11. Rasa Penasaran Angga

1606 Words
Kenapa pagi cepat datang?! Vigo serasa enggan berjalan menuju mobil, matanya masih mengantuk dengan kantum hitam yang membekas disana. Bayangkan saja ia tidur pukul empat dini hari setelah pulang dari kantor polisi, ah tidak juga. Sebenarnya ia memikirkan banyak hal yang ingin ia agendakan hari ini, seperti bagaimana caranya untuk mengurungkan niat Luna, agar dia tak membujuknya menyapa anak konyol bernama Angga. Atau kalau bisa ia membungkam mulut Luna dengan sendal jepit saja, tapi itu bukan cara yang ampuh sepertinya. Saat masuk kedalam mobil, dengan wajah yang bingung sang supir menatap dari kaca didekat kemudi. “Den Igo kenapa, kok tumben-tumbennya diem aja.” “Lagi sariawan, Pak.” Kata Vigo bohong. Memang biasanya jika pagi begini, Vigo sudah berteriak dengan kencang untuk membawanya pergi jalan-jalan keliling ibukota sebelum pergi kesekolah. Kebiasaan itu sudah ia lakukan sejak SMP, alhasil kadang ia jadi terlambat sekolah. Bahkan saat ada Luna kebiasaanya itu masih ia lakukan, tapi hari itu Luna tak nampak duduk disampingnya. Huf. Ia menghembuskan nafas berat, Mama tak memperbolehkan Luna untuk berangkat bersamanya. Karena Luna dan Chaca diantar sang Papa. Rasanya semuanya menjadi berubah, apakah ini yang dijalaninya nanti jika dewasa? Meskipun Luna hanya adik angkat, tapi perasaanya kadang melebihi pada Chaca. Luna yang humoris dan supel, kocak dengan gaya bahasanya yang seperti orang b**o’ terasa begitu real tanpa dibuat-buat. Walaupun sampai sekarang asal-usul Luna belum jelas. Yang pasti ada perasaan sendiri pada Luna dihatinya, perasaan yang timbul karena sering berdekatan dan bukan Cuma rasa care saja tapi semuanya seperti saat ia jatuh cinta pertama kalinya. Cinta? Benarkah ia merasakannya pada Luna, Pada gadis yang lebih satu bulan ia kenal? Haruskah ia berbohong lagi dan menampik rasa cinta remajanya pada Luna? Tidak! Perasaan itu melampui segalanya, bahkan sekarang kemana pun selalu ada bayangan Luna. “Kemarin Bapak lihat neng Luna pucet banget mukanya, pas Den Igo belum pulang. Kayaknya ada yang dipikirin, Den.” Kata sang supir kemudian saat berhenti dilampu merah. Pucet. Vigo menangkap pembicaraan supirnya itu dengan seksama. Apa maskudnya Luna pucet? “Maksud bapak, Luna mikirin Igo?” “Bapak nggak mau berasumsi lebih, den. Tapi, neng Luna sering sekali cemas nunggu aden pulang setiap malam. Seperti malam itu, sekitar pukul dua dini hari, neng Luna belum tidur pas bapak tanya, katanya lagi nunggu aden pulang.” Benarkah Luna sampai sebegitunya? Pantas saja ia sering melihat Luna tidur disofa setiap pagi, jadi Luna menunggunya setiap malam. Ah, ia semakin merasa bodoh dengan membuat cewek itu khawatir dan cemas. Dimana letak jiwa lelakinya yang malah bisa membuat cewek kebingungan. “Eng... begitu ya Pak.” Entah apa yang akan diucapkannya lagi, ia tak tahu harus berkata apa. Sekarang semuanya benar-benar sulit ia pikirkan. Ah, Luna! Saat Vigo masih sibuk dengan pikirannya tentang Luna, disaat yang bersamaan tapi dilain tempat. Angga tengah menikmati sarapannya bersama sang Papa. Omelet telur menu pagi itu, Papanya yang menyiapkan. Setiap pagi Papanya harus bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan keperluan Angga, seperti sarapan dan menyetrika seragam. Sengaja sang Papa tidak menyewa Asisten Rumah Tangga, karena dengan begitu sang papa bisa merawatnya. “Pa,” kata Angga kemudian sambil mengunyah makannya. “Selesaikan makanmu, nanti saja kalau mau bicara.” Ucap sang papa pelan, dengan nada yang lembut dan tenang. Seperti biasanya. “Tapi, hanya setiap sarapan kita bisa ngobrol. Sebentar lagi papa pergi ke Rumah sakit dan Angga sekolah, Angga pulang sore Papa malam.” Sang papa tersenyum simpul. “Ya sudah kamu mau ngomong apa?” Angga malah diam. Sepertinya ia sangat sulit untuk berbicara sesuatu yang sudah dipersiapkannya sejak tadi. “Kenapa Papa tidak menikah lagi?” pertanyaan Angga membuat sang papa diam. Bagaimana mungkin Angga bertanya sesuatu yang selama ini bahkan tak disinggungnya? Apa yang Angga pikirkan dengan menanyakan hal itu? “Kenapa memangnya, kamu mau papa terlalu sibuk dengan istri baru papa.” “Bukan, bukan seperti itu Pa. Hanya saja Angga ingin, Papa ada yang mengurus. Sejak kematian mama dua belas tahun lalu, Papa jadi single parent. Papa sibuk mengurusi semuanya sendiri, tanpa pembantu dan supir.” “Sudahlah, jangan bicarakan hal itu. Papa senang melakukan hal itu. Papa bisa melihat tumbuh kembangmu dengan pesat, melihatmu menjadi dewasa dan melihat melakukan banyak hal.” “Tapi, Pa?” “Ayo habiskan makananmu dulu. Setelah itu minum susumu, papa nggak mau lihat kamu kurus.” “Hah, kurus? Ah Papa, Angga kan udah gemukan nih lihat ototnya.” Dengan bangganya Angga mengangkat lengan kanannya keatas dan memamerkan bisepnya pada sang Papa, yang masih tumbuh otot remaja. “Iya deh papa percaya kalau kamu punya otot. Mau segede apa? Ade Rai?” Angga tersenyum mendengar omongan sang Papa. Kecerian itu yang selalu hadir dihidupnya, meski sang papa sibuk dengan tugasnya sebagai Dokter, tapi hal itu tak menyulitkannya untuk mengobrol meski hanya diwaktu sarapan. Kedekatan Angga dengan Papa selayaknya seperti seorang sahabat yang akrab, kadang curhat dan mengobrol sambil nonton televisi, adu game sambil main PS dan memiliki kebiasan unik yang sama. Ngorok. Papanya adalah pribadi yang sempurna. Laki-laki yang baik yang tak pernah punya salah. Persis, seperti yang pernah diucapkan seseorang padanya beberapa minggu lalu. Seorang cowok yang kerjanya mengajak bertengkar terus-menerus. Yang selalu diejeknya karena kesalahan masa lalu. Vigo, bagaimana mungkin ia lupa nama itu nama yang selalu terngiang diotaknya. Angga ingat bagaimana tingkah anak itu ketika SD, ketika anak-anak lain mengoloknya dengan mengatakan bahwa Vigo adalah anak dari seorang pembunuh. Hal itu terus berlanjut sampai SMA, bahkan yang ia lihat perangai Vigo pun berubah. Menjadi anak bandel yang suka sekali membuat onar. Tapi, kenakalannya itu tertutupi dengan banyak prestasi baik yang sudah diraihnya. Vigo sering sekali menjuarai berbagai lomba bidang atlet seperti sepak bola dan basket, bahkan permainan volinya membuat banyak pujian merembetnya. Hal itulah yang kadang membuat Angga cemburu, hingga berbagai cara ia lakukan untuk menjatuhkan nama baik Vigo, berita bohong ia sebar agar Vigo jatuh dan benar-benar jatuh, dan kini ia merasa diatas awang meski belum sepenuhnya. %%% Luna berjalan dilorong dengan wajah yang tertunduk. Tidak. Ia tak memikirkan apa pun, hanya saja tiba-tiba ada yang mengganggunya, sebuah kata-kata yang diingatnya dari gadis siluman itu bahwa dia harus pulang secepatnya jika tidak akan banyak hal yang terjadi nantinya. Dia tahu semuanya itu. Apalagi setelah Papa Vigo mengatakan banyak hal tentang siluman dan pemburu, dia semakin takut. Dia yakin selama ini dia diawasi seseorang yang entah dari mana, tapi suatu saat pasti orang itu akan menghancurkannya. Bahkan dia pikir itu bukan halusinasi atau ketakutannya semata, perasaan itu dirasanya sejak pertama kali bertemu Angga. Dunia manusia itu tidak aman. Kalimat itu yang diingatnya dari sang Ayah sebelum kematiannya. Manusia bisa lebih ganas dan menakutkan ketimbang siluman dan hewan. Kata-kata itu menjadi acuannya untuk terus berhati-hati. Dan lagi-lagi saat gadis siluman itu datang, ketakutannya kembali. Apakah dia akan berakhir tak baik ditangan manusia? Saat ingatan itu terus menundukkan wajahnya, sebuah tangan menepuk pundaknya pelan, yang membuat Luna langsung menengok. “Angga?” katanya pelan, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin percaya, jika cowok yang selama dua minggu ini mendiamkannya, tiba-tiba tersenyum manis didepannya. “Lun, gue minta maaf ya karena selama ini gue udah bersikap cuek sama loe.” Ucap Angga merasa bersalah. Ia sadar ia salah dengan menjauh Luna karena mengira Luna pacar Vigo. Ia tak enak saja jika harus dekat pacar musuh bebuyutannya. “Enggak, nggak apa-apa kok. Aku juga salah, Ngga.” “Tapi, apa beneran kamu pacarnya Vigo?” “Pacar? Nah itu yang kemarin aku tanya sama Mama. Tapi, aku nggak ada hubungan sama Vigo, aku ini...” Luna belum sempat melanjutkan kata-katanya, saat seseorang berteriak tepat didekat terlinganya. Vigo, membuat Luna hampir saja terkaget. “Lun, kok loe gak kekelas malah ngobrol sama si konyol ini.” Kata Vigo dengan mudahnya. Apalagi melihat wajah datar Angga, ia semakin ingin terus mengejeknya. “Itu Angga tanya, apa aku ini pacar kamu atau bukan. Ya aku jawab aja bukan.” “Bener gue emang bukan pacar Luna. Tapi, gue calon suaminya.” “Enggak. Bohong. Vigo.” Luna menyenggol lengan kiri Vigo. Tapi, tiba-tiba ia teringat sesuatu, ah permintaan keduanya semalam pada Vigo. “Vigo,” panggil Luna sambil nyengir, memperlihatkan rentetan gigi putihnya. Vigo paham dengan maksud cengiran itu, bahkan ia sudah menepok jidatnya. Cewek ini masih ingat saja dengan permintannya. Apa dia harus melakukan ini, ah mau ditaruh dimana mukanya? Tapi Vigo pasrah dan menarik nafas panjang. “Angga, kita bareng yuk. Kita kan satu kelas (plus kedipan mata dan monyongan bibir.)” Angga mengernyit sambil menarik alis kirinya ketas. Ada apa dengan Vigo? Tak seperti biasanya tingkah anak pendiam dan kaku itu, sekarang seakan ada suatu mantra atau ramuan yang salah sasaran dengannya, hingga membuat bertingkah aneh. “Apaan sih loe, Go? s***p loe ya. Aneh.” “Yaudah kalau gak mau aku duluan. Muach.”kata Vigo sambil berjalan dan melambai pada Angga yang masih mematung disana. Vigo menarik tangan Luna untuk ikut dengannya supaya jauh dari Angga. Ditinggal Vigo dan Luna begitu saja, Angga tak bergeming dari tempatnya berdiri. Apa dia ketinggalan sesuatu selama dua minggu ini antara mereka berdua? Atau itu hanya pikirannya saja, ah tidak mungkin semua pasti ada hubungan dengan mereka. Mereka memang seperti memiliki hubungan spesial, bukan hanya teman atau jangan-jangan mereka... “Weh, ngapain loe disini? ngelamun jorok loe ya? Masih pagi.” Rama mengganggunya dengan suara khas ceweret yang terkesan seperti cewek, ia memang selalu begitu. “Dasar jorok, pikiran loe m***m terus.” Angga kemudian berjalan nyelonong meninggalkan Rama sendiri. Sepertinya memang tidak bisa dipungkiri lagi, kalau Angga memiliki perasaan yang beda pada Luna. Perasaan yang muncul pada pandangan pertama saat dilorong dekat toilet, seakan bunga-bunga berguguran disana. Ah dia masih bisa membayangkan bagaimana polosnya saat Luna terjatuh diperpustakaan waktu itu, bagaimana tingkah lucu Luna saat bercerita tentang dirinya. Tapi, ada banyak hal yang mengusiknya sampai saat ini, siapa sebenarnya Luna? Dimana rumahnya? Berapa nomor ha-penya? apa akun IG, Twitter, Line, f*******:, Pad dan sosmed lainnya? Bodoh banget ia, sampai tak tahu semua itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD