Ryan membolakan matanya, sekujur tubuhnya menjadi gemetaran. ia tidak menyangka kalau apa yang selama ini hadir dalam mimpinya menjadi kenyataan. Dikuceknya matanya berulangkali, untuk meyakinkan dirinya, kalau apa yang ia lihat memanglah nyata.
Akan tetapi, sosok wajah wanita yang tadi terlihat menyibak gorden jendela sudah tidak tampak lagi. Ryan pun menutup mulutnya tidak kembali, tidak jad berteriak. Ia pun melanjutkan langkah kakinya menyusul Afif yang sudah berdiri di depan pintu rumah.
Dikeluarkannya kunci dari dalam saku celananya dan dimasukkan ke dalam lubang kunci. Ketika pintu dibuka mengeluarkan suara decitan yang nyaring dan tidak enak didengar. Engsel-engselnya, rupanya sudah berkarat dan perlu perawatan.
Baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, terdengar suara benda jatuh yang nyaring. Ryan dan Afif pun dengan cepat membalikan badan mereka untuk melihat suara apakah itu.
Pohon besar yang ada di halaman rumah lah yang terjatuh, membuat Afif dan Ryan menjadi keheranan, pasalnya pohon tersebut terlihat kokoh dan tidak lapuk sama sekali. Angin pun tidak berhembus dengan kencang yang dapat membuat pohon tersebut menjadi roboh.
Ryan mengangkat bahunya, tanda ia tidak mengerti, begitupun dengan Afif. Mereka lalu masuk ke dalam rumah yang tampaknya sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya tersebut. Sarang laba-laba dan debu, terlihat begitu banyak menghiasi bagian dalam rumah.
Keduanya, lalu melihat-lihat ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah tersebut. Rumah ini, memiliki dua lantai. Ryan dan Afif memeriksa lantai satu, dimana ada ruang tamu dan dapur, juga ada sebuah kamar tidur yang sudah lama tidak ditempati.
Ryan yang pergi ke dapur, untuk memeriksa kondisi. Dapur tersebut memiliki interior yang moderen dan sudah menggunakan gas sebagai alat untuk memasak. Ryan melihat kalau ternyata tabung gasnya kosong. Ia pun mencoba melihat apakah ada tabung gas cadangan.
Dilihatnya, memang ada tabung gas cadangan. Ia lalu memeriksa apakah ada isinya dan ternyata kosong juga. Ryan pun menjadi kecewa, karena ia dan Afif tidak membawa tabung gas.
Sementara itu, Afif memeriksa listrik yang ada di rumah itu, apakah masih berfungsi dengan baik. Ia menyalakan lampu yang ada di ruang tamu dan menyala, akan tetapi lampu itu kemudian berkerlap kelip, sebelum akhirnya mati.
Bohlam lampu tersebut putus, ruangan yang tadinya benderang karena cahaya lampu pun menjadi gelap kembali. Ryan berjalan ke arah Afif dan bertanya kenapa menjadi gelap? Afif pun menjelaskan bahwa bohlam lampunya putus.
Mereka berdua pun mengecek lagi, semua lampu yang ada di rumah tersebut, ternyata baik-baik saja. Hanya lampu di ruang depan saja yang putus.
“Sebaiknya, besok kita pergi ke perkampungan, untuk membeli gas dan juga keperluan lainnya. Aku sangat penasaran dengan rumah ini, karena rumah inilah yang kerap hadir dalam mimpiku.” kata Ryan.
“Tentu saja, sebaiknya kita catat terlebih dahulu apa saja yang harus kita beli, agar kita tidak perlu bolak-balik bepergian.” sahut Afif.
Keduanya kemudian menaiki lantai dua di mana di sepanjang tangga yang mereka naiki banyak berjejer potret penghuni rumah ini. Mereka dapat melihat ada potret dari generasi ke generasi.
Ryan berhenti di depan sebuah potret yang memajang wajah seorang gadis remaja dan pemuda di sebelahnya. Jantung Ryan, menjadi berdebar. Potret gadis remaja itu adalah potret wajah yang selalu hadir dalam mimpinya untuk meminta tolong.
Sementara di potret wajah di sebelahnya adalah wajah ayahnya. Ryan pun menjadi bertanya-tanya, ada hubungan apa ayahnya dengan keluarga ini?, mengapa potretnya berjejer diantara potret-potret ini yang sepertinya merupakan penghuni rumah ini.
Afif mendekati Ryan dan melihat apa yang menjadi perhatian dari sahabatnya itu, “Bukankan itu potret ayahmu?, apakah ayahmu anak dari penghuni rumah ini?” tanya Afif.
“Iya, itu memang ayahku, tetapi aku tidak mengetahui sama sekali, kalau ayahku dulunya pernah tinggal di rumah ini atau bagaimana, karena ayahku tidak pernah bercerita. Aku akan coba untuk bertanya kepadanya nanti.” sahut Ryan.
Mereka berdua pun melanjutkan langkah mereka lagi menaiki tangga menuju lantai dua. Ryan merasa, kalau mata-mata yang ada di dalam potret tersebut memperhatikan setiap langkahnya dengan tatapan yang tajam.
Sampai di lantai dua, Ryan memilih kamar yang ada di ujung lorong dan menghadap ke kebun belakang. Sementara Afif memilih kamar yang ada di seberangnya, menghadap halaman depan.
Masuk ke dalam kamar, Ryan melihat ada sebuah tempat tidur tunggal dengan seprai yang sepertinya berdebu. Diletakkannya ransel yang ada di pundaknya ke atas lantai. Ryan lalu memakai masker penutup wajah dan membersihkan kamar yang akan di tempatinya.
Beberapa jam kemudian, kamar tersebut pun sudah bersih dan siap untuk ditempati. Ryan mengambil ranselnya dari lantai dan mengeluarkan handuk juga pakaian bersih. Kamar yang dipilih oleh Ryan memiliki kamar mandi sendiri dan ia tidak memeriksa, milik siapakah kamar ini dahulunya.
Apakah kamar ini dulunya ditempati oleh kepala keluarga rumah ini?, ataukah anak dari sang pemilik rumah ini. Ryan lebih memilih untuk membersihkan badannya yang terasa lengket karena keringat dan debu.
Ia berjalan menuju kamar mandi dan membuka pintunya. Sama seperti pintu depan tadi, pintu kamar mandi pun menimbulkan bunyi berderit yang terdengar menyeramkan. Ryan seolah mendengar suara-suara orang yang sedang bertengkar, tetapi ia lebih memilih untuk terus masuk ke dalam kamar mandi tersebut.
Masuk ke dalam kamar mandi yang tidak terlalu besar dan hanya memiliki sebuah bak mandi yang berfungsi untuk menampung air saja. Ryan menyalakan keran air dan untungnya air mengalir dengan deras.
Akan tetapi, bersama dengan air yang mengalir tersebut, keluar juga banyak belatung dari keran tersebut. Ryan bergidik geli melihatnya, karena dalam jumlah yang sangat banyak. Ia bahkan merasakan ada yang menggeliat di kakinya.
Ia pun mengarahkan pandangan ke kakinya dan ternyata, ada banyak belatung dan cacing yang mengerubungi kakinya. Ryan segera saja berlari ke luar dari dalam kamar mandi, sambil menghentakkan kakinya dengan harapan cacing dan belatung yang menempel di kakinya berjatuhan.
Ia berjalan ke luar dari kamarnya dan menuju kamar Afif. Diketuknya pintu kamar temannya itu, Afif yang baru saja selesai mandi pun membuka pintu kamarnya dengan cepat dan dilihatnya Ryan yang tampak geli dan takut.
“Kenapa, Ryan?, kamu terlihat takut seperti itu.” tanya Afif.
“Bagaimana aku tidak taku, ketika aku mandi, tidak hanya air saja yang ke luar, tetapi juga belatung. Bahkan ada cacing di dalam kamar mandi ku. Aku ikut menumpang mandi di sini saja.” kata Ryan.
Afif pun mempersilakan kepada Ryan untuk mandi, sementara ia akan ke depan untuk mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil.
Ryan pun masuk ke dalam kamar mandi dan tidak ada ditemuinya belatung dan cacing, seperti yang tadi ada di kamar mandinya.
Selesai mandi dan berganti pakaian bersih, Ryan pun turun menyusul Afif yang sudah terlebih dahulu turun mengeluarkan barang-barang mereka dari mobil. Saat melewati deretan potret tersebut. bulu kuduk Ryan berdiri.
Lampu yang menerangi sepanjang tangga, tiba-tiba saja mati dan ia merasakan adanya hembusan napas ketika melewati potret gadis remaja di samping potret ayahnya. Ia sudah hampir berlari, karena merasa takut. Namun, lampu tadinya mati itupun menyala kembali.
Ryan hanya mempercepat jalannya saja menuruni tangga. Keringat dingin bercucuran membasahi kaos yang dikenakannya. Sesampainya di dasar tangga, dengan setengah berlari Ryan ke luar dari dalam rumah.
Langit yang tadinya terang benderang, kini sudah berubah menjadi gelap. Samar-samar, Ryan melihat bayangan sahabatnya Afif yang sedang mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam bagasi dan meletakkannya ke atas tanah.
Dari kejauhan, Ryan dapat melihat ada seorang pria yang terlihat tinggi besar dan berpakaian serba hitam. Orang itu, terlihat begitu menyeramkan di mata Ryan. Ia pun berlari menghampiri Afif yang untungnya sudah selesai menurunkan barang mereka dari dalam bagasi.
“Afifi, cepat! Kita harus segera masuk ke dalam rumah, ada seorang pria yang terlihat menyeramkan berjalan ke arah kita.” kata Ryan, sambil meraih barang-barang yang bisa dibawanya. Ia lalu bergegas kembali ke dalam rumah dan diikuti Afif yang juga berjalan dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Begitu keduanya sudah masuk ke dalam rumah, Ryan dengan cepat menutup pintu lalu menguncinya. Napasnya memburu, karena tegang menantikan apa yang akan dilakukan oleh pria yang tadi dilihatnya.
Hanya kegelapan yang ada, karena bohlam lampu yang putus belumlah sempat diganti. Ryan mencoba mencari sesuatu yang bisa digunakannya sebagai senjata, kalau-kalau pria yang berada di luar rumah, merupakan orang yang jahat.
Menggunakan sinar flash ponsel miliknya, Ryan melihat ada sebuah tongkat yang ada di dekat pintu di samping Afif berdiri. Ryan memberi kode kepada Afif untuk mengambil tongkat tersebut.
Sementara itu, keduanya dapat mendengar suara langkah kaki yang berjalan semakin mendekat ke arah pintu rumah. Ryan dan Afif saling pandang, dengan d**a yang berdebar kencang, keduanya menunggu gerakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh pria tersebut.
Ryan dan Afif hampir saja melompat dari tempat mereka berdiri, ketika terdengar suara pintu yang diketuk dengan keras dan berulangkali. Kemudian, keduanya saling berpandangan, bertanya tanpa kata. Apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
Terdengar suara berat dan nyaring yang memerintahkan kepada keduanya untuk membukakan pintu. Ryan menggelengkan kepala, ke arah Afif. Ia lalu berbisik, “Bagaimana, kalau oang itu seorang psikopat yang telah membunuh penghuni rumah ini?, kita tidak tahu siapa orang itu sesungguhnya.”
Afif pun menyetujui apa yang dikatakan oleh Ryan. Keduanya pun membiarkan saja, pria itu terus menerus berteriak minta dibukakan pintu.
“Jikalau kalian tidak mau membukakan pintu ini, maka aku akan mendobraknya dengan paksa atau dengan cara apapun untuk bisa masuk. Aku penjaga perkebunan ini dan kalian sudah masuk dengan sembarangan rumah majikan ku.” Teriak pria tersebut dengan emosi.
Keduanya kemudian mendengar suara langkah kaki yang berjalan menjauh dari depan pintu. Keduanya pun menunggu selama beberapa saat, sampai langkah kaki pria tersebut tidak terdengar lagi.
Ryan kemudian mengajak kepada Afif untuk mengangkat sofa yang berat ke depan pintu untuk menyusahkan pria tersebut masuk. Setelahnya keduanya pun naik ke atas lantai dua, menuju kamar mereka masing-masing.
Ryan membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalamnya, sambil memperhatikan lantai kamar, apakah masih ada ceceran dari cacing dan belatung. Namun. ia tidak menemukannya. Ryan pun berjalan menuju kamar mandi, di sana ia tidak menemukannya juga.
Ryan pun menarik napas lega, baru saja ia akan berbalik ke luar dari dalam kamar mandi, ketika ia mencium bau anyir darah. Ryan membalikkan badannya kembali bak air yang sudah berubah warna menjadi merah darah.
Dengan cepat Ryan ke luar dari dalam kamar mandi, lalu menutup pintunya dengan rapat. Tepat ketika Ryan membalikkan badannya, ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Seruan terkejut pun terlontar dari mulut Ryan.
Pria yang tadi dilihatnya ada di luar rumah, kini berdiri tepat di belakangnya. Ryan pun melompat mundur, tidak ada sesuatu oun yang bisa dijadikannya senjata.
“Aku sudah memperingatkan kepada kalian kalau aku akan masuk! ke dalam rumah ini” kata pria itu.
“Apakah kau hantu?, tetapi mengapa kakimu tadi menginjak tanah dan bukannya melayang, atau kau ini sebenarnya adalah seorang psikopat dan berniat menghabisi nyawaku dan sahabatku?, sama seperti yang pernah kau lakukan kepada penghuni rumah ini sebelumnya.” tuduh Ryan.
Afif yang mendengar suara berisik di kamar Ryan pun masuk ke dalam kamar temannya itu dan ia menjadi terkejut, melihat ada seorang pria yang berpakaian serba hitam di dalam kamar Ryan.
“Dasar kau anak muda yang tidak punya etika. Apakah kau tahu, sudah memasuki rumah pribadi dan akulah penjaga rumah juga perkebunan ini.” kata pria itu.
“Kalau memang benar kau adalah penjaga di rumah ini, apa yang terjadi dengan penghuni rumah ini?, mengapa tidak terlihat satu pun pemilik rumah ini?” tanya Ryan lagi.
“Mereka semua sudah meninggal dunia dan aku mendapatkan perintah untuk menjaga rumah ini, sampai nanti akan datang seorang remaja laki-laki sebagai pewaris dari rumah ini.” sahut pria itu. 'Dan, aku tidak percaya remaja laki-laki itu adalah kau!"
Afif berjalan mendekat ke arah Ryan dan berkata, “Sahabatku inilah orang yang dimaksud oleh majikan mu. ia mendapatkan surat untuk datang ke sini dan mengklaim rumah warisan miliknya ini.”
“Aku tidak percaya, sebelum kau memperlihatkan surat yang menyatakan apa yang kau katakan dan aku melihat apakah surat itu memang benar tulisan tangan dari majikan ku, ataukah hanyalah kebohongan mu saja.” kata pria itu.
Ryan pun berjalan untuk mengambil surat tersebut, yang tersimpan di dalam ranselnya. Ia kemudian memperlihatkannya kepada pria tersebut, tetapi tidak mengijinkan pria itu untuk memegangnya, karena bisa saja pria itu akan merobeknya.
“Ini memang benar tulisan tangan dari majikan ku. Berarti memang kaulah yang menjadi ahli waris atas rumah ini.” kata pria itu, sambil membalikkan badannya ke luar dari dalam kamar Ryan.
“Tunggu!” seru Ryan. “Bagaimana caranya kau masuk ke dalam kamar ini yang ada di lantai dua?” tanya Ryan dengan penasaran.
“Kau bodoh dan ceroboh. Pintu depan kau kunci dengan rapat, tetapi jendela kamar kau biarkan terbuka, tentu saja aku masuk lewat sana. Jangan kau menduga yang tidak-tidak. Aku tidak terbang atau melayang, aku masuk ke dalam kamar ini melalui balkon kamar, di sana ada tangga yang mengarah ke kamar ini." terang pria tersebut.
“Aku tidak tinggal di rumah ini, tetapi aku memiliki pondok tersendiri yang letaknya di belakang rumah ini.” tambahnya lagi, sebelum ia akhirnya ke luar dari kamar Ryan dan menghilang di telan kegelapan malam.