Setelah mengobrol begitu banyak, seorang pelayan datang menghampiri mereka.
"Nyonya, makanan sudah siap," kata pelayan itu.
Nara Naura mengangguk. Beberapa pelayan masuk membawa begitu banyak makanan dan meletakkannya di atas kasur.
"Makanlah. Kamu bisa meminta lagi jika kurang," kata Nara pada Diandra.
Diandra terperangah melihat makanan yang ada di depannya. Lobster, ikan, daging, semuanya terlihat begitu lezat dengan beberapa buah yang terlihat masih segar.
Apakah dia bercanda? Apakah dia pikir aku seekor kingkong yang makan dengan porsi banyak? batin Diandra. Dia tersenyum dan menyendok sedikit demi sedikit makanan yang ada di depannya. Setelan mencoba beberapa, dia mendongak menatap Nara.
"Ini sangat enak, aku menyukainya. Terima kasih, Nyonya." Lalu dia makan dengan lahap.
Abimanyu dan Nata memperhatikan dan sesekali tersenyum.
"Apakah masih kurang?" tanya Nara.
Diandra hanya bisa mengangguk. Mulutnya penuh dengan makanan. Dia menyukai semua ini. Setelah beberapa menit, perlahan piring yang tadinya penuh menjadi kosong. Dia menghabiskan tanpa sisa sedikitpun.
Dia memang bukan kingkong, tapi dia seperti kingkong. Bagaimana mungkin manusia menghabiskan begitu banyak makanan hanya dalam beberapa menit saja? Mungkin saja, karena dia tidak pernah lagi menyentuh makanan enak selama seminggu.
Abimanyu dan para pelayan terbelalak dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka tidak mengira Diandra akan menghabiskan semua makanan itu dalam sekejap.
Apakah dia hantu? Bagaimana cara dia menghabiskan semuanya? Apakah dia memiliki perut cadangan?"
"Kamu makan dengan sangat lahap," kata Nara.
"Bagaimana bisa seseorang bertahan selama seminggu dengan porsi sebesar itu?" Abimanyu tertawa.
"Andra .... Diandra namaku. Aku tidak ...." Kata Diandra seraya menunduk. Sebelumnya dia tidak pernah makan sebanyak itu.
"Nama yang bagus. Kamu pasti sangat lapar. Tidak apa. Jangan dengarkan dia. Bersihkan dirimu, pelayan telah menyiapkan baju untuk," kata Nara sebelum keluar bersama Abimanyu dan para pelayan.
"Aku tidak percaya, dia menghabiskan semuanya," kata Abimanyu sambil tertawa.
Abimanyu tidak bisa menahan tawanya saat melihat Diandra menghabiskan semua makanan yang ada di depannya.
"Kamu terlalu berlebihan. Kamu membuatnya malu," kata Nara dengan tertawa. Dia pun tidak bisa menahan tawanya.
*****
Di dalam kamar, Diandra bangkit menuju kamar mandi. Ketika membuka pintu, dia terperangah takjub dengan kamar mandi yang besar dan mewah. Terdapat beberapa lilin aromaterapi, sabun, shampo dan masih banyak perlengkapan lainnya yang belum pernah dia lihat.
Apakah dia berada di istana seorang raja? Kamar mandinya saja begitu luas.
Setelah membersihkan diri, Diandra keluar dari kamar menggunakan pakaian yang sudah disiapkan Nara untuknya. Dia terlihat sangat cantik dengan gaun merah muda itu. Kemudian, dia menghampiri Abimanyu Nugroho dan Nara Naura yang sedang duduk mengobrol di ruang keluarga.
"Kamu datang. Kemarilah." Nara berdiri menyambut Diandra seraya memperhatikan dengan seksama. "Kamu sangat cantik memakai gaun ini."
"Sebelumnya, istriku tidak pernah memuji seseorang, tapi hari ini dia memujimu dengan baik," kata Abimanyu.
"Terima kasih, Kekek, Nenek. Kalian sangat baik padaku," jawab Diandra malu.
"Duduklah." Nara menyuruhnya duduk dan menuangkan teh untuknya.
"Bolehkan aku bertanya sesuatu?" Diandra sedikit ragu.
"Apa itu?"
"Apakah kalian hanya tinggal berdua? Melihat usia Nenek, seharusnya memiliki anak dan seorang cucu. Dan kamar tadi itu luar biasa." Pertanyaan Diandra sedikit to the point.
Abimanyu Nugroho dan istrinya tertawa, membuat Diandra bingung dan memandangi mereka berdua. Pertama kali dalam hidup mereka seorang anak kecil bertanya seperti itu.
"Apakah pertanyaan saya selucu itu?" Diandra bertanya dengan linglung.
"Tidak. Ini pertama kali ada seseorang yang bertanya seperti itu kepada kami. Kamu bahkan masih kecil dan kamu menebak dengan benar," kata Nara sambil tertawa.
"Sayang, lihat anak ini, pasti ia cerdas," ucap Nara pada suaminya.
Diandra tidak berkata apa-apa, ia tertunduk malu bercampur bingung. Nara mengambil sebuah album foto lalu menunjukkan beberapa foto anak dan cucunya.
Sore hari, Diandra berjalan-jalan di taman dan melihat ke sekeliling. Rumah Abimanyu sangat besar, tamannya sangat luas, beberapa pekerja tampak sibuk mengurus taman. Diandra terus berjalan dan berhenti di depan sebuah rumah kaca. Sekali lagi dia terperangah.
Keluarga ini memiliki rumah kaca yang besar, batinnya. Perlahan, dia mendekati pintu. Dari luar dia bisa melihat isi dari rumah kaca itu.
"Berapa macam bunga yang ada di dalam sana?" Diandra bicara pada dirinya sendiri.
Dari luar, dia bisa melihat beberapa macam bunga seperti Lily, hydrangea gloriosa, tulip, mawar, safrkn crocur, adenium, kadaka, anthurium dan masih banyak lagi. Semuanya terlihat sangat cantik dan memiliki nilai yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
"Apakah kamu ingin masuk dan menghitungnya?"
Dia berbalik dan melihat Nara Nuria dengan topi berkebunnya.
"Bolehkah aku masuk untuk melihat?" tanya Diandra dengan mata penuh harap.
"Kenapa tidak?" Kata Nara.
Diandra kemudian mendorong pintu, lalu masuk ke dalam rumah kaca. Dia bersorak dan mengangkat kedua tangannya sembari menghirup udara dalam-dalam.
"Ini sangat indah dan aroma bunga ini sangat menenangkan," katanya gembira sambil memejamkan matanya.
"Kamu menyukainya?"
Diandra mengangguk.
"Iya, sangat. Aku menyukai semua yang ada di rumah Nenek," seru Diandra bersemangat.
"Kamu boleh menggunakan tempat ini sesukamu dengan baik. Tapi, jangan mengacaukan. Ini adalah tempat yang sangat aku sukai. Menantuku menghabiskan waktu untuk merawat semua ini, jika ia berkunjung," jelas Nara panjang lebar.
"Terima kasih, Nenek. Aku akan menjaganya." Ucap Diandra sambil tersenyum. Dia sangat menyukai bunga. Di rumah tua ibunya di Kota A, dia mempunyai beberapa koleksi. Tapi tidak banyak dan tidak semahal milik Nara.
Diandra menghabiskan waktu di rumah Abimanyu Nugroho. Dia bahkan tidak memikirkan Hadi Winoto yang telah mencarinya selama beberapa hari terakhir. Tapi, dia tidak melupakan ibu dan saudaranya.
"Ibu, Kakak, Julian, maaf aku tidak bisa menghubungi kalian." bisiknya lirih dan sendu.
*****
Anak Abimanyu Nugroho seorang menteri pendidikan di kota B. Mereka akan berkunjung di kediaman Abimanyu setiap libur. Saat mereka berkunjung rumah ini akan ramai karena Mirza Nugroho memiliki anak perempuan yang berumur lima belas tahun. Dia sesekali akan menghibur kakek dan neneknya sampai perut mereka sakit karena tertawa.
Abimanyu sedang mengobrol bersama Mirza ketika tidak sengaja Diandra mendengar percakapan mereka, kemudian dia menghampiri.
"Paman barusan berkata tentang beasiswa," Diandra bertanya pada Mirza.
"Iya. Kami akan mengadakan tes beasiswa ke luar negeri," jawab Mirza.
"Bolehkah aku mencoba?" tanya Diandra ragu-ragu.
"Tentu saja. Siapapun boleh mencoba. Kamu bisa menemuiku di kantor pada jam kerja," jawab Mirza.
Setiap tahun, Kota B akan mengirimkan tiga perwakilan terbaik mereka untuk mendapatkan pendidikan gratis di luar negeri.
"Itu bagus. Ini kesempatan yang baik." Kata Abimanyu.
"Paman, terima kasih. Aku tidak akan mengecewakanmu." Diandra tersenyum penuh percaya diri.
Meskipun Diandra anak yang pintar, dia tidak menganggap beasiswa ini mudah. Setelah Mirza menyuruhnya untuk datsnf ke kantor, dia mulai belajar dengan giat.
Kediaman keluarga Nugroho seperti kantong ajaib Doraemon. Apapun yang Diandra inginkan, semuanya ada di sana. Bahkan ada perpustakaan yang lengkap. Orang kaya memang baik dalam segala hal.
*****
Dua hari kemudian.
Diandra ditemani Nara Nuria datang ke kantor Menteri Pendidikan. Dia akan mencoba mengikuti tes beasiswa itu.
"Kalian datang." Mirza menyambut mereka.
"Andra ingin mencoba ikut tes. Dia telah belajar begitu keras selama dua hari ini," kata Nara.
"Baiklah." Mirza menghubungi sekretarisnya, "Bawa dia ke ruang tes."
"Baik, Pak."
"Ini akan lama. Ibu, pulang dulu. Aku akan menyuruh seseorang untuk mengantarnya pulang ke rumah setelah tesnya selesai," kata Mirza pada Nara.
"Benar, Nenek tidak usah menungguku," ujar Diandra sebelum pamit ke ruang tes.
Diandra kemudian mengikuti sekretaris Mirza menuju ke ruang tes. Sudah ada beberapa orang yang ikut serta. Ruangan itu sangat tertutup, dilengkapi dengan kamera pengintai. Sangat sulit untuk berbuat curang.
"Apa dia bisa?" Mirza bertanya pada Nara.
"Melihat dari cara dia belajar, aku yakin dia pasti bisa. Aku percayakan dia kepadamu." Nara lalu pulang dan meninggalkan Diandra di kantor kementerian.
"Baiklah. Aku akan mengantar Ibu ke lobby."
"Tidak usah. Kamu pasti sibuk. Aku bisa sendiri," tolak Nara. Kemudian beranjak ke pintu ke luar dari ruangan kerja Mirza.
Begitu banyak tes yang dilakukan. Hampir seluruh pelajaran tingkat menengah, tidak terkecuali matematika dan bahasa Inggris. Tes beasiswa ini memakan banyak waktu. Peserta abanha memiliki waktu istirahat makan siang dan berlanjut sampai sore.
Diandra tiba di kediaman Abimanyu saat senja tiba. Dia telah bekerja keras hari ini, dan akan mendapatkan hasil tes seminggu kemudian.
Setelah seminggu berlalu, Diandra kembali ke kantor kementerian untuk mendapatkan pengumuman. Meskipun Mirza telah mengetahui hasil sebelumnya, dia merahasiakan sampai hari pengumuman.
Saat Diandra masuk, orang-orang memperhatika dirinya. Dia menuju ke papan pengumuman dan dia berhasil di urutan pertama. Tak lama Mirza datang menghampiri.
"Kamu melakukannya dengan sangat baik," kata Mirza.
"Ini semua berkat dukungan Lama, Kakek dan Nenek. Terima kasih!" kata Diandra menunduk dengan rendah hati.
Ini bukan pertama kali Diandra menjadi yang terbaik, di sekolah tingkat menengah dia selalu menjadi yang terbaik. Meskipun dia keras kepala, tapi dia anak yang cerda, baik, dan selalu hormat kepada yang lebih tua. Tapi dia akan menjadi jahat jika ada yang jahat kepadanya.
"Tanda tangan beberapa persyaratan. Kamu akan berangkat secepatnya," kata Mirza.
"Baik, Paman."
Malam itu di kediaman keluarga Nugroho, Abimanyu dan Nara mengadakan pesta untuknya, sekaligus pesta perpisahan.
Setelah semua yang dibutuhkan selesai, Diandra akhirnya berangkat ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan. Ini adalah kesempatan baik yang tidak dimiliki semua orang, meskipun hatinya berat karena tidak bisa mengucapkan selamat tinggal pada ibu, kakak, dan adiknya.
**Bersambung**