1. Kelahiran Darah Campuran
Di sebuah daratan yang tidak jauh dari pesisir pantai, terdapat seorang Dewi cantik nan anggun yang sedang melahirnya. Suara-suara penuh erangan dan penuh kesakitan itu terdengar begitu jelas dari dalam rumah. Sedangkan seorang lelaki yang tidak kalah tampannya terlihat sangat cemas sekaligus khawatir. Ia terlihat bergerak dengan penuh kegelisahan sembari menatap pintu rumah sederhananya yang masih tertutup rapat.
Namun, sebuah derai tangis seorang bayi terdengar begitu jelas sesaat erangan terakhir yang penuh kekuatan itu menjadi lemas tidak berdaya. Sontak lelaki tampan yang ada di teras rumah itu langsung tersenyum merekah. Ia masih tidak menyangka kalau mempunyai anak dari wanita yang amat dirinya cintai.
“Selamat ya, Mas. Anaknya laki-laki, dia sangat tampan seperti ayahnya,” ucap sang dukun bayi tersebut sembari menyerahkan balutan kain yang berisikan bayi tampan.
“Terima kasih, Daying,” balas lelaki itu tersenyum lebar, lalu matanya menoleh ke arah dalam rumah. “Bagaimana keadaan istri saya?”
Just infomation, Daying adalah sebuah sebutan dari lelaki dewasa kepada perempuan/wanita yang berusia lebih tua darinya. Tentu saja ini sangat berlaku bagi daratan Lampung pesisir pantai yang masih berpenduduk asli Suku Pepadun.
Sang dukun itu tersenyum tipis melihat raut wajah khawatir dari lelaki yang ada di hadapannya. “Baik-baik saja. Sekarang masih beristirahat.”
Setelah itu, dukun bayi yang sangat dikenal lelaki itu pun berpamitan untuk pergi. Meninggalkan keluarga kecil nan bahagia dengan menghadirkan seorang anak lelaki buah dari pernikahan mereka berdua.
Dengan raut wajah gembira sekaligus senang, lelaki itu pun melenggang masuk untuk menemui sang istri yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Akan tetapi, matanya masih tetap terbuka, lalu menoleh saat mendapati suaminya yang masuk ke dalam kamar.
“Bagaimana keadaanmu, Renisia?” tanya lelaki itu dengan raut wajah khawatir.
“Aku baik-baik saja, Mestra,” jawab Dewi Renisia tersenyum tipis, lalu melirik sebuah gendongan yang ada di tangan suami tercintanya. “Apakah itu anak kita?”
“Iya dia anak kita,” jawab Mestra tersenyum lebar dan menghampiri istrinya yang terlihat berusaha untuk mendudukkan diri sembari bersandar pada ranjang tidur.
Sejenak Dewi Renisia menatap wajah anaknya yang gemerlap penuh cahaya, seakan di dalam diri anak lelakinya itu ada sebuah kekuatan yang tidak terduga. Sebagai seorang ibu, tentu ia mengetahui dengan jelas apa yang akan terjadi di masa depan anaknya.
“Mestra, aku harap kamu menjaga anak kita dengan baik,” ucap Dewi Renisia menatap suaminya serius.
“Tentu saja aku akan menjaganya, Renisia. Karena ini adalah anak kita,” balas Mestra cepat tanpa melunturkan senyum bahagia.
Sedangkan Dewi Renisia hanya tersenyum sendu melihat betapa sayangnya Mestra pada anak pertama mereka berdua. Akan tetapi, ia langsung merasakan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi sebentar lagi. Sesuatu yang cukup sampai jantungnya berdetak hilang kendali. Ia takut kalau ini akan menyangkut dengan anak mereka berdua.
Tak lama kemudian, langit yang awalnya cerah mulai mendung dengan begitu gelap. Bahkan angin pantas yang biasanya tidak menderu begitu kencang, kini hampir saja menerbangkan sebuah yang ada di bawahnya. Seakan alam tengah marah pada penghuni pinggir pantai.
Terlihat sebuah pusaran langit menggulung dengan gelap, lalu keluarlah sebuah kereta kuda berwarna putih dicampur dengan sorak biru khas warna langit. Sangat menawah sekaligus mewah disaat yang bersamaan.
Kereta kuda itu tampak berhenti tepat di sebuah rumah gubuk kecil yang berada di pesisir pantai. Namun, gubuk itu tampak sangat sepi dari luar, membuat mereka tidak mengurungkan niatnya untuk masuk. Tanpa aba-aba sepasang suami-istri yang menawan itu terlihat menerobos masuk dengan menghancurkan pintu dari kayu cukup lapuk itu.
Sontak yang ada di dalam rumah pun langsung berlari keluar, terutama Mestra terlihat sangat terkejut. Bahkan kedua bola matanya hampir saja keluar. Ia terlihat tidak menyangka kalau sepasang suami-istri yang sangat membenci dirinya bisa datang ke gubuk kecilnya seperti ini.
Sedangkan Dewi Renisia yang sedang menidurkan anak pertamanya itu tampak sangat terusik akibat suara dentuman cukup keras dari luar. Ia yang merasa penasaran pun langsung meninggalkan anaknya di sebuah keranjang bayi di bawah tempat tidur.
Raut wajah keterkejutan itu tidak hanya dari Mestra, melainkan Dewi Renisia pun hampir melakukan yang sama. Akan tetapi, ia tahu kalau kekhawatirannya tadi adalah kejadian seperti ini. Bahkan ia sudah menduganya sedari dulu, setelah dirinya memutuskan untuk pergi dari negerinya sendiri.
“Apa kamu baru saja melahirkan anakmu?” tanya seorang lelaki gagah dengan suara beratnya. Ia terlihat sangat kecewa sekaligus bahagia setelah mengetahui dirinya mempunyai seorang cucu.
“Ayah, aku mohon jangan lukai anak kami,” jawab Dewi Renisia menggeleng keras. Ia tahu kalau orang tuanya memang tidak pernah mengizinkan dirinya untuk menikahi seorang manusia. Apalagi kalau sampai memiliki anak darinya.
Lelaki berjubah biru nan elegan itu tampak menatap anaknya tajam. Raut wajah kekecewaan tercetak jelas di sana, ditambah anak semata wayangnya malah lebih mencintai lelaki itu dibandingkan keluarganya sendiri.
“Bagaimana keadaanmu, anakku?” tanya seorang wanita berwajah lembut khas keibuan.
“Baik-baik saja, Ibu,” jawab Dewi Renisia menitikkan air matanya melihat wajah sang ibu. Ia memang paling tidak bisa melihat wajah ibunya, karena beliau adalah satu-satunya orang yang mendukungnya meraih cinta sejati. Tidak peduli apapun ras dan sukunya.
“Ibu senang mendengarmu baik-baik saja. Sebenarnya Ibu ingin sekali melihat wajah anakmu, tetapi Ibu takut kalau Ayahmu malah tidak menyukainya,” sesal Dewi Neox, ibunda dari Dewi Renisia.
Belum sempat Dewi Renisia membalas perkataan Dewi Neox, tiba-tiba seorang lelaki gagah nan tampan itu tampak maju selangkah. Sontak hal tersebut membuat semua orang yang ada di sana terkejut, terlebih Dewi Neox yang langsung menggeleng pelan. Mengisyaratkan suaminya untuk membiarkan keluarga kecil itu bahagia, meskipun ada secercah rasa kecewa di sana.
“Dewi Renisia, ingatlah tugasmu sebagai Dewi Bintang. Kau tidak bisa menyalahkan takdir dengan lelaki hina seperti dia!” kecam Dewa Neox marah sembari menatap Mestra berapi-api.
“Ayah!” sentak Dewi Renisia tidak terima atas perkataan ayahnya.
“Aku akan mengizinkan anakmu untuk tetap hidup, tapi sebagai gantinya kau harus kembali ke Alam Neox,” ucap Dewa Neox dengan nada rendah.
Dewi Renisia tentu saja langsung terkejut akibat dari pilihan ayahnya. Pilihan ini sangatlah berat. Kalau ia harus kembali, itu berarti dirinya tidak akan pernah bertemu dengan anaknya lagi. Akan tetapi, kalau dirinya tetap di sini, maka akan terus membahayakan keselamatan suami dan anaknya. Ia tidak mau kalau hal itu terus terjadi.
Sejenak Dewi Renisia menatap Mestra yang menggeleng gelas. Mengkode agar wanita itu tidak menyetujui ajakan kedua orang tuanya. Ia tidak bisa kalau harus merelakan istrinya pergi. Terlebih meninggalkan harus anak mereka.
“Baiklah. Aku akan ikut dengamu,” balas Dewi Renisia pelan. Ia tahu kalau dunianya akan berubah setelah ini.