12. Taruhan?

1699 Words
Dikuceknya kedua mata itu pelan dengan kedua tangannya, saat ia menyadari bahwa ia masih ditempat yang sama. UKS sekolah. Hampir setiap pelajaran MIPA ia pasti langsung berlari ke UKS dengan berbagai alasan, seperti sakit perut, meriang, dan sebagainya. Kadang para guru tahu kebohongan itu, tapi mau bagaimana lagi. Vigo tak akan mempan dengan marahan para guru yang baginya tidak akan berguna sedikit pun. Sama seperti kemarahan sang Mama yang hanya lewat saja, lalu pergi ketakutan karena sikap dingin Vigo. Tapi, ada satu hal yang mampu membuatnya mematuhinya, hal itu adalah Luna. Mengingat nama itu, ia menggidik jijik saat apa yang dilakukannya tadi pada Angga. Bagaiman mungkin ia bisa melakukan hal itu? Pasti saat itu ia sedang dirasuki roh setan alay yang centil. Tidak-tidak. Vigo membuang semua pikirian itu dan membangkitkan tubuhnya dari ranjang. Setengah satu siang, saat diliriknya jam yang menempel didinding. Istirahat ketiga akan segera dimulai, ia bergegas keluar dari sana. Saat seseorang menepuk pundaknya pelan. “Luar biasa, loe ngusutin lagi seprai yang udah gue tata,” ucap seorang gadis berambut pendek sebatas punggung atas, yang membuat Vigo menoleh. Gadis itu? Vigo tak mengenalnya, bahkan rasanya ini pertama kalinya ia melihatnya. Lalu apa arti kata lagi di kalimatnya tadi. “Lagi? Loe siapa ya?” “Astaga Vigo jangan sok gak kenal deh. Setiap seminggu duakali gue harus lihat orang yang sama yang ngusutin seprai ruangan ini.” “Ngusutin?” tanya Vigo lagi sambil melihat wajah cewek yang berbicara didepannya dengan seksama. “Loe Marfuah, kan?” “Marlin, Go.” “Nah itu maksud gue. Mana kacamata loe? Kepang dua loe, sama behel digigi?” “Vigo, gue pakai kacamata aja. Gak ada behel atau kepang dua segala.” “Oke-oke. Kok loe bisa berubah kayak gini, cantik, manis lagi.” “Seseorang yang merubah gue,” kata Marlin tersenyum. Ada yang sedang dipikirkannya. Sesuatu yang membuat si Marfuah cupu menjadi Marlin nya King Arthur. “Gue tahu, pasti cowok kan?” “Ah kepo lu, sana keluar dari UKS.” Ucap Marlin dengan tersenyum, sementara Vigo malas berucap. Ia pergi dari UKS dengan menguap sedikit. Ah, melegakan sekali sepertinya. Saat semua anak sibuk dengan memikirkan rumus yang berentetan tanpa putus seperti huruf tegak sambung, sedangkan ia malah tidur dengan nyenyak dikasur empuk di UKS. Ia masih berjalan menjauh dari UKS yang sedikit menepi diantara ruangan kelas lainnya. Dan, disana. Saat ia melewati lapangan sepak bola yang dulu setiap hari menjadi tempatnya melepaskan semua kegelisahan hati, kini hanya tinggal kenangan, sejak kejadian sore itu, ia tak mungkin lagi bermain sepakbola bersama teamnya dulu, karena ia telah dikeluarkan dengan sangat tidak hormat. Saat ia melihat dari luar lapangan sepak bola yang berpagar besi-besi kecil yang dibuat seperti jaring, ada seseorang yang tengah bermain bola sendiri. Laki-laki yang sangat dikenalnya, bahkan rasanya ia tak mungkin melupakannya sedikit. Laki-laki remaja itu telah menggantikannya menjadi seorang kapten tim, yang selalu dieluh-eluhkan teman-temannya. Vigo berjalan menuju Angga yang sedang bermain bola, ditatapnya Angga yang sepertinya belum sadar akan kehadirannya, tapi lama-kelamaan Angga tahu dan langsung melihat balik kearah Vigo. “Ngapain loe, mau main bola?” tanya Angga enteng. Bermain bola dengan mantan captein Garuda Raya sepertinya mengasyikkan. “Loe Cuma mau ngajak gue, atau ada taruhannya?” “Taruhan?” “Gak seru kalau Cuma main biasa aja. Soalnya kaki gue udah pegel-pegel lama gak main bola. Gimana setuju gak loe?” “Oke, gue setuju. Taruhan gue. Kalau gue menang, gue minta loe bebasin gue buat deket sama Luna. Kalau loe menang, gue keluar sebagai captein Garuda Raya.” “Biar kekanakan, gue terima. Gue mau kalau gue menang, loe gak usah banyak omong. Dan loe gak perlu keluar sebagai captein. Paham loe!” Angga mengangguk setuju. Dan... Pertandingan taruhan itu dimulai. Awalnya pada bagian permulaan Angga dengan gesit menguasai bola, ia dengan mudah melewati Vigo, tapi ternyata itu hanya taktik Vigo saja. Saat Angga hampir mencapai depan gawanya, dari arah samping kanan Vigo mengambil bola, memang kelihatannya mustahil bahkan Angga sampai tak melihat gerakan Vigo tadi, dan Vigo pun menguasai bola. Berlari menggiring bola dengan cepat, dan menendangnya jauh kegawang Angga. Ternyata tidak. Bola itu melesat dan menghantam tiang gawang, membuatnya terpental kelapangan lagi. Senyum sinis terlihat dibibir Angga, Vigo memang cepat dalam mengambil bola bahkan taktiknya tak bisa ditebak, tepat seperti dulu, tak terbantahkan lagi. Tapi, soal memasukkan bola kegawang sedikit payah. Makanya ia dulu dijadikan penyerang, lalu mengumpan kepada anggota timnya untuk memasukkan kegawang. Tapi, Angga harusnya salut dengan Vigo, meski tak main lagi skill yang dimiliki Vigo sama tak berubah sedikit pun, bahkan mengalami peningkatan. Maka dari itu teman-temannya tak salah memilih Vigo untuk menjadi ketua tim sepak bola, padahal sebelumnya Vigo hanya pemain baru dan dengan mudah menggantikan Chiko menjadi captein, setelah terjadi Insiden perebutan posisi captin antara Chiko dan Remon (Baca: Snow White dan Kutukan Cinta). Sayangnya ia tak pernah suka kalau Vigo mendapatkan posisi istimewa dimata semu orang, otak liciknya terus mencari cara agar Vigo dalam masalah, dan hasilnya sudah terlihat nyata. Saat Angga masih sibuk dengan pikirannya, Vigo menguasai bola dengan sigap. Dan tanpa perlawanan Vigo berhasil memasukkan bola kegawang, tepat ditengah jaring. Hal itu membuat Angga melongo tak percaya. “Gue menang. Mau main lagi?” kata Vigo terlihat puas. “Curang loe, gue belum siap tadi.” “Apa loe bilang, loe belum siap? Seandainya ini pertandingan sungguhan, dan pertandingan sudah dimulai, sementara loe melamun, apa pertandingan mau nungguin loe sampai selesai melamun?.” Ujar Vigo sambil mengambil bola. “Loe boleh nyingkirin gue dari Garuda Raya, buat orang-orang ngejauhi gue, tapi satu hal yang harus loe tahu suatu hari ada saatnya pelangi terbit dimalam hari.” Vigo memberikan bola itu kearah Angga yang terdiam. Kemudian ia berjalan pergi. *** “Dari mana aja loe?” tanya Rama saat Angga baru terlihat dikantin, padahal setengah jam sudah berlalu. “Gue habis main bola, sama Messi, CR7, Tsubasa, terus Hyuga.” Jawab Angga malas, sambil menyedot minuman milik Rama. “Yakin loe main sepakbola sama CR7? Terus menang apa kalah?” “Ya pasti kalah lah, b**o’ juga loe.” Angga kemudian terdiam, memikirkan kekalahan telaknya dari Vigo, ah kenapa bisa seperti itu, kenapa ia begitu ceroboh sampai dengan mudah dikalahkan Vigo. “Gue kalah taruhan sama Vigo.” Lanjutnya. Rama hampir tersedak, tak percaya. “Kalah taruhan gimana maksud loe?” “Salah gue juga sih, udah tahu kemampuan gue jauh dibawah Vigo. Eh gue malah taruhan kalau menang boleh deketin Luna.” “Pantesan aja loe kayaknya bener-bener kalah sama Captein Tsubasa. Lagian ngapain sih loe sampai kedekatan sama Luna? Atau jangan-jangan loe suka ya sama Luna?” Suka? Angga memikirkan hal itu, sepertinya apa yang dikatan Rama benar. Ia memang menyukai Luna, bahkan lebih dari itu, Luna seperti sudah menjadi bagian dari hidupnya, Luna memberikan apa pun yang sejak dulu tak pernah hadir dalam dunianya. Luna benar-benar memberikannya hidup yang nyata, yang dulu hanya tinggal abu. “Sepertinya iya, Ram.” Jawab Angga singkat, hal itu malah membuat Rama tersenyum sumringah, sambil berteriak.. “Yes! Akhirnya sahabat gue yang polos plus b**o ini jatuh cinta juga. Gue seneng banget Ngga. Ini perlu dirayain, bagus-bagus. Nanti gue bantuin buat PDKT.” “Apa sih loe, Ram. Ada yang masih gue pikirin nih, sebenarnya apa sih hubungan antara Vigo sama Luna, kok mereka deket banget?” “Loh loe belum tahu?” tanya Rama memastikan. Sementara Angga hanya menggeleng sesaat. “Luna kan adiknya Vigo sama Chaca.” Mendengar jawaban itu Angga langsung terdiam tak percaya. Apa Luna adik Vigo?! Itu seperti sebuah gempa bumi dahsyat yang tiba-tiba saja menelannya hingga tak mampu muncul kepermukaan. Bagaimana mungkin hal sepenting itu bisa tak ia tahu? Bahkan sampai ia memiliki perasaan itu pada Luna. Lalu apa yang harus ia lakukan setelang mengetahui ini semua? “Loe pasti bohong, kan? Gak mungkin Luna adiknya Vigo.” Angga terus memastikan apa yang dikatakan Rama itu salah, dan itu hanya kesalah pendengarannya saja. “Ngapain gue bohong. Masa loe gak lihat kedekatan mereka selama ini, dan loe juga udah bilang kan kalau Vigo sama Luna gak pacaran.” Benar! Memang benar apa yang dikatan Rama, semuanya bukan kebohongan, dan ternyata itulah alasan yang baru ia tahu tentang kedekatan Vigo dan Luna, jadi mereka saudaraan. Tidak! Bagaimana mungkin ia bisa jatuh cinta dengan anak dari seseorang yang telah membunuh ibunya? Rasanya seluruh tubuhnya bergetar hebat, bibirnya kelu tanpa ucapan, matanya berkaca-keca tak jelas. Ini benar-benar mimpi buruk, mimpi yang akan membuatnya hancur berantarkan tak berbekas. Melihat ekspresi kebingungan dari Angga, Rama sepertinya tahu. Bagaimana tidak? Ia yang selama bertahun-tahun ini bersamanya sejak kematian ibu Angga. Ia tahu bagaimana bencinya Angga dengan keluarga Tuan Aris, bahkan ia juga tahu bahwa dengan berbagai cara Angga mencoba membuang Vigo dari mata teman-temannya. “Ngga, gue tahu apa yang loe pikirin. Tapi, apa loe terus berusaha menyangkal semua ini? Pikirin Ngga.” “Enggak Ram, gue gak bisa suka sama anak dari orang yang udah bunuh ibu gue. Gue gak bisa. Gue akan berusaha jauhin dia dan bilang pada diri gue sendiri, bahwa gue gak cinta sama dia.” “Sampai kapan loe mau ngebohongin diri sendiri? Sampai kapan loe berusaha mengatakan terus apa yang sebenarnya gak loe tahu? Alasan loe buat ngebuang perasaan itu jauh-jauh gak rasional, hanya karena Luna anak dari Tuan Aris.” Kata Rama pelan. “Dengerin gue. Gue ini sahabat loe, gue tahu bagaimana sikap loe. Tapi, sekali ini saja dengerin gue. Kejadian dua belas tahun lalu, saat Tuan Aris dituduh membunuh ibumu, kenapa ia begitu santai menjawab dan mengatakan bahwa dia pembunuhnya. Loe denger juga kan bagaimana cara Vigo mengatakan bahwa pembunuhan itu atas dasar rasa kesolidaritas sebagai seorang sahabat. Selama ini apa yang dilakukan Vigo dengan perbuatan loe, dia diem aja. Sementara loe berusaha ngehancurin apa yang dia miliki dari teman-temannya. Bahkan dengan entengnya loe ngambil posisi captein sepakbola dari dia. Coba loe pikirin.” Mendengar omongan Rama yang begitu, membuat Angga diam dan dunia sekitarnya serasa hening. Ia serasa diambang keadaan antara bingung dan rasa gelisah tak menentu, semua ini seperti memang kesalahannya. Semuanya memang benar kata Rama, tak ada yang salah sedikitpun. Laki-laki yang dulu duduk kursi terdakwa begitu tenang menjawab semua pertanyaan hakim dan jaksa penuntut, ia tak sedikitpun beragumentasi untuk menyanggah, bahkan ia tak membawa pengacara saat itu. pikiran kecilnya terus saja memberontak menangis saat itu, tapi itu dulu. Sekarang seharusnya otak remajanya berpikir bahwa ia sudah sangat salah, dendamnya tak beralasan membuatnya diselimuti rasa benci. Ah, ia sangat sulit berpikir. Angga kemudian berlalu pergi dari hadapan Rama, keluar dari kantin dengan membawa rasa kebimbangan yang aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD