Bagian 1. Arogan
“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”
“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”
***
Dia melamarku!
Laki-laki arogan itu melamarku dengan cara yang arogan. Sialnya aku menerima. Tepatnya tidak bisa menolak.
“Bu guru, besok Nadin merayakan ulang tahun di sekolah. Bu guru temenin, ya,” pinta gadis mungil usia lima tahun itu.
“Di sekolah? Pagi berarti, ya?” tanyaku.
Ya, iya lah pagi. Anak TK sekolahnya, ya, pagi.
“Iya,” jawabnya.
“Kalau pagi, gak bisa, Sayang. Bu guru kalau pagi ngajar di sekolah, Bu guru,” balasku meminta pengertian. Dia adalah siswa bimbingan les privatku.
“Terus Nadin sama siapa, dong, besok? Ayah gak bisa nemenin.” Anak ini mulai menangis. Aku mulai kelabakan mencari cara membujuknya.
Aku cuma guru les. Seharusnya hanya bertugas mengajarinya calistung. Namun, aku selalu dilibatkan dalam setiap pelik masalah rumah tangga ini.
Nadin seorang anak dari tentara yang setiap waktunya tidak bisa diprediksi. Lima menit menentukan, begitulah ucapannya yang sering aku dengar. Dia tidak bisa memastikan apakah akan punya waktu untuk anaknya besok, karena meskipun sedang libur, jika tiba-tiba ada panggilan dari atasan harus segera dipenuhi. Istri pertamanya adalah senjata. Perintah atasan harus dijalankan tanpa membantah.
Sudah satu tahun aku membimbing anak ini, jadi sedikit tahu seluk beluk keluarganya. Ibunya memutuskan pergi dan menikah lagi. Kenapa mereka bercerai, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Laki-laki itu sangat menyayangi putrinya. Ini adalah satu-satunya hal positif yang aku tangkap darinya. Selebihnya, yang kutahu dia laki-laki paling menyebalkan karena sikap arogan dan pengatur. Apapun akan diberikan untuk Nadin. Jika dia mengatakan tidak bisa pada gadis kecil itu, berarti memang tidak bisa. Bukan sekedar alasan.
“Nadin masuk dulu, ya. Sama Eyang di dalam. Ayah mau bicara sama Bu guru.” Tiba-tiba lelaki yang baru saja kupikirkan itu telah berdiri di dekat kami.
Gadis kecil yang sebenarnya sangat menggemaskan itu berlalu dengan air mata mengurai di pipi.
“Bisa 'kan, besok temani anak saya ulang tahun di sekolahnya?” tanyanya to the point, dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Sorot mata tajam dan dingin. Tidak terukir satu senyum pun di bibirnya. Tidak ada raut yang menggambarkan bahwa dia sedang meminta tolong. Yang ada justru aku menangkap dia sedang memerintahku.
Dasar arogan!
Aku menghela napas. Kesal. Dia memang arogan. Apa pun keinginannya harus dituruti. Seolah aku ini bawahannya. Padahal aku adalah guru anaknya. Yang seharusnya dia hormati. Bukan diperintah seenaknya.
Untung saja honor yang dia berikan lebih besar dari orang tua siswa lain. Jika tidak, aku enggan menerima Nadin sebagai bimbinganku. Aku mata duitan, ya? Ya, iya lah. Karena aku sedang bekerja, bukan sedang beramal atau menjadi sukarelawan.
“Gak bisa, Pak. Kalau pagi saya mengajar,” sahutku sambil menahan diri agar tidak terpancing emosi oleh sikap arogannya.
“Hanya satu hari, apa tidak bisa ijin?” Seharusnya itu susunan kalimat tanya, tapi dia lontarkan dengan nada memerintah supaya aku ijin.
“Gak bisa seenaknya ijin, Pak. Kecuali hal darurat dan penting.”
“Kamu pikir anak saya tidak penting?” Aku tersentak. Masyaa Allah. Suaranya pelan, tapi terdengar dalam menekan. Ada nada marah atau tersinggung di dalamnya.
“Bu .. bukan be ... gi ... tu, Pak.”
Nah, kan? Aku menjadi gugup, takut, dan seperti terhipnotis untuk tunduk padanya. Begitu takut ia marah, padahal dia siapa? Seharusnya dia menghormatiku. Guru anaknya. Meskipun Cuma guru les.
“Alasannya akan kurang kuat, Pak. Saya dan Nadin tidak ada hubungan apapun kecuali guru dan murid. Orang akan memandang, tidak ada kepentingan saya untuk menemaninya merayakan ulang tahun di sekolah dan meninggalkan tanggung jawab,” terangku. Semoga dia mengerti.
“Kalau begitu bolos saja. Tidak usah ijin!” titahnya.
Gila!
“Saya bisa dipecat nanti, Pak,” timpalku cepat.
“Ya, sudah! Berenti saja sekalian!” Dia emosi. Kenapa jadi dia yang emosi? Harusnya aku!
“Pak, pekerjaan itu penting untuk saya. Tidak mudah mencari tempat kosong untuk guru honor seperti saya,” tukasku kesal. Seenaknya dia bicara. Aku mendengkus kasar. Kalau dia mau memberiku makan, it's okay. Honor dari anaknya privat, mana cukup untuk hidup sebulan.
“Sepenting apa?” tanyanya datar. Dingin menusuk. Melihat ekspresinya membuatku emosi dan terus mengumpat, “Dasar manusia arogan!”
“Sepenting hidup saya yang butuh makan,” sahutku asal.
“Hanya masalah makan? Saya akan memberimu makan. Besok temani anak saya,” ucapnya memerintah.
What?
Dasar manusia arogan!
Sombong!
Angkuh!
Pengatur!
Napasku serasa ngos-ngosan menahan kesal dan emosi. Bisa-bisanya dia merendahkanku seperti itu. Memberiku makan? Walaupun sebelumnya aku bilang it’ s okay kalau dia mau memberiku makan, tetapi bukan berarti itu harus jadi kenyataan.
Astagfirullah ....
“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”
“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”
“Hah?”
“Jika orang tuamu tidak bisa datang, yakinkan mereka agar mau mengalihkan hak wali kepada pihak hakim. Ini hanya peresmian agar saya berhak memintamu menemani Nadin besok. Setelah malam ini, kita akan menikah lagi nanti. Saat itu, baru membawa orang tuamu.”
Aku melongo. Ini apa, sih? Dia ingin menikahiku, tetapi tidak melamarku sebagaimana harusnya orang-orang melamar.
“Will you marry me?”
“Mau kah kamu menikah denganku?”
Jadi melamar itu ada tahap menanyakan kesediaan. Kemudian ada tahap menanti jawaban. Sedangkan dia? Tidak ada pertanyaan bersedia atau tidak. Tidak ada kesepakatan.
Semua sepihak darinya. Secara sepihak dia bilang akan jadi suamiku, tidak bertanya kesediaanku apakah mau menjadi istrinya. Secara sepihak melarangku memberitahu orang tuaku. Secara sepihak pula menentukan pernikahan malam ini.
“Aku antar pulang ke kos. Ambil semua barangmu.”
Aku terdiam. Masih kesal, kaget, bingung, marah, dan entah apa lagi perasaan yang ada di dalam hati. Yang jelas aku tidak habis pikir. Benakku belum bisa mencerna.
“Ayo!” titahnya yang telah berdiri dan membawa kunci mobil. Seperti terhipnotis, aku menurut mengikuti langkahnya, masuk ke dalam mobil ketika ia membukakan pintu, menyebutkan alamat ketika ia bertanya di mana kosku.
Aku Anindyaswari. Seperti nama orang Jawa, tetapi Melayu tulen Kalimantan Barat. Satu tahun lalu menyelesaikan pendidikan S-1 di kota Khatulistiwa ini. Dengan alasan pekerjaan, aku memutuskan tetap tinggal di kota ini dan menunda pulang ke kampung halaman.
Barangkali, takdir akan membuatku tetap tinggal di sini selamanya.