8. Mommy

1362 Words
"Ma," bisik Angkasa dengan menggenggam tangan Genta lembut. "Mama kenapa?" Lanjutnya dengan mengecup tangan mamanya. "Mama nggak papa, Sayang. Mama Cuma kecapekan, Kasa." Genta menyentuh wajah Angkasa lembut. Perempuan paruh baya itu, menintikkan air matanya. Ia mencoba tersenyum kecil, Angkasa putra yang dulu ia lahirkan dengan bertaruh nyawa kini telah tumbuh dewasa. Kasa mennjadi laki-laki tangguh yang selalu menjadi kebanggaan tersendiri dalam hidupnya. "Angkasa, anak mama yang paling mama sayangi, kalau umur mama nggak sampai lihat kamu naik ke pelaminan. Mama mohon sama kamu, Kasa. Mama pengen kamu bertanggung jawab. Semua wajib kamu pertanggung jawabkan. Kalau kamu masih ragu, cari kebenarannya. Jangan hanya diam saja, Nak. Mama selalu ada di belakang kamu, nggak mungkin Mama tega melihat kamu sedih, murung seperti ini. Mama juga pesen sama kamu, perbaiki hubungan kamu dengan papa juga Aksa, setelah mama nggak ada cuma mereka yang kamu miliki," ucap Genta dengan menangis. Angkasa memeluk tubuh mamanya itu dengan erat. "Mama jangan ngomong gitu, kita sama-sama terus, Ma. Nanti mama bakal nimang cucu-cucu mama, menua bersama papa. Selalu menasehati Kasa, kalau aku salah. Mama kuat, Ma.” Genta tersenyum, ia melerai pelukkannya. Menghapus jejak air mata Angkasa. “Mama nggak kuat kalau lama-lama tersiksa, Sa. Mama akan ikut senang kalau kamu senang, Nak. Kamu harus bisa mengungkap semuanya, cari perempuan yang kamu cintai. Mama selalu berdoa untuk Kasa.” Angkasa mengangguk, ia mencium dahi mamanya. "Mama istirahat, jangan kebanyakan pikiran ya. Kasa, pergi dulu. Kalau ada apa-apa minta pihak rumah sakit telpon aku ya ma. Maaf aku nggak bisa lama-lama di sini, papa marah lihat aku di sini, Ma." Genta mengangguk, ia menatap pungung anaknya semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu. Air matanya kembali mengalir. Angkasa selalu bersandar di bahunya, menangis dalam dekapannya, hatinya berat jika nanti harus meninggalkan anaknya itu. Genta mengalami perubahan kondisi yang sangat derastis, setelah melahirkan kedua buah hatinya dengan berat hati rahimnya terpaksa di angkat. Hatinya ikhlas ia tak bisa mendapat buah hati kembali, baginya Aksa dan Angkasa sudah cukup. Namun, ucapan tak selalu bisa di pegang. Lambat laun ada kebosanan, Raka mulai berubah sikap dikit demi sedikit. "Ma?" Ia menatap pintu itu kembali, Aksa berdiri tegap di sana lengkap dengan atribut dokternya. "Mama nggak papa kan?" Genta tersenyum kecil. "Mama nggak papa, Sayang." Aksa tersenyum berkata, “Aku balik kerja ya, Ma. Nanti aku ke sini lagi, mama istirahat aja.” Lalu menutup pintu itu kembali. "Ya Allah, Mas, anak seperti ini yang kamu banggakan? Kamu lihat dari sisi sebelah mana? Aksa dan Angkasa itu berbeda, Mas. Kamu masih aja tutup mata sama kebenaran itu semua.” Di lorong rumah sakit, Angkasa berjalan gontai. Langit setia berada di sampingnya, takut Angkasa berbuat sesuatu yang di luar nalar. Angkasa tengah melamunkan mamanya yang kondisinya tak baik-baik saja, perempuan itu sangat menderita. Papanya sampai detik ini belum terlihat batang hidungnya, entah pergi ke mana disaat belahan hidupnya membutuhkan dukungan dari Raka. Maaf ya, Ma, Kasa nggak bisa nemenin mama. Kasa takut papa malah marahin mama, nanti Kasa bakal ke sini lagi. Bola yang entah darimana arah datangnya sukses membuyarkan lamunan Angkasa, kepalanya menjadi sasaran empuk bola itu. "Mampus!" desis Langit dengan terkekeh. Angkasa mengambil bola yang tergeletak di sampingnya, ia tersenyum kecil. "Al?" panggilnya dengan menelisik di sudut lorong itu. Anak laki-laki itu keluar dari sebuah ruang praktek dengan tersenyum lebar. "Om Angkasa? Maaf ya, Om, Al nggak sengaja." "Kamu kok ada di sini? Kamu sakit?" Al menggelengkan kepalanya, ia mengambil bola dari tangan Angkasa. "Makasih ya, Om." Anak itu kembali masuk ke ruang Dokter Kandungan. Angkasa melirik Langit yang sejak tadi mengerutkan dahinya. "Lo tahu dia anaknya siapa, Sa?" Angkasa menggelengkan kepalanya. "Bodoh!" "Lo ngatain gue, Lang?" Langit tersenyum miring. "Dia anak lo, Sa!" Angkasa menggeleng-gelengkan kepalanya, ia terkekeh dengan ucapan Langit. "Sok tahu lo, Lang!" "Oke! Seberapa kenal lo sama anak lo sendiri, Sa?" "Dia mirip sama lo, Sa. Gue berani bertaruh kalau tuh bocah anak lo, baru pertama gue lihat anak manusia terus gue ngerasa ada ikatan padahal bukan anak gue. Lo lihat deh tatapannya mirip siapa? Mirip lo, Sa! Dia itu natapnya alus banget, lembut. Gue jamin dia anak lo, tapi kenapa dia masuk ke ruangan dokter kandungan? Apa mungkin ..." "Gue nggak tahu, katanya Bunda dia itu kerja di rumah sakit, pakek baju putih-putih terus jadi penyelamat bayi." Langit menganggukkan kepalanya paham. "Fix! Lena itu kerjanya jadi dokter kandungan, pasti dia sekarang ada di dalam. Gue yakin!" "Agni bukannya dokter kandungan dia ganti ya? Siapa? Kali aja dokter kandungannya si Lena." lanjut Langit dengan memicingkan sudut matanya. "Seinget gue Dokter Tara deh, bukan Lena." Angkasa segera menganggukkan kepalanya. Ia merangkul tubuh Langit. "Lo harus bantu gue, Lang." ●●● "Om Angkasa!" Balita itu melebarkan tangannya, meminta di gendong oleh Angkasa. Laki-laki itu menggendong Al dengan mengecup pipi gembulnya. "Al sama siapa?" "Sama Mbak Arin. Tapi Al suruh pergi dulu, Al pengen main sama Om Angkasa." Angkasa tersenyum tipis, ia duduk di bangku taman seperti biasa. "Sejak kecil aku nggak pernah main bareng sama Ayah, Om. Kata Bunda, Ayah sudah pergi jauh. Padahalkan aku pengen ketemu Ayah, Om. Kata Om Tya, Ayah mirip sama aku. Bunda nggak pernah kasih aku fotonya," lanjut Al dengan memainkan jas Angkasa. Hatinya tertohok, ia membayangkan anaknya yang jauh entah dimana. Pasti bernasib sama dengan Al. Rindu dengan kasih sayang seorang Ayah. Ia kecewa dengan dirinya sendiri, tak seharusnya tega membiarkan perempuan itu pergi membawa buah hati mereka, membesarkan sendirian. "Rasanya di peluk Ayah gimana sih, Om? Setiap aku sakit cuman Bunda yang meluk, kadang Om Tya." Angkasa memeluk balita itu erat, tak lupa mencium puncak kepalanya. "Anggap Om Angkasa ini adalah Ayah kamu, Al. Kamu suka nggak?" Al mengangguk semangat, ia memeluk Angkasa erat. "Jadi gini, Om, rasanya di peluk Ayah. Hangat ya, Om." Angkasa tersenyum kecil. Ia mengusap rambut Al, anak itu semakin nyaman berada di dadanya. Sore ini lagi-lagi di buat nyaman dan tenang oleh Al, pikirannya tentang Agni pun pudar. "Kapan-kapan kita ketemu Bunda ya, Om. Kalau sekarang Bunda sibuk kerja, buat beli susu." "Nanti kalau Bunda Al nggak mau ketemu sama Om gimana?" tanya Angkasa. Ia takut jika di tuduh yang tidak-tidak oleh orang tua Al. Al menggeleng dalam pelukannya. "Bunda baik kok, Om. Nggak pernah marah sama aku, kalau sama Om Tya suka marah-marah." Angkasa semakin merasa bersalah pada masa lalunya, Al membuat hatinya tersadar. Rasa khawatir tumbuh dengan anaknya yang mungkin sekarang seusia Al, bagaimana tumbuh kembang anaknya? Apakah mendapat nutrisi yang baik? Apa mendapat kehidupan yang layak? Selama ini ia tak memberi nafkah pada anakanya, malah asik dengan dunianya sendiri. "Om, Al kasihan sama Bunda setiap hari harus kerja pakek baju putih-putih. Terus pulangnya malam, kemana ya Papa Al? Kok sampai sekarang nggak jemput Al, padahal Al sudah pulang ke Indonesia." Bocah itu tetap saja berkicau menyuarakan isi hatinya. Angkasa mengelus puncak kepala Al dengan lembut. "Kan ada Om Angkasa, Sayang. Anggap saja om ini Ayah Al." "Tapi Al pengen ketemu sama Ayah asli Al, Om. Apa sebaik Om Angkasa ya?" Bocah itu meringkuk dalam pelukan Angkasa, bibirnya tak bisa berhenti mengoceh. Sudut bibir Angkasa terangkat, ia teringat dengan perempuan itu. Perempuan yang masih merajai hatinya, bibirnya selalu mengoceh jika dirinya berbuat salah. Al mengecilkan volume bicaranya sembari perlahan matanya tertutup. Anak laki-laki itu terlelap dalam pangkuannya. "Bunda kamu pasti beruntung memiliki putra seperti kamu. Ceria banget, aktif lagi." Angkasa mengecup pipi Al pelan. Perempuan berbaju merah muda dengan rambut di cepol itu mendekati bangku Angkasa. "Maaf, Pak. Ini Den Bara?" Angkasa menoleh, ia mengerutkan dahinya. "Saya Arin, pengasuh Den Bara." "Dia namanya siapa, Mbak?" "Aludra D Aldebaran, Pak. Haduh, dia tidur ya?" Angkasa mengangguk, ia menyerahkan Al dengan hati-hati. "Makasih ya, Pak, sudah mengajak Den Bara main. Saya pamit dulu." Angkasa mengangguk kembali, ia masih duduk pada bangku itu. Mengingat nama bocah laki-laki yang sudah pergi dari pandangannya. "Aludra? Aldebaran?" "Kenapa namanya mirip banget sama Radhitya? Radhitya Bhayangkara Aldebaran. Al bilang di peluk sama Om Tya. Apa maksudnya Al itu Radhitya? Kalau Radhit itu adalah ..." "... berarti? Astaga! Nggak mungkin!" Angkasa mengacak-acak rambutnya, pikirananya kembali kalut. Ada masa depan yang ia tanggung jawabkan dan masa lalu yang belum ia selesaikan tanggung jawabnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD