Setelah kepergian istrinya yang membuat luka cukup dalam, akhirnya Mestra pun memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, yaitu Daratan Qinyuan untuk kembali menjadi seorang prajurit. Setelah melarikan diri demi istrinya di satu-satunya negara yang bebas akan perserikatan. Akan tetapi, takdir berkata lain membuat Mestra mau tak mau membawa anaknya kembali ke sana.
Dengan berbekal makanan dan uang seadanya, Mestra menaiki salah satu kapal milik saudagar kaya yang hendak berlabuh di perairan China. Itu artinya, ia bisa dapat ke sana tanpa harus menunggu bertahun-tahun lagi.
Perjalanan ke sana dapat dilakukan dengan mudah, mungkin karena lelaki itu pergi bersama anaknya yang dikatakan memiliki keberuntungan cukup kuat. Namun, bukan berarti Mestra bernapas lega, ia malah menjadi sangat melindungi anaknya yang masih berusia satu minggu.
“Apakah itu anakmu?” tanya salah satu istri saudagar kaya itu sembari menatap anak lelakinya dengan tatapan kagum.
“Iya. Dia anakku,” jawab Mestra tersenyum tipis.
“Sangat tampan. Dimana ibunya?” Kali ini yang bertanya adalah seorang nenek tua.
“Ibunya sedang ada urusan,” jawab Mestra berusaha menyembunyikan kebenarannya.
Semua yang ada di sana tampak mengangguk, lalu sesekali tersenyum gemas melihat anak bayi lelaki kecil itu tertawa tanpa suara. Entah apa yang dilihatnya, tetapi cukup menghibur suasana di sana. Bahkan sang pemilik kapal pun tidak segan untuk memberikan Mestra beberapa perbekalan untuk dimakan ketika sampai di Perairan China.
Tidak terasa mereka menghabiskan malam-malam panjang di dalam kapal, akhirnya sampai juga. Mestra yang sudah kembali menapakki tanah kelahirannya pun tersenyum tipis, lalu menatap ke arah anaknya yang ikut tersenyum senang.
“Kau senang anakku?” tanya Mestra mencium dahi anak lelakinya gemas.
Namun, anak lelakinya hanya tertawa pelan membuat Mestra mau tak mau ikut tertawa. Kemudian, keduanya pun kembali melangkahkan kaki menuju pasar Pesisir Daratan Qinyuan yang tidak jauh dari pasar. Sebab, ia ingin membeli beberapa perlengkapan anaknya untuk menetap di sini.
Setelah selesai, lelaki tampan nan gagah itu langsung melangkah menuju Daratan Qinyuan tanpa henti. Meskipun sesekali ia berhenti di salah satu rumah penduduk untuk sekedar beristirahat semalaman. Sebelum kembali melangkah untuk beberapa hari ke depan.
Selama perjalanan, banyak sekali yang mengajumi anak lelakinya. Namun, pada saat menanyakan nama dari anaknya, Mestra malah terdiam. Karena sampai detik ini ia belum mencari nama yang pas untuk anak lelakinya. Mengingat ia masih berduka atas kepergian istrinya yang kembali ke negeri asalnya.
Sejujurnya, Mestra tahu kalau mereka berdua memang tidak akan pernah ditakdirkan bersama. Sebab, salah satu dari mereka memang harus ada yang berpisah, dan tidak boleh memaksa, lalu menyalahkan takdir. Namun, mengingat Mestra tidak akan menyerah, ia akan terus mencari cara untuk memperjuangkan istrinya lagi.
“Gu Seng Jun?” panggil seseorang dari arah belakang, membuat Mestra menghentikan langkahnya.
“Iya benar. Kau Gu Seng Jun, bukan?” tanya lelaki tampan itu lagi dengan tatapan tidak percaya.
Sejenak Mestra yang dipanggil dengan nama lamanya itu pun mengernyitkan keningnya bingung. Ia melihat lelaki di depannya sangat familier.
“Ini aku, Wang Jia’er!” seru lelaki itu tersenyum lebar.
Sontak Mestra mendengar orang yang satu-satu mengetahui nama asli dirinya itu pun langsung mendelik tidak percaya. “Jia’er? Ini benar kau?”
“Iya, ini aku,” jawab Wang Jia’er tertawa pelan, lalu memeluk Mestra singkat. Akan tetapi, pandangan lelaki itu terpaku pada punggung temannya. “Ini siapa Seng Jun?”
Mestra yang melihat Jia’er melihat anaknya pun tersenyum tipis, lalu menjawab, “Ini anakku.”
“Kau sudah menikah!?” seru Wang Jia’er tidak percaya,
“Sudah,” jawab Gu Sheng Jun singkat, kemudian kembali melangkahkan kakinya, membuat Wang Jia’er mengikuti lelaki itu.
“Oh, aku tahu! Aku pernah mendengar kau tiba-tiba keluar dari prajurit kekaisaran. Jadi, ini alasanmu keluar waktu itu? Tapi, aku tidak pernah dengar kalau kau menikah,” ucap Wang Jia’er sedikit bingung.
“Aku memang tidak pernah mengatakan pada siapapun, termasuk kedua orang tuaku.” Gu Sheng Jun tersenyum kecut. Entah apa yang akan dikatakan orang tuanya nanti kalau mengetahui dirinya sudah kembali dan membawakan cucu untuk mereka.
“Wah! Kau sangat hebat, Sheng Jun. Tidak pernah kembali, sekalinya kau kembali malah membawa seorang cucu. Aku yakin kalau kedua orang tuamu sangat bahagia. Apalagi selama ini aku dengar kalau mereka sudah mengembangkan bisnis di Pavilium Penglai.”
Gu Sheng Jun a.k.a Mestra tersenyum tipis. Ia tahu kalau mimpi kedua orang tuanya adalah memiliki sebuah Pavilium kerajaan untuk berbisnis. Kini mimpi mereka sudah terwujud, membuat Sheng Jun sedikit bahagia.
Kemudian, keduanya pun melangkah menuju Pavilium Penglai yang sangat digemari oleh Wang Jia’er. Bahkan dengan sangat antuasia lelaki itu mengarahkan langkah mereka berdua, meskipun diselingi beberapa obrolan ringan tentang dirinya yang menikah tanpa diketahui siapapun.
Tak lama kemudian, keduanya pun sampai di sebuah Pavilium bergaya elegan yang berwarna merah. Salah satu ciri khas warna dari Keluarga Gu yang menjadi anggota militer kaisar. Bahkan tidak sedikit dari keturunan mereka menjabat sebagai anggota militer dan prajurit besar.
“Ini Pavilium Penglai milik kedua orang tuamu,” ucap Wang Jia’er sembari menaiki tangga satu per satu, lalu menoleh ke arah Gu Sheng Jun. “Ayo, aku bawa kau menemui mereka.”
“Sepertinya, kau paham sekali dengan tempat ini,” sindir Gu Sheng Jun dengan nada menggoda, membuat Wang Jia’er tertawa pelan.
“Tentu saja! Aku adalah pelanggan tetap mereka. Karena aku datang ke sini hanya menunggumu, Sheng Jun. Seharusnya kau bersyukur mempunyai teman baik seperti aku,” balas Wang Jia’er mengibaskan rambut panjangnya ke belakang, membuat Gu Sheng Jun hanya menggeleng takjub.
“Aku pikir kau sedikit berubah, Jia’er. Tapi, sepertinya dugaanku salah. Kau masih tetap Jia’er yang sombong seperti dulu,” gumam Gu Sheng Jun yang masih terdengar di telinga lelaki itu.
“Aku mendengarnya, Lao Gu,” balas Wang Jia’er sinis.
Setelah itu, keduanya pun memasuki Pavilium Penglai yang terlihat sangat ramai. Banyak sekali para bangsawan kaya tengah menikmati makanan di sana sembari sesekali bersenda gurau dengan para wanita sewaan Keluarga Gu untuk menemani para pelanggan mereka.
Dari ini, Sheng Jun bisa melihat kalau bisnis kedua orang tuanya sukses besar sehingga bisa mempekerjakan banyak orang untuk menjadi pelayan. Meskipun ia sedikit khawatir kalau kedua orang tuanya itu malah kewalahan, karena ia yakin bisnis ini akan terus berjalan sampai larut malam.
“Orang tuamu pasti ada di atas. Ayo!” ajak Wang Jia’er bergegas menaiki anak tangga sembari sesekali menyapa para pelayan yang ada di sana.
Sedangkan Sheng Jun hanya mengikuti langkah lelaki itu tanpa menghiraukan tatapan penasaran dari pelayan yang ada di sana. Memang sangat tidak asing bagi orang yang belum pernah melihat dirinya. Karena ia cukup mencolok di tengah keramaian dengan tubuhnya yang tinggi dan gagah masih seperti seorang prajurit.
Kini langkah mereka berdua pun terhenti di sebuah pintu berwarna merah, Wang Jia’er terlihat mengkode lelaki yang ada di sampingnya untuk menarik napas pelan. Karena ini merupakan pertemuan pertama temannya dengan kedua orang tua. Ia yakin kalau lelaki gagah yang ada di sampingnya ini pasti sangat gugup, terlebih mereka memiliki cucu yang sangat tampan.
“Paman Gu, apa kau tahu siapa yang aku bawa?” tanya Wang Jia’er dengan gaya hebohnya, membuat sepasang suami istri yang ada di dalam terlihat terkejut.
“Anak bodoh ini! Apa kau tidak pernah bosan membuat Paman sakit jantung?” Lelaki dewasa dengan pakaian rapi berwarna merah itu pun terlihat memukul pelan pundak Wang Jia’er menggunakan kipas lipat yang ada di tangannya.
“Sakit, Paman Gu!” ringis Wang Jia’er, lalu tersenyum miring. Kemudian, mengkode Sheng Jun untuk keluar dari tempat persembunyian.