+6282332123456
Gue tunggu di kafe Melati, kalau lo mau tau dimana anak lo!
●●●
"Lo nggak pengen ketemu sama anak lo?"
"Dimana lo sembunyiin dia?"
Laki-laki di hadapannya itu hanya terkekeh pelan. "Asal lo tau, gue nggak pernah sembunyiin anak lo atau pun pacar lo. Cuman lo aja yang nggak mau berjuang nyari mereka!"
"Gue nggak tahu lo bawa pergi kemana mereka! Sejak dia awal hamil, lo ajak mereka pergi dari Indonesia. Lo emang sengaja ya, ngejauhin gue sama mereka."
Bibir laki-laki itu tersenyum miring, lalu menjawab, “Maksud lo gimana? Gue nggak mungkin biarin dia lahiran di sini tanpa suami, apa kata tetangga gue? Lebih baik gue bawa dia jauh dari hidup lo, dekat dengan lo pun nggak menjamin buat lo nikahin dia kan? Dia di sini itu menderita terus hidupnya, dan juga gara-gara lo masa depannya suram. Untung gue bertindak cepat, asal lo tau sekarang dia jauh lebih sukses dari lo.”
“Maksud lo apa? Gue nggak pernah lari dari tanggung jawab, dari dulu sampai sekarang gue selalu cari keberadaan dia. Selama itu pula gue selalu gagal, lo tau kan dia itu masih cinta sama gue. Begitu juga gue! Kenapa lo nggak terus terang dimana keberadaan mereka sekarang sih? Gue Cuma mau tanggung jawab sama apa yang gue perbuat.”
Laki-laki di depannya itu kembali memajang senyum tiga perempat. “Maksud lo tanggung jawab itu apa? Tanpa lo mereka bahagia, semua kebutuhan anak lo itu tercukupi. Lagi pula bukannya lo mau nikah sama Agni ya? Selamat ya! Setelah ini jangan pernah berharap lo bisa ketemu sama mereka lagi, kesempatan lo cuma datang satu kali aja jangan sampai lo sia-siakan.”
"Dan seharusnya lo udah tahu wajah dia, dodol! Anak itu mirip sama lo! Kloningan lo, persis! Hanya saja sifatnya lebih ke ..." Laki-laki itu menjeda ucapannya dengan mengusap wajahnya kasar.
"Dia dimana, Bang? Izin kan gue ketemu sama dia, gue kangen sama dia."
"Gue tahu dia masih sayang sama lo, cinta banget malah sama lo. Tapi gue nggak mungkin lepasin dia begitu aja, tanpa lo berjuang mau cari dia dimana. Hidup nggak segampang itu, dia berjuang mati-matian buat lahirin anak lo. Dan lo di Indonesia dengan seenak jidat buat anak lagi sama perempuan ular itu? Harusnya mata tuh lo buka lebar-lebar, perempuan satu-satunya yang gue sayang udah lo rusak gitu aja dan sekarang apa? Lo malah tanggung jawab anak orang lain? Punya anak buah banyak digunain! Bukan cuman pasrah doang!"
Laki-laki itu mengenakan kaca matanya, lalu pergi begitu saja meninggalkan temannya yang masih mencoba mencerna ucapannya.
Mama
Pulang ke rumah ya
Mobil ferari putih dengan plat nomor nama inisialnya, berhenti di halaman luas rumah tujuh belas milyar. Kaki jenjanganya menapaki anak tangga satu persatu, ia menempelkan sidik jari ke pintu yang otomatis membuka sendiri. Satu tamparan telak ia terima, bahkan wajahnya sampai tertoleh ke samping.
"Sejak kapan kamu jadi tidak menghargai wanita seperti ini, Kasa? Papa tidak pernah mendidik kamu untuk lari dari tanggung jawab seperti ini, Kasa! Selama ini Papa menganggap kamu anak laki-laki yang paling kuat, mandiri dan berani. Tapi kenapa kamu bisa nakal dan tidak tau aturan, Kasa? Mama sama Papa kecewa sama kamu, perbuatanmu itu nggak bisa dimaafkan lagi, Kasa. Masalah kamu ini sudah buat malu keluarga besar kita, Kasa. Dua kali kamu m*****i seorang perempuan, memang tidak punya perasaan kamu!"
Laki-laki itu, Angkasa, ia menahan panas yang menjalar ke sudut bibirnya. Ayahnya, Raka, menatap tajam. “Apa yang kamu inginkan, Kasa? Papa selalu berusaha memenuhi keinginan kamu sama Aksa, sama rata.”
"Pa, jangan seperti itu sama Kasa." Wanita itu mengusap punggung suaminya lembut, Genta berusaha meredam amarah suaminnya.
"Anak ini kelewatan, Ma. Dia masuk sekolah perbangan Papa maafin, karena itu cita-cita dia." Dia menyentak tangan istrinya kasar.
"Tapi hari ini, Papa kecewa sama kamu."
Macan tidur dalam diri Angkasa mulai tersulut emosi, melihat mamanya tersungkur. "Papa boleh marah sama aku, tapi jangan pernah Papa lampiaskan sama Mama. Papa boleh nonjok aku, dengan senang hati aku nggak akan lawan. Tapi jangan pernah main fisik sama Mama. Asal Papa tahu cuman Mama yang tahu dan paham kondisi aku, Pa. Di saat Papa membanggakan Aksa dengan gelar dokternya, Mama ngedukung aku buat masuk sekolah penerbangan. Mama rela kena amukan papa, rela ngebiayain sekolah aku sampai lulus, Pa. Aku nggak pernah minta Papa buat bangga sama aku. Aku emang beda sama Aksa, Pa, dia lebih nurut sama Papa. Aksa anak kesayangan Papa, sedangkan aku? Anak buangan!"
Angkasa menahan kepalan tangannya, ia mendekati mamanya, membantu berdiri. Memeluk wanita itu dengan erat.
"Saat aku wisuda, Papa kemana? Cuman Kakek, Nenek sama Mama yang datang. Papa lebih penting bisnis dari pada aku. Itu yang namanya setara? Itu yang namannya adil? Iya, Pa?"
"Kasa!" bentak Raka dengan mata yang berkaca-kaca.
"Benerkan, Pa? Apa aku salah ngomong? Aku bakal nyari anak kandung aku tanpa papa suruh, satu lagi anak dalam kandungan Agni itu bukan anak aku. Permisi!" Ia mencium dahi mamanya sekilas lalu melangkah keluar kembali dengan perasaan kecewa yang semakin menganga lebar.
Genta tersenyum miring, ia menahan air matanya yang sudah menggantung di pelupuk mata. “Bagus, Mas, kamu emang jago usir anak sendiri dari rumah. Aku nyuruh Kasa ke sini, karena aku kangen. Bukan malah kamu tampar kek tadi, bapak macam apa kamu?”
“Belain aja terus anak kamu itu, dia udah ngelakuin hal yang fatal. Mencoreng nama baik keluarga besar kita,” jawab Raka dengan menatap tajam Genta, ia melenggang pergi meninggalkan istrinya.
Angkasa memukul setir mobilnya membabi buta, air matanya semakin deras mengalir. Untuk kesekian kali, hatinya hancur di tangan Raka, ayahnya sendiri. Pandangan Raka jelas semakin buruk tentang dirinya, niat awal ke sana adalah bertemu dengan Genta. Ia rindu.
"Kenapa sih, Pa, Kasa terlihat banyak minus di mata Papa? Se-sempurna apa Aksa di mata papa? Sebaik apa Aksa, Pa? Kenapa cuman Kasa yang selalu Papa salahkan, selalu papa pandang rendah?" Ia menjambak rambutnya, hubungan antara ayah dan anak itu tak pernah dingin sejak dahulu. Selalu berbeda pemikiran dan pendapat.
Pikirannya kalut, satu sisi ia harus bertanggung jawab atas kehamilan Agni dan satu sisi ia harus mencari anak dan pacarnya yang telah meninggalkannya. Agni, perempuan itu yang membuat gadisnya pergi meninggalkan dirinya sebelum ia menikahinya. Dan, kini Agni datang padanya dengan mengaku hamil anaknya. Bahkan ia tak pernah menyentuh Agni sama sekali, seingatnya hanya ketemu di bar. Lalu setelahnya ia tak mengingat apapun.
Kondisi hati semakin hancur, ia memutuskan menuju tempat yang jelas menerimanya dengan tangan terbuka. Aksara Langit Narayya, sahabat sekaligus asisten pribadinya. Apartemen laki-laki itu selalu terbuka untuk dirinya, Langit selalu memeluk segala keluh kesah Angkasa. Langit menjadi sandaran Angkasa, bisa dibilang menjadi ibu kedua untuk Angkasa.
Ruangan itu nampak sepi, hanya gemericik air di kamar mandi yang terdengar samar-samar. Angkasa memilih merebahkan tubuhnya di sofa, memijat pelan kepalanya.
"Gue kira siapa, Sa."
Dengan kaos oblong dan celana pendek yang melekat di badan Langit, duduk di samping Angkasa. Ia melirik tak berkomentar dengan wajah laki-laki itu yang tengah kusut.
"Mau minum?" Angkasa menggelengkan kepalanya.
"Lo kenapa? Ada masalah sama pernikahan?"
"Papa marah sama gue. Dari siapa ya Papa dapat berita itu?" jawab Angkasa.
Langit mengerutkan dahinya. "Berita apa? Lo hamilin anak orang lagi, Sa?"
"Anjir! Bukan itu, k*****t!" Angkasa menonyor kepala Langit keras.
"Masalah masa lalu lo?" Laki-laki itu mengangguk.
Langit menghembuskan napasnya pelan. "Mending lo cari dia deh, Sa. Adhit pasti tahu."
"Dia nggak mau jujur saka gue, Lang. Apa mungkin selama ini mereka di sini ya? Cuman gue aja yang nggak mau coba nyari dia," ujar Angkasa.
"Gue saranin ikuti kata hati lo, Sa."
Angkasa melirik ponselnya yang berada di saku celana, terus bergetar. Ia menatap ponselnya, lalu menghembuskan napasnya pelan.
"Halo ada apa?"
"Maaf, Tuan Muda. Nyonya masuk rumah sakit."
"Dimana?"
"Rumah sakit keluarga, Tuan Muda."
"Saya segera kesana."
Angkasa buru-buru berdiri, merapikan jasnya. "Mau kemana lo, Sa?"
"Mama masuk rumah sakit, Lang."
Langit menyengkeram tangan Angkasa, mencoba menghentikan langkah temannya itu. "Biar gue yang nyetir, gue takut lo kenapa-napa."
●●●