2. Meet With You

1474 Words
“Gue ke kantor duluan, Sa, nanti gue kesini lagi. Lo jangan ke mana-mana,” ujar Langit. Angkasa mengangguk, ia memilih merebahkan tubuhnya. Punggung dan beberapa tulangnya terasa linu, sebulan terakhir ia tak dapat tidur nyenyak di sana. Aroma itu ternyata membayangi hidupnya dimanapun ia pergi. Kepalanya yang terasa sakit membuat mata Angkasa dengan mudah untuk terpejam. Awan hitam bergumpal-gumpal, angin berhembus kencang, tak pernah menyurutkan semangat anak kecil itu yang tengah berlari-lari di area taman. Beberapa kali diperingatkan tak ada yang ia hiraukan. Seakan semua angin lalu, hampir satu bulan ia tak dibolehkan keluar dari rumah. “Den, jangan jauh-jauh, nanti Bunda marah.” “Mbak, tunggu sana aja. Nanti capek,” jawab anak itu dengan tertawa lepas. “Den Bara, jangan lari-lari nanti jatuh. Mbak yang dimarahi Bunda, ayo duduk aja di kursi. Udah mau hujan loh, tadi Bunda pesennya jangan lama.” Bara, bocah itu, tetap melanjutkan aksi lari-lari sebelum energinya benar-benar terkuras habis. “Mbak tunggu sini ya, Den, jangan jauh-jauh.” Langit mengacak-acak rambutnya kasar, rencananya setelah balik dari kantor ia akan ke apartemen Angkasa. Rencana itu harus ia kubur dalam saat ini juga, bos besar berada di depannya menatap dengan mata tajam. Penambahan jadwal cuti Angkasa membuat dirinya dalam posisi yang sangat sulit, pengajuan itu jelas sekali tak akan di terima oleh ayah Angkasa yang notabene masih menduduki kursi pemegang kekuasaan. “Saya tidak akan menambah jadwal cuti Angkasa, hari ini saya rasa sudah cukup ia gunakan untuk istirahat. Lagi pula tanggung jawab dia di kantor ini masih banyak yang belum dikerjakan, besok itu jadwal dia presentasi.” “Bukannya memberi contoh yang baik dia itu, malah mau bolos dari tanggung jawab. Oh ya, Langit, sore ini tolong beritahu dia untuk datang ke rumah. Tante Genta rindu dengan dia, suruh menginap satu hari di rumah. Mamanya itu selalu tanya kemana Angkasa pergi, malah Om yang dimarahi tega ngirim anak ke luar negeri.” lanjut Raka dengan membenarkan posisi jasnya. “Baik, Pak. Nanti saya akan beritahu Angkasa.” Raka tersenyum kecil, ia menepuk bahu Langit pelan. “Jangan formal sama, Om. Kalau nanti Angkasa nggak mau datang kamu temani dia ya. Om nggak bisa liat Tante Genta sedih mikirin Angkasa. Kalau kamu pulang, pulang aja.” “Makasih, Om. Langit pamit,” ucap Langit dengan tersenyum. Gue kira bakalan disidang habis sama Om Raka, ternyata enggak. Selamat gue, Ya Allah. Anak sama bokap seremnya sama aja perasaan. Batin Langit dengan melangkah pergi dari ruangan itu. Perasaannya tiba-tiba tak tenang, mengingat Angkasa bukan manusia anteng yang dapat ia andalkan. Berkali-kali ia menghubungi sahabatnya itu, selalu saja operator yang menjawab panggilannya. Kakinya terus melangkah, bahunya beberapa kali tak sengaja bertubrukkan dengan karyawan lain. Sebelum pergi pun ia sempatkan meminta maaf dan melempar senyuman hangat. “Kemana lagi nih Angkasa, pasti aneh-aneh deh dia. Heran banget sama tuh manusia satu demennya cari masalah aja, nyari tuh jodoh, seblak, martabak kek atau apalah. Selera Kasa emang lain sama manusia normal kek gue,” gerutu Langit dengan menginjak pedal gas mobilnya. Sesegera mungkin ia harus menemui sahabatnya tersebut. Laki-laki berkemeja hitam itu tengah berjalan santai di taman sekitar apartemennya, menikmati udara hangat sore hari ini. Ia menatap beberapa pasangan yang berlari bersama atau bergurau bersama, sudut hatinya tercubit bibirnya tersungging senyuman miring. Ia memilih duduk sendiri menatap danau yang jauh di depannya, perasaannya jauh lebih tenang. Pandangan laki-laki itu terpaku pada keluarga kecil yang tengah tertawa bersama, anak kecil berusia tiga tahun yang berlari main kejar-kejaran dengan orang tuanya. Pemandangan itu jelas sekali sangat menarik di matanya sekaligus berhasil membuat dadanya merasa sakit. Ia membayangkan jika itu adalah keluarga kecilnya kelak, menghabiskan waktu bersama, bercanda gurau, bahkan tak melewatkan sedikit pun tumbuh kembang anaknya nanti, pasti hidupnya akan bahagia. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, menghapus imajinasi liar yang berhasil mencuri pikirannya. Awan berarak-arak mulai memperlihatkan langit jingga sempurna, senja kembali membuat dirinya terpesona dengan kecantikkannya. Sama halnya dengan perempuan aroma mawar yang berhasil membuat dirinya jatuh, jatuh dan jatuh cinta lagi. Dirinya dikejutkan dengan bola yang memantul mengenai kakinya, ia memegang bola tersebut sambil celangak-celunguk mencari sang empu. "Om?" Ia menoleh, seorang anak laki-laki berdiri di sampingnya dengan tersenyum kecil. "Hai, ini bolamu?" Anak kecil itu mengangguk pelan. "Apa kamu sendirian? Dimana orang tuamu?" Anak kecil itu duduk di sampingnya, "Aku bersama Mbak Alin, Om. Pengasuh aku.” “Mama sama papa kamu kemana, Nak?” “Bunda kelja, Ayah nggak tau di mana.” Pertama kalinya ia jatuh cinta pada bocah kecil ini, logat bahasanya yang cadel pada huruf R membuat dirinya gemas sendiri. Bola mata cokelat itu mengingatkannya pada seseorang yang sampai detik ini masih membelenggu pikirannya. "Nama kamu siapa, Ganteng?" "Nama aku Al, Om. Bunda biasanya manggil aku Bala." "Senang bertemu kamu, Al. Semoga lain kali kita bisa berjumpa lagi ya." Al menganggukkan kepalanya kemudian berpamitan pergi menemui pengasuhnya. "Dia mirip sekali denganmu, Lena, aku melihat mata kamu ada di mata Al." ucapnya dengan menatap punggung Al yang semakin menjauh. Laki-laki itu Angkasa memegang kepalanya yang terus berdenyut, semakin keras usahanya untuk mengusir kilasan masa lalunya semakin keras pula denyutan kepala yang ia rasakan. Al seperti memiliki sihir tersendiri hingga mampu membuatnya merasa nyaman berada di dekat anak laki-laki itu. Angkasa mengusap wajahnya kasar, kakinya kembali mengayun melangkah menjauhi taman itu, hatinya kembali dirundung rasa bersalah. Ia balik ke apartemen, kemungkinan besar Langi telah pulang dan menunggunya lama. Atau malah aka nada masalah baru yang datang menghampirinya? ### "Lo dari mana aja, Sa?" Langit bersedekap d**a termenung menatap pemandangan luar jendela, ia menoleh menatap Angkasa yang datang dengan wajah yang amat kusut seakan tak minat untuk berbicara dengan siapapun. "Lo masih mikirin apa lagi sih, Sa? Mbak-mbak di bandara itu? Atau jangan-jangan lo udah ketemu sama dia? Gimana mereka orang sama atau hanya parfumnya yang sama?” lanjut Langit, terus menatap Angkasa, ia sangat penasaran sekali dengan perempuan aroma mawar yang sempat ditemui di bandara. Angkasa menggelengkan kepalanya pelan diikuti hembusan napas kasar. “Gue udah nggak kepikiran sama dia, Lang. Ada yang lebih berat lagi dari mbak-mbak aroma mawar.” “Apa? Lo hamilin anak orang lagi?” Angkasa meraih wadah tisu di dekatnya, melempar hingga mendarat sempurna di wajah Langit. “Bangke lo, Sa, udah gue jemput terus gue temenin sekarang. Terus apa balasan lo ke gue? Kek gini balas budi lo, Sa? Astaga anak seorang Raka Bramantyo, cucu Heri Bramantyo, calon pewaris Bramantyo’s Corp, kelakuannya kek gini? Nggak mencerminkan cucu orang terpandang banget sih?” ledek Langit dengan tertawa pelan. Wajah Angkasa terlihat sangat lesu dan tak bersemangat, ia merebahkan punggungnya di sofa. “Lo kenapa sih, Sa? Bukannya persiapan nikahan lo udah di urus nyokap lo? Jangan galau elah! Masalah mbak-mbak aroma mawar bisa gue cari nanti, lo jangan lesu gini dong.” Mulut Langit terus saja cerewet, tak bisa di rem membuat kepala Angkasa semakin pusing. "Jangan kek patung dong, Sa. Telinga lo nggak panas apa dari tadi denger gue ngoceh terus? Kalau lo nggak mau nikah ngomong aja, Sa, jangan malah galau kek anak SMA gini dong. Lo tuh udah tua, jangan merajuk lah. Gue bingung harus gimana sama lo," lanjut Langit, mulai mendekati Angkasa yang memejamkan matanya. Laki-laki itu menoleh, membuka matanya perlahan. "Lo mau gue di cap laki-laki tidak bertanggung jawab? Apa kata Mama, Lang? Gimana Papa, pasti makin benci sama gue. Lo nggak amnesia kan, gue udah di tendang keluar dari rumah. Kalau sampai gue nggak nikahin dia, gue dicoret dari kartu keluarga, dicoret dari pewaris tunggal Bramantyo’s Corp, gue kere nggak punya apa-apa, lontang-lantung terus gue depresi jadi gembel. Lo mau punya temen gila terus gembel?" Sahabatnya itu tersenyum miring dengan berkata, "Lo baru sadar? Kemana aja lo dulu, Sa? Ini kali kedua lo buat kesalahan yang sama, dan lo baru berani tanggung jawab sekarang? Kemana aja lo dulu, Sa, kenapa baru sekarang lo sadarnya? Gengsi lo gede juga ya, Sa." "Lang, pintu keluar di sebelah sana. Pusing gue denger lo ceramah mulu tau nggak, Mama kalau ke sini ceramah dan lo mau nambahin lagi? Bisa depresi gue lama-lama, Lang." Cowok itu tersenyum miring, menepuk pundak sahabatnya. "Kalau gue jadi lo, nggak bakalan ada Lena yang kedua. Tujuan gue ke sini karena mau nemenin lo, Sa, gue sempet diwejang sama bokap lo. Besok lo harus masuk kerja, cuti lo langsung ditolak sama bokap lo. Materi presentasi harus lo siapin, mana berkas-berkasnya biar gue aja." “Oh iya, ntar sore lo disuruh pulang ke rumah. Tante Genta kangen sama lo, gue bisa temenin lo. Sekarang lo istirahat, biar pikiran bisa segar lagi. Gue tau lo pasti pusing banget mikir masalah ini, jangan terlalu memaksa kalau lo udah nggak sanggup istirahat. Ada gue yang siap bantu lo, Sa. Kita sahabatan udah lama, gue anggep lo udah kek saudara gue sendiri.” lanjut Langit, ia masuk dalam ruang kerja Angkasa. Selepas kepergian Langit, ruangan itu nampak lengang. Laki-laki itu masih terlihat murung sesekali menjambak rambutnya. Keputusannya pulang lebih awal ke Indonesia adalah keputusan yang salah, tapi jika ia tak pulang dan lebih mementingkan egonya sendiri jelas lebih salah. Angkasa membulatkan tekad untuk siap menghadapi masalah, ia tak akan lari lagi. Lari hanya akan menambah beban masalah, bukan mengurangi. Matanya memberat, perlahan tertutup sempurna. ### 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD