Lima belas tahun kemudian, seorang bayi laki-laki yang dulu tidak mempunyai nama kini tumbuh menjadi anak laki-laki tampan bernama Gu Xuan Yi. Seorang anak laki-laki yang ramah dan sangat menyayangi kakek-neneknya.
Akan tetapi, di balik sifat ramahnya itu terkadang Gu Xuan Yi merasa kesepian dan sedikit merindukan sang ayah yang terasa sudah lama sekali tidak bertemu dengan dirinya. Walaupun begitu, Xuan Yi tetap menyayangi orang tua satu-satunya yang sudah menjaga dirinya sejak bayi.
Menjadi seorang anak yang lahir tanpa mengetahui ibunya sama sekali tidak membuat Xuan Yi membenci wanita itu. Sebab, ia sudah mengetahui keberadaan yang sebenarnya melalui sang kakek.
“Xuan Yi, sedang apa kau di sini?” tanya Kakek Gu mendapati Xuan Yi tengah berdiam diri di dekat tungku dengan api yang menyala mengikis kayu bakar untuk mematangkan makanan.
Sedangkan Nenek Gu yang menyadari suaminya masuk pun mendekat, lalu tersenyum lembut menatap cucu satu-satunya. Xuan Yi memang selalu seperti itu jika dalam keadaan suasana hati yang buruk. Ia lebih memilih berdiam diri daripada bertengkar.
“Aku merindukan Ayah, Kakek,” jawab Xuan Yi kecil tersenyum kecut.
Sejenak Kakek Gu merasa sangat bersalah pada cucunya yang sejak kecil tidak pernah mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua. Meskipun mereka sudah merawatnya dengan baik, tetapi tetap saja Xuan Yi kecil menginginkan kasih sayang orang tuanya secara langsung.
Namun, sedetik kemudian wajah cerah Xuan Yi kecil kembali terlihat saat mendengar suara gemuruh dari dalam panci yang sejak tadi ia tunggu dengan sabar. Tanpa pikir panjang anak laki-laki itu langsung membukanya, lalu tersenyum lebar melihat s**u hasil peras tadi sudah matang dan siap menjadi yogurt.
“Kakek, sudah matang. Apa kau mau?” tanya Xian Yi kecil mencicipi minuman hasil buatannya sendiri.
Kakek Gu pun menghambil sendok yang diberikan cucunya, lalu mengambil yogurt tersebut dari dalam panci. Sedangkan Xuan Yi kecil hanya memperhatikan dengan ekspresi penuh harap.
Sejenak Kakek Gu mengecap minuman tersebut dengan raut ekspresi cukup tidak meyakinkan. Karena beliau terkenal akan kemampuan memasaknya di atas rata-rata. Sehingga sering kali menjadi koki di istana ketika perjamuan tiba.
“Enak!” puji Kakek Gu tersenyum lebar.
Sontak hal tersebut membuat Xuan Yi kecil tersenyum senang, lalu mengangkat minuman tersebut untuk ia berikan pada teman baiknya.
“Apa kau ingin memberikannya pada Xiao Pingjing II?” tanya Kakek Gu penasaran melihat cucunya yang sibuk memasukan yogurt tersebut ke dalam wadah.
“Iya, Kakek. Tapi, Kakek jangan memanggilnya dengan Xiao Pingjing. Dia terlihat tidak suka kalau ada yang memanggilnya seakan-akan dia duplikat dari Paman Xiao,” jawab Xuan Yi kecil sedikit memberikan koreksi pada lelaki paruh baya itu.
Kakek Gu pun tertawa geli. “Ada-ada saja dia. Jelas duplikat dari Xiao Pingjing karena anaknya.”
“Aku juga tidak tahu, Kakek. Tapi, Pingjing selalu marah ketika mendengar orang-orang memanggilnya seperti itu,” balas Xuan Yi kecil dengan ekspresi polos.
“Dasar anak itu,” gumam Kakek Gu tersenyum geli.
“Ya sudah. Aku pergi dulu, Kakek!” pamit Xuan Yi kecil berlari keluar dari dapur meninggalkan kakeknya yang masih berada di sana. Tentu saja lelaki paruh baya itu hendak membereskan beberapa kekacauan yang dihasilkan oleh cucunya sendiri, Xuan Yi.
Menjadi seorang Tuan Muda Gu dari Pavilium Penglai Kekaisaran Mouyu membuat banyak sekali warga-warga sekitar yang mengenal dirinya. Apalagi para pedagang pasar yang sering kali melakukan transaksi bersama kakek dan neneknya.
Dengan membawa kotak kayu berisikan semangkuk yogurt, Xuan Yi pun kecil melangkah menyusuri pedesaan yang tidak jauh dari kediamannya. Tentu saja ditemani Chang Qi selaku penjaga dirinya agar terhindar dari banyak masalah.
Sebab, bisa dikatakan Xuan Yi kecil sangatlah ceroboh dalam melakukan hal apa pun. Bahkan ia bisa dikatakan tidak bisa memegang benda sama sekali, kecuali ingin menghilangkannya tanpa alasan.
“Chang Qi, apa kau dengar tadi kalau semua orang menyukaiku?” celetuk Xuan Yi kecil tertawa pelan.
“Tidak,” jawab Chang Qi menggeleng dengan ekspresi datar. Selalu sama dalam keadaan apa pun. Entah kenapa anak laki-laki itu terlihat sangat tenang dibandingkan anak-anak seusianya.
“Kau sangat membosankan, Chang Qi!” keluh Xian Yik kecil menekuk wajahnya kesal.
Sebenarnya Xuan Yi kecil juga tidak mengerti kenapa Kakek Gu begitu ingin mempekerjakan anak laki-laki itu untuk menjaga cucunya sekaligus melatih agar bisa menjadi penjaga yang tidak mudah terkalahkan.
Memang ketika disandingkan dengan Xuan Yi, Chang Qi jelas lebih berbakat dalam bidang bela diri. Bahkan anak laki-laki itu tanpa menyerah terus meminta Kakek Gu untuk mengajarkan lebih banyak gerakan.
Namun, lama kelamaan Chang Qi kecil pun menjadi besar. Bahkan ia lebih tua beberapa tahun dari Xuan Yi. Sehingga bisa dikatakan penjaganya lebih cepat lahir daripada anak laki-laki itu sendiri.
Tak lama kemudian, mereka berdua pun sampai di sebuah kediaman yang terlihat cukup mewah. Bahkan banyak sekali prajurit penjagaan yang berdiri di depan pintu. Mereka berdua tampak mengalihkan perhatiannya sejenak saat melihat kehadiran Xuan Yi dan Chang Qi.
“Tuan Muda Gu,” sapa mereka membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk dua anak laki-laki itu.
“Terima kasih,” balas Xuan Yi kecil tersenyum lebar sembari mengangkat kotak cukup besar tadi bersama Chang Qi.
Sesampainya di dalam, ia melihat banyak sekali dayang dan prajurit yang melintas ke sana kemari membuat perhatian dua laki-laki kecil itu mengitari sekeliling. Mereka berdua tampak menadapat perhatian dari salah satu penghuni kediaman Keluarga Xiao.
Lelaki paruh baya berjenggot putih dengan rambut sepunggung yang berwarna senada itu tampak mendekat sembari meletakkan kedua tangannya di belakang tubuh. Kemudian, tersenyum lebar melihat anak laki-laki yang sangat lelaki itu kenali.
“Gu Xuan Yi,” panggil Tetua Besar Xiao.
Sontak Xuan Yi kecil pun menoleh dan membungkuk hormat bersama Chang Qi yang lengkap dengan ekspresi datarnya. “Tetua Besar Xiao.”
“Apa Xuan Yi sedang mencari Xiao Pingjing?” tanya Tetua Besar Xiao mengelus jenggot panjangnya.
“Iya, benar, Shifu,” jawab Xuan Yi penuh hormat.
“Pingjing sedang berlatih panah di hutan Qintian,” ujar lelaki pria paruh baya itu dengan tenang sembari melirik ke arah kotak yang masih dipegang oleh Xuan Yi kecil dan Chang Qi.
“Baiklah. Xuan Yi akan ke sana untuk memberikan minuman menyegarkan ini,” putus Xuan Yi kecil tersenyum lebar.
“Pergilah,” titah Tetua Besar Xiao.
“Kalau begitu, Xuan Yi undur diri dulu,” pamit anak laki-laki ceria itu sembari membungkuk hormat dengan tangan membentuk huruf O, lalu membungkuk tubuhnya di depan lelaki paruh baya tersebut.
“Chang Qin undur diri,” timpal anak laki-laki penjaga Xuan Yi kecil membuat Tetua Besar Xiao tersenyum tipis.