itu. Dia tidak di anggap sama sekali, meskipun rumah dan harta yang sedang di nikmati bersama adalah harta peninggalan ibunya. "Marsha. Menikah itu bukan berarti kamu mati. Kamu tetap bisa kuliah, apalagi suami kamu itu kaya raya...." Sang ibu dan kedua adiknya tertawa terkekeh. "Tapi, Ma..." rengeknya, lupa kalau rengekannya bahkan tidak pernah di dengar sejak kecil. “Siapa pria itu? Marsha kan harus mengenalnya dulu, bahkan ta’aruh juga harus tahu calonnya.” Tegas Marsha tapi tak di hiraukan oleh mereka. "Kamu gak usah sok membangkang sama mama, ya?! Atau kamu tahu akibatnya?! Sekarang kamu ke kamar, beresin semua barang kamu. Kamu besok malam di jemput oleh calon suami kamu. Gak usah banyak bacot!" Hardik sang ibu mulai kesal. “Kamu itu, gak usah sok mau milih deh. Kamu ada yang mau aja syukur banget loh, apalagi ini pria nya pria kaya. Kalau cuma sekedar uang. Kamu keliling dunia pun bapak tua itu bakalan mau.” Ledek Marinka yang mengetahui informasi dari ibunya, jika pria yang berurusan dengan ibunya adalah pria tua dengan tubuh gendut dan memiliki codet di wajahnya. Tentu saja ketika pria mafia itu meminta salah satu dari anak Widia untuk di serahkan, segera Widia menyerahkan Marsha. Dan setelah mencari tahu informasi seputar Marsha, pria tua gendut dengan tampang menyeramkan itu menyetujui tawaran ibu tiri Marsha. “Ya, gak bisa gitu juga dong. Aku yang mau nikah, aku juga harus tahu yang mana pria nya. Kalau emang gak tau pria nya mending jangan nikah.” Jawaban ketus Marsha tentu saja membuat sang ibunda mendekat ke arah Marsha dan mencengkeram wajahnya. “Kamu itu. Mau tidak mau ya harus mau menikah dengan pria tua itu. Tidak ada pilihan untuk kamu. Anggap ini adalah cara kamu membalas budi padaku karena telah merawatku. Paham?!” “Ma, aku bukan menolak permintaan mama buat menikah. Aku juga ingin tahu, pria seperti apa yang akan menjadi imamku. Apakah dia yang bagus agamanya, ataukah…” Belum selesai Marsha menjelaskan, sang ibunda langsung menyahut. “Kamu gak usah bacot deh! Kerjain aja perintah, banyak banget lagu nya.” Sang ibu memberi kode pada kedua anaknya untuk mengurus Marsha. Kedua anaknya mengangguk perlahan. “Baik, Ma.” *** Siang itu, Marsha dipaksa pergi ke Mall bersama Marinka dan Yuwen. Ibunya sengaja memberikan gaun pernikahan untuknya. Sedangkan dirinya di temani sang adik untuk mencari sepatu. Meski malas, tapi Mariska tidak pernah bisa menolak keinginan ibu tirinya. "Glen..." langkahnya terhenti, bibirnya bergetar, matanya membesar bak terkena senngatan listrik dengan voltase tinggi. "Heh! Lo kira kita di sini mau jalan-jalan?! Buruan!" Marinka menarik lengan Marsha dengan keras. Marsha terus menoleh ke arah butik berlian. Dimana dia melihat sang kekasih merangkul erat pinggul wanita sembari melihat-lihat cincin, dan sesekali mencobanya. Sepertinya mereka tengah mencari cincin untuk pertunangan mereka. Karena pernikahan mereka akan di laksanakan dua tahun setelah bertunangan. "Lo pilih yang mana?!" Hardik Marinka menatap Marsha yang semakin terdiam seribu bahasa. Malah terlihat seperti mayat hidup saat ini. "Heh?! Budeg! Buruan. Calon pengantin lo udah mau nyampe." Kali ini, kalimat Marinka di bubuhi cubitan di lengan membuat Marsha meringis ngilu. "Sakit!" Marsha memukul adiknya perlahan. "Ya, lo juga. Ngapain lama amat mikir. Pakai bengong segala. Ngerepotin banget. Untung aja ini, duit yang di kasih suami lo buat belanja. Kalau pakai duit kita? Ogah bangett." Yuwen menyahut dari belakang karena kesal melihat kakaknya bengong. "Kalian pilih aja, terserah. Aku ikhlas." Marsha bahkan bergetar dalam menjawab. Dia masih tak bisa menguasai dirinya dengan apa yang dia lihat. "Yaudah. Mba, bungkus ini sama itu!" Samar-samar terdengar suara adiknya berbicara, sedangkan Marsha masih melayang ke arah butik berlian yang ada di seberang brand sepatu yang dia beli. "Marinka, kakak nunggu di luar, ya? Kakak mau ke toilet juga..." Marsha tak menunggu jawaban sang adik, dia langsung keluar dan mendekat ke arah butik. Dia melihat sejoli yang sepertinya tengah di mabuk cinta, sedang bersenda gurau di iringi sebuah kecupan sesekali di jemari wanita yang sedang bergonta-ganti mencoba cincin. "Beginikah, nyatanya? Sakit banget, Tuhan..." Marsha menepuk-nepuk dadanya dan kembali memutar tubuhnya, ingin segera pergi, karena Glen menoleh ke arahnya, mungkin Glen terasa jika dia di perhatikan. BRUGH!! Marsha sampai menabrak seorang pria dengan kacamata hitam terlihat sedang terburu-buru. "Pakai mata!!" Teriaknya duluan, karena ini meluapkan amarahnya tentang sang kekasih yang ternyata menikmati pertunangannya. "Ka-kamu! Sial emang kalau ketemu kamu!!" Geramnya lagi sembari mencengkeram bahu Marsha, terlihat sekilas seperti orang yang sedang berkencan, karna ekspresi pria itu tertutup oleh kacamata. Merasa mengenali suara itu, Marsha mendongakkan kepala. Matanya membesar, ingatannya kembali kepada singa gurun di cafe malam tadi. "Astagaaaa...ketemu lagi sama Singa Gurun." Geramnya dengan menggertakkan gigi, seolah dia memiliki kemampuan yang super dan bisa mengalahkan pria yang memiliki postur tubuh tinggi itu. "W-whats?!" Pria itu mendekatkan wajahnay. "Si-singa gurun?" Ulangnya dengan wajah memerah. "Marsha!!" Panggil suara yang sangat dia kenal. Ya, itu suara Glen. Sepertinya dia ketahuan telah membutuntuti Glen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD