3. Mereda

963 Words
"Angkasa?" Suara lembut dibarengi dengan usapan di dahinya yang mau tak mau membuatnya membuka mata perlahan. Senyuman hangat menyambut dirinya, wanita yang paling ia cintai. Wanita yang selalu mendukung dirinya dan selalu menjadi sandaran hidupnya. Angkasa hanya diam, memandangi wajah wanita itu. Selalu nyaman jika berada di dekatnya, rasa gelisah dan bimbang musnah seketika. "Kasa, kok murung? Kamu kenapa, Nak, coba cerita sama Mama." Mamanya, Genta, mendekat lalu memeluk tubuh putra sulunya, ia mengelus punggung Angkasa lembut tak lupa kecupan sayang mendarat di puncak kepalanya. "Cerita sama Mama, Sayang. Ada apa? Kamu ada masalah sama Papa? Aksa jahat sama kamu? Apa yang ganggu pikiran Kasa?" Dekapan malaikat tak bersayap selalu mujarab mengatasi kegelisahan hatinya. Ia membalas pelukan Genta dengan erat. Hanya mamanya yang mengerti semua keinginan dan harapannya. Mama yang selalu memberinya dorongan semangat saat dia terjatuh, tak pernah menuntutnya banyak dalam berbagai hal, selalu membebaskan dirinya untuk berekspresi. "Kasa, kamu punya Mama. Jangan pernah malu untuk cerita, Nak." Angkasa masih enggan membuka mulutnya, ia menikmati elusan dari mamanya. Mama yang selalu membuatnya yakin dengan segala hal keputusan yang ia ambil. "Ma, aku ragu." "Ragu kenapa, Kasa? Mama tidak pernah mengajari kamu ragu dalam menentukan pilihan, Nak. Satu lagi, Mama selalu mendukung apapun keputusan kamu selagi itu benar." Angkasa tersenyum kecil. "Ma, Kasa nggak jadi nikah." "Maksud Kasa apa? Mau lari dari tanggung jawab? Apa kata keluarga Narendra, Sa? Papa kamu itu punya hubungan baik sama mereka, mama yakin papa pasti marah sama kamu kalau sampai pernikahan ini gagal.” Angkasa semakin mengeratkan pelukkannya. “Sa, papa itu nggak pernah benci sama kamu. Papa sayang sama Kasa, juga Aksa. Kamu kenapa nggak pulang ke rumah, Nak? Padahal mama udah nungguin Angkasa di rumah, kamu nggak kangen sama mama? Kasa anak mama yang paling kuat, anak hebat, anak madiri. Mama bangga sama Kasa,” lanjut Genta, air matanya merembes mengalir di pipinya. “Mama selalu pengen yang terbaik buat Angkasa, apapun itu. Kali ini jangan buat papa semakin kecewa sama Kasa. Kakek juga mendukung kamu, Kasa, beliau percaya perusahaan ada di tangan kamu bukan Aksa. Papa juga sama begitu, Nak, kalau papa benci sama kamu nggak mungkin ngasih kepercayaan ini sama Kasa. Kamu paham kan maksud mama apa? Buat papa bangga sama kamu, Kasa harus berani tanggung jawab. Apa yang kamu perbuat, semua memiliki akibat. Sekarang kamu menerima akibatnya, Sa, dan kamu harus berani tanggung jawab.” Angkasa melepas pelukan mamanya, ia mengusap wajahnya kasar. "Ma, aku pengen bahagia. Aku nggak mau dituntut terus sama papa, Kasa pengen masuk sekolah penerbangan. Cuma itu, Ma, tapi kenapa papa sampai ngusir aku dari rumah? Apa aku berbuat fatal sampai harus diusir? Semua orang berhak punya mimpi kan, Ma? Tapi kenapa semua mimpi aku nggak ada yang terwujud? Aku boneka, Ma.” “Masalah nikah aku pengen batal, Ma. Aku yakin banget, anak itu bukan anak kandung aku. Ini semua hanya akal-akalan wanita busuk itu, Ma. Terserah mama mau percaya sama aku atau enggak, tapi harusnya mama ngerasa ada yang beda dari sorot matanya. Dia licik, Ma. Aku nggak mau nikah bukan karena aku nggak mau tanggung jawab, tapi aku yakin anak itu bukan darah daging aku." “Mama minta maaf sama kamu, Nak, semua cita-cita kamu nggak ada yang terwujud. Mama cuma bisa sekolahin Angkasa dua tahun, harusnya kalau mama bisa nutupi dari papa sekarang kamu udah wisuda. Kamu pasti tersiksa kan sama semua ini? Mama akan usaha bujuk papa kamu, semua demi Angkasa.” Genta tersenyum kecil, ia mengusap kepala Angkasa. "Mama Tanya sama kamu, Nak, kamu yakin Agni nggak ngandung anak kamu, Kasa? Dia kan udah bilang hanya kamu yang menyentuh dirinya? Masalah ini berat, Nak, kalau mama dukung kamu buat nggak tanggung jawab, apa kata papa? Papa pasti marah sama mama. Mama akan dukung kamu kalau kamu ada bukti seperti, foto Agni main sama yang lain. Mama yakin papa pasti langsung gagalin pernikahan ini, karena merasa rugi. Sekarang, kamu nggak ada bukti apa-apa kan?" Angkasa menggelengkan kepalanya. "Tapi ma, dia itu licik. Pasti dia suruh seseorang, Ma. Kasa yakin," jawab Angkasa menggebu. Mamanya tersenyum lembut, ia memeluk tubuh Angkasa kembali. Menenangkan emosi anaknya yang selalu meluap-luap. "Jangan pikirin itu dulu, Kasa, singkirin dulu pemikiran kamu buat gagalin pernikahan ini. Coba kamu renungin, kalau kamu nggak mau nikah sama dia, bagaimana nasib anak yang dia kandung? Kamu nggak memikirkan masa depan bayi itu, Nak? Kalau bener itu anak kamu gimana, Sa? Kamu harus mempersiapkan mental, untuk menerima semuanya. Jangan mikirin siapa yang sedang mengandung, tapi siapa yang dikandung. Yang ada di rahim Agni itu bisa jadi anak kamu, nggak ada yang mau lahir ke dunia ini tanpa orang tua lengkap. Mama pengen kamu pertimbangkan ini semua, Sa. Jangan gegabah dulu, pikirkan matang-matang ya.” Angkasa menangis dalam dekapan Genta. “Ma, aku nggak pernah cinta sama Agni. Cinta aku untuk perempuan lain, cuma dia yang ada di hati aku. Aku nggak mau dipaksa, Ma, apalagi terbebani sama bayi itu.” “Mama akan bantu Kasa, kalau ada bukti. Sekarang belum ada buktinya, Kasa, mama nggak bisa berbuat banyak. Mama juga hanya menerima perintah dari papa, sebisa mungkin kamu cari buktinya. Tanpa bukti-bukti kamu lemah melawan Agni, Sa.” Genta setia memeluk anak laki-lakinya itu. Genta mengecup puncak kepala Angkasa lalu berkata, "Mama selalu bangga sama Kasa, apapun pencapaian Kasa Mama selalu bangga.” Angkasa mengagkat wajahnya, menatap manik mata mamanya, tersenyum kecil. Ia meletakkan kepalanya di d**a Genta, tepat jantung mamanya. "Kasa akan cari bukti-buktinya, Ma. Makasih ya, Ma, selalu dukung Kasa. Mama selalu berhasil buat Kasa tenang.” "Mama melakukan apapun demi Angkasa, asal itu ada bukti. Kamu anak yang paling mengerti sama mama, Nak. Kasa perlu ingat satu hal, tidak ada yang benci sama kamu. Semua sayang kamu, Nak.” Angkasa memeluk mamanya erat, mamanya selalu membuatnya semangat kembali. Hanya mamanya yang bisa membuat dirinya kembali merasa hidup. "Dan yang paling penting dari semu itu adalah kamu masih punya Mama yang selalu mendukung kamu, Kasa." ### 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD