Bagian 7. Berdua Denganmu

1505 Words
Setelah menikmati makan siang, aku diantar Mas Kusuma menghadap kepala sekolah. Sebenarnya hati terdalamku masih ingin mengabdikan ilmu di dunia pendidikan ini. Akan tetapi, setelah statusku berubah menjadi seorang istri, maka titah suami adalah sebuah keharusan untuk dipatuhi selama tidak bertentangan dengan norma agama. “Bu Anin, sudah menikah?” tanya kepala sekolah ketika kusampaikan alasan pengunduran diri. “Sudah, Pak,” jawabku singkat. "Kapan? Kenapa gak ngundang?” “Mmm.” Aku menoleh pada Mas Kusuma yang tadi berkeras untuk ikut menghadap. “Nanti ketika resepsi Insya Allah kita undang, Pak,” timpalnya. “O ….” Kepala sekolah mengangguk-angguk kecil. “Kami masih sangat membutuhkan tenaga Bu Anin. Apalagi prestasi Ibu cukup baik dengan mengantar siswa kita menang olimpiade sains tahun ini. Profesionalisme dan kompetensi Ibu tidak diragukan lagi,” tutur beliau menanggapi pengunduran diriku. “Kapan saja Bu Anin berubah pikiran, kami akan senang menerima Ibu kembali,” lanjutnya. “Terima kasih, Pak,” ucapku sebelum meninggalkan ruangan itu. “Sama-sama. Pak Ilham pasti sangat terluka dan patah hati mendengar berita pernikahan Bu Anin ini,” sahutnya sambil terkekeh menggoda. Aku menganjur napas, lalu melirik pada raut Mas Kusuma yang tetiba menjadi datar. Selanjutnya kami meninggalkan ruangan kepala sekolah dalam diam. Perasaanku seketika menjadi tidak nyaman. Semoga hanya perasaanku saja. Melintasi ruang guru, seorang lelaki muda berpakaian seragam warna kaki berdiri sembari menatap kami dengan intens. “Dia Ilham? Pacar kamu?” Setiba di parkiran, Mas Kusuma menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa. “Bukan.” Aku menggeleng. “Kamu menyukainya?” “Tidak!” Kembali aku menggeleng. “Dia menyukaimu?” Kali ini, meski ragu, aku mengangguk. Entah mengapa rasanya seperti disidang saja. Aku sedikit takut. Padahal apa salahku? “Dia pernah bilang bahwa dia menyukaimu?” "Iya." Aku kembali mengangguk. "Dan bilang bahwa dia menginginkan kamu?" "Iya." Lagi-lagi aku mengangguk. “Kenapa menolak?” “Aku ... memintanya datang saja melamar jika memang serius," jawabku sedikit terbata. Laki-laki itu mengembuskan napas kasar setelah mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil, menatap kosong ke depan dengan cahaya amarah pada matanya. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya, merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi sangat tidak nyaman. “Nurin … dulu juga satu kantor dengan orang yang menyukainya,” ucapnya dingin sembari mengalihkan pandangan padaku, menatap beberapa lama lalu kembali mengembuskan napas kasar. “Ah, sudahlah. Ayo!” Dia menegakkan badan, lalu membuka pintu, memintaku masuk, kemudian dia sendiri segera mengambil posisi di belakang kemudi. Mobil melaju membelah kota Pontianak, menyusuri jalan yang tidak pernah sepi. Kontras dengan suasana di antara kami saat ini. Sepi. Seolah yang ada hanya sendiri. “Mas, gak balik kerja lagi?” tanyaku mencoba memecah hening. “Enggak,” jawabnya singkat. Aku menganjur napas. Sedikit kesal kenapa laki-laki ini selalu pelit. Senyum pelit, bicara pun pelit. “Kita mau kemana?” tanyaku ketika menyadari mobil melaju bukan menuju jalan pulang. Dia menoleh, lalu menatapku sambil tersenyum lembut. Mata elangnya tiba-tiba menjadi teduh. Aku mengernyit, merasa bingung dengan ekspresinya yang benar-benar tidak terduga. “Saya ingin berdua denganmu sebentar,” sahutnya. Lalu kembali fokus pada mobil. Berdua? Kami suami istri, bahkan di rumah pun selalu berdua di kamar. Berdua bagaimana lagi yang dia maksud? Ia mengarahkan mobil menjauhi pusat kota, meninggalkan tol Landak, lalu memasuki arah Siantan. Mobil dapat melaju lebih cepat karena jalanan masih ramai lancar, belum terjadi kemacetan. Biasanya pada jam pulang kerja, sekitar pukul tiga sore, akan terjadi kemacetan luar biasa di tol Landak. Sekarang baru mendekati pukul tiga, jadi masih aman untuk berkendara dengan lancar. Aku mengamati setiap jengkal jalan yang dilewati dengan diam. Entah kemana dia akan membawa. Setelah melewati Siantan, terminal Batu Layang, mobil tetap melaju. Kini yang kutahu kami memasuki daerah Jungkat. Senyumku terkembang ketika ia mengarahkan mobil pada pintu masuk suatu kawasan wisata. “Kita ke Jungkat Beach?” Aku bertanya spontan dengan ekspresi penuh kegirangan. Seperti anak kecil yang diberi oleh-oleh es krim ketika orang tuanya pulang dari berbelanja. “Kamu suka?” Dia menatapku sambil menuntai senyum khasnya. Aku mengangguk semringah tanpa malu-malu. Aku senang tempat ini. Aku menyukai pantai. Selama ini, mengunjungi Jungkat Beach hanya sebatas ingin. Janji bersama teman-teman selalu gagal karena jadwal yang tidak cocok. Dia memarkirkan mobil pada tempat yang telah disediakan. Aku segera turun tanpa perlu menunggu dia membukakan pintu. Tidak sabar menjejakkan kaki pada pasir putih, merasakan semilir angin, dan kaki yang basah tersapu deburan ombak. “Kita numpang shalat dulu di sana.” Dia meraih tanganku, membawa menuju resort yang ada di area pantai. Aku mengangguk. Waktu ashar memang telah masuk sejak tadi. “Sudah pernah ke sini?” tanyanya sambil menggandeng tanganku menyusuri pantai setelah kami selesai shalat. “Belum,” jawabku sambil melepaskan pandangan pada keindahan yang membentang. Menikmati laut biru di bawah hamparan langit biru. “Duduk di bawah pohon itu,” ajaknya sambil menggandeng pinggangku. Aku menurut. Pohon itu memang terlihat sebagai spot yang bagus untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan di sini. Ia mengajakku duduk dalam jarak yang rapat. Membiarkanku menghidu aroma maskulinnya. Kemudian tangannya melingkar lagi di pinggangku. Matanya menatap lurus pada langit biru yang mulai membias cahaya jingga. Saat ini wajahnya terlihat begitu lembut menyejukkan. Ditambah senyum khasnya yang tak pernah habis. Sesekali aku mencuri pandang padanya. “Ada yang ingin kamu tanyakan?” Dia menatapku. “Hmm?” balasku tak mengerti. “Pasti banyak yang kamu ingin tahu tentang saya,” jelasnya. Matanya tetap memaku mataku. Rasanya aku menggigil mendapat tatapan semacam itu darinya. Bukan karena tatapan itu dingin. Tapi … begitu menggetarkan hingga ke relung hati. Aku seakan sulit bernapas. Alih-alih bertanya semua hal yang membuat penasaran selama ini tentangnya, aku malah diam. “Selamat ulang tahun, ratu duniaku, bidadari surgaku.” Dia mengusap pucuk kepalaku lembut, mengulangi ucapan yang tadi pagi telah ia sampaikan. Aku tersenyum kemudian mengangguk. Sementara organ tubuh yang ada di dalam d**a riuh menggema. “Terima kasih.” Kembali hanya kata itu yang dapat kuucap. Kali ini dia yang mengangguk dengan senyum pelit khas yang masih setia. Terasa ia mengeratkan lingkaran tangannya di pinggangku. Membuat kami semakin rapat, kemudian aku sibuk dengan d**a yang bergemuruh. “Jika kamu tidak ingin bertanya, saya yang akan bertanya,” ucapnya setelah beberapa saat kami hanya diam, membiarkan ombak yang memecah sunyi bersama deburannya. “Apa?” balasku. Aku memberanikan diri menjatuhkan kepala pada bahunya. “Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?” Aku kembali menegakkan kepala, menatapnya dengan kening mengernyit. “Karena saya merasa telah memaksamu menikah, tanpa kompromi,” jelasnya tanpa perlu kuminta apa maksud dari pertanyaannya itu. “Saya takut kamu akan menolak kalau harus bertanya dulu apakah mau menikah dengan saya.” Aku menyimak setiap kalimat yang dia ucapkan. “Saya menyukaimu sejak lama. Sejak pertama kali melihatmu di sekolah saat harus menggantikan Anggara melatih paskibra.” Aku mengernyitkan kening, mencoba mengingat waktu kejadian yang dia sebutkan. “Kamu tidak ingat? Iyalah, itu bukan sesuatu yang spesial untukmu. Tapi bagi saya sangat spesial. Tidak pernah bisa pupus saat pertama melihat pipimu yang menggemaskan ini,” lanjutnya sambil mencubit gemas, tapi cukup keras pada pipiku. Cukup sakit, tapi aku bahagia melihat ekspresinya. Dia bisa lepas dari zona senyum pelit khas itu. Kali ini senyum itu lepas menguntai tawa. “Terus?” Aku memintanya melanjutkan cerita. “Terus saya mencari tahu tentangmu. Memintamu memberi privat pada Nadin juga rencana yang saya rekayasa. Memintamu datang setiap hari saat sore di mana jam saya pulang kerja. Semua itu agar bisa melihatmu. Karena kamu itu ngangenin.” “Curang!” Aku pura-pura sebel. Padahal sebenarnya diri ini merasa bagai di awang-awang. Begitu tersanjung dengan cinta yang dia berikan. “Jadi apa kamu bahagia?” Dia kembali pada pertanyaan awalnya. “Atau ada ganjalan di hatimu, karena ada seseorang di masa lalu?” Dia menatapku lekat. Mungkin sedang mencari kejujuran pada jawaban yang akan kuberikan. Atau dia teringat pada Ilham? “Tergantung,” jawabku. “Tergantung?” “Apa Mas akan membuatku bahagia?” Dia masih menatapku lekat. “Bagaimana cara membuatmu bahagia?” tanyanya kemudian. Ia memalingkan pandangan dariku. Menatap kosong ke laut lepas. “Anin. Saya pernah kecewa. Kekecewaan yang membuat saya sulit membedakan antara cinta dan hasrat memiliki. Saya mencintaimu dan ingin memilikimu seutuhnya. Mengertilah! Saya akan menghujanimu dengan begitu banyak cinta, dan kamu juga harus melakukan hal yang sama.” Dia kembali menatapku lekat. “Bisa?” tanyanya masih dengan tatapan yang dalam. Membuatku sedikit gugup. “Insya Allah. Mas ajari aku,” balasku. Dia tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya kembali mengeratkan lingkaran tangannya. Kemudian kami kompak menatap pada cahaya langit yang mulai meredup. Menyisakan larik-larik jingga yang memantul pada permukaan laut, memendarkan cahaya keemasan. indah! Seindah hati yang kini merasa teramat dicintai, dan juga mencintai. “Mas,” panggilku sambil menjatuhkan kembali kepala dipundaknya. “Hmm?” “Mba Nurin ….” “Jangan membicarakan orang lain dulu. Saya hanya ingin saat ini yang ada hanya tentang kita.” Dia mengurai lingkaran tangannya sejenak. Kemudian mengajakku mengambil beberapa moment terindah sore itu melalui tangkapan kameranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD