“Sudah bangun?” Dia tersenyum tipis. Berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala. Matanya menatapku intens. Aku yang baru saja terjaga, mengerjapkan mata, mengumpulkan potongan informasi yang kubawa sebelum tidur.
“Mas?” panggilku.
Segera kuingat bahwa sekarang telah menikah. Ia masih tersenyum tipis. Barangkali pipinya yang kokoh itu kaku untuk menarik garis lengkung yang lebih lebar pada bibirnya. Sehingga senyum itu hanya sedikit sekali menggurat bibir. Akan tetapi, meskipun hanya sedikit dan tipis, senyum itu begitu menawan.
“Mandilah, sebentar lagi azan. Kita shalat subuh!” titahnya. Dia sendiri telah rapi dengan baju koko dan sarung. Entah pukul berapa dia bangun dan mandi. Aroma maskulin menyeruak dari tubuhnya. Merasuk ke dalam indera penciumanku. Aku tiba-tiba sangat menyukai aroma yang baru kuhidu ini. Ketika ia turut bersama udara yang dihirup, serasa ada sesuatu yang menenangkan dalam jiwa, membuatku ingin berlama-lama di dekatnya.
“Hum.” Meskipun sebenarnya masih enggan, aku segera beringsut turun dari ranjang. Mengambil handuk dan baju ganti kemudian masuk ke kamar mandi.
Setelah azan berkumandang, dia mengimami shalatku. Suaranya lembut melantunkan ayat-ayat cinta-Nya. Hilang semua kesan arogan yang biasa dia tunjukkan. Hatiku terasa sejuk. Keraguan menikah dengannya perlahan memudar. Aku yakin dia akan menjadi imam yang baik.
Setelah shalat, aku mencium punggung tangannya takzim. Dia membalas dengan mengusak kepalaku. Membuatku merasa amat disayangi. Apakah dia benar-benar menyayangiku? Entahlah! Namun, tadi malam mengapa dia memintaku setia? Tatapan matanya saat bangun tidur tadi mengapa begitu intens?
Dia segera bangkit, merapikan sajadah dan perlengkapan shalat lainnya. Setelah itu keluar kamar tanpa suara. Meninggalkanku yang masih bingung dengan rumah ini. Kali ini aku sedikit merutuk dalam hati pada sikapnya. Mengapa dia tidak mengajakku keluar bersama? Berjalan beriringan layaknya pengantin baru. Sekedar menunjukkan bagian-bagian rumah yang bagiku masih asing? Selama ini aku memang sering ke sini, tapi itu hanya sebatas tahu ruang tamu sebagai tempat belajar Nadin dan toilet jika kadang aku kebelet.
Aku segera merapikan mukena serta sajadah dan meletakkannya pada gantungan. Setelah itu menyusulnya keluar. Ternyata dia menuju kamar putrinya. Dari depan pintu yang terbuka, aku melihat dia dengan lembut membujuk Nadin agar segera bangun. Hatiku terharu menyaksikan bagaimana sikapnya memperlakukan gadis kecil itu.
“Semoga demikian pula dia akan memperlakukanku,” bisik hatiku.
Aku segera meninggalkannya dan melangkah menuju dapur.
“Ibu,” sapaku pada perempuan paruh baya yang telah sibuk di sana.
“Eh, Nak Anin,” sahutnya.
“Masak, Bu?” tanyaku tidak enak karena bangun lebih lambat darinya.
“Ndak, Nak. Ini hanya masak air untuk mandinya Nadin,” sahutnya.
“Oh.” Aku bergumam sambil terus celingak celinguk. Bingung harus berbuat apa.
“Biasa sarapan apa, Bu?” Aku inisiatif bertanya. Dari pada bengong terus sementara hari semakin siang.
“Biar saya siapkan,” lanjutku.
“Ibu ndak pernah masak. Kerjaan ibu di rumah ini cuma nemani Nadin saja,” sahutnya.
“Biasanya Kusuma masak sendiri nasi goreng atau apa saja yang dia ingin. Atau sesuai permintaan Nadin. Kalau ibu, secangkir kopi sudah cukup,” lanjutnya sambil tersenyum lembut.
“Karena itu, ibu sangat berterima kasih, Nak Anin mau menikah dengan putra ibu. Agar bisa membantu mengurus segala keperluannya.” Perempuan lebih dari paruh baya itu membelai pundakku.
“Sarapan kue tadi malam saja. Hari ini saya harus berangkat lebih pagi. Saya juga harus antar kalian ke sekolah dulu, takut telat.” Tiba-tiba lelaki gagah itu sudah berdiri di belakang, membuatku nyaris terlonjak karena kaget. Nadin menggelayut manja di gendongannya. Melingkarkan tangan pada leher laki-laki itu.
“Nadin katanya minta dimandikan sama mamanya,” lanjutnya sambil menatapku lekat. Aku mengangguk sambil mengulurkan tangan bermaksud menggendong Nadin.
“Siapkan dulu airnya,” ucapnya. Kembali aku hanya mengangguk, menjadi salah tingkah. Duh, kikuk sekali rasanya. Aku segera membawa air panas yang telah direbus ibu mertua ke kamar mandi. Kamar Nadin tidak mempunyai kamar mandi di dalam. Jadi, dia mandi di kamar mandi belakang. Rumah ini belum mempunya heat water sehingga harus merebus air secara manual untuk mandi.
Nadin begitu ceria aku mandikan. Hubunganku dengannya selama ini cukup baik. Dia selalu bersikap manja. Karena itu, dia sangat senang ketika mengetahui aku akan menjadi mama untuknya. Selama ini, Nadin diasuh ibu mertuaku. Bapak mertua sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
“Bu guru akan jadi mamaku selamanya, ‘kan?” tanya di sela-sela kusabuni.
“Tentu saja,” jawabku sambil tersenyum.
“Janji ya, Bu guru?”
“Kalau mau dijadikan mama Nadin, kenapa masih panggil Bu guru?”
“Oh, iya. Jadi panggil Mama, ya?”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Biasanya siapa yang mandiin Nadin?”
“Ayah.”
Suamiku memperkerjakan ART hanya paruh waktu saja. Mulai pukul 07.00 wib hingga pukul 17.00 wib. Jadi, kegiatan persiapan menuju sekolah dan kantor masih diurusi olehnya.
Setelah selesai memandikan Nadin dan mengenakannya pakaian, anak itu segera kubawa ke meja makan untuk sarapan. Di atas meja terlihat s**u untuk Nadin telah tersedia. Begitu pula kopi untuk Ibu. Dia juga telah menyeruput teh hangat. Pada kursi dan meja yang kosong di sampingnya, juga terlihat satu gelas teh hangat.
“Sarapan dulu, setelah itu baru bersiap,” ucapnya padaku. Aku menggangguk. Entahlah, setiap mendengar ucapannya, aku seperti terhipnotis dan selalu menurut. Setelah membantu Nadin duduk, aku pun duduk pada kursi yang terdapat teh hangat di mejanya, bergabung untuk sarapan bersama. Mulai menyeruput teh dan mencomot kue. Belum pukul enam, sebenarnya sarapan ini terlalu pagi untukku. Mungkin karena dia sedang ada kegiatan, jadi sarapan sepagi ini.
“Tehnya pas? Saya tidak tahu kamu suka manis atau enggak?” tanya sambil menatapku dengan mata elangnya.
Oh, jadi dia yang membuat teh ini?
“Pas, kok. Aku memang kurang suka terlalu manis,” balasku. Dia menarik sedikit sudut bibirnya kemudian melanjutkan kunyahan.
“Ah … kalau terlalu manis yang itu aku suka banget,” jerit hatiku nakal. Relung kalbu kembali bergetar. Senyumnya yang sedikit itu, mengapa demikian manis?
Setelah selesai sarapan, aku segera pamit untuk bersiap.
“Nadin sama Eyang, Mama ganti baju, ya,” pintaku pada bocah itu. Dia tersenyum semringah. Aku segera melangkah menuju kamar.
“Ayah juga harus ganti baju,” ucapnya pada gadis mungil itu, kemudian berjalan mensejajari langkahku. Tangannya tiba-tiba melingkari pinggang, membuat napas serasa tersendat. Refleks aku mendongak, menatap wajahnya. Namun, ia hanya memandang lurus ke depan.
Di kamar, aku segera mengambil gamis hitam polos dengan rompi rajut berwarna krem. Kemudian melangkah ke kamar mandi untuk mengganti pakaian di sana. Namun, langkahku tertahan ketika tanpa sungkan dia membuka baju koko dan sarung di depanku dan hanya mengenakan celana sport pendek warna hitam. Tubuhnya yang terbuka menunjukkan lekuk-lekuk otot d**a dan perut yang six pack. Kulitnya terlihat sedikit coklat.
Seumur-umur, pagi ini pertama kali aku melihat seorang laki-laki dengan penampilan seperti itu. Terus terang, bagiku dia sangat seksi dan sebagai perempuan normal, seketika dadaku berdebar. Mengingat tadi malam, ia memilih melewatkan malam pertama kami.
“Aku akan menjaga kehormatanmu, hingga nikah kantor kita selesai,” ucapnya.
“Saat nikah kantor nanti, segelmu akan diperiksa. Aku tidak mau orang-orang mengira kamu murahan karena telah rusak segelnya,” jelasnya. Hal itu tak pelak membuat satu titik hitam di hatiku memekat.
PDL loreng itu gagah membalut tubuhnya. Ditambah baret hijau yang melintang di kepala, semakin menambah pesona kegagahannya.
“Belum ganti?” Suaranya lantang bertanya sehingga membuatku geragapan. Keningnya mengernyit mendapatiku yang sedang menatapnya. Penuh malu, aku begegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Kemudian bergegas keluar kembali untuk memoles wajah dengan make up sekedarnya. Mengaplikasikan foundation, menambahkan bedak, serta membubuhkan sedikit pewarna pada bibir.
Sekarang, giliran dia yang menatap setiap gerak gerikku dan semua itu tak pelak membuatku salah tingkah. Aku berusaha tenang dan selesai secepat mungkin.
Terakhir adalah jilbab. Aku memilih jilbab segi empat berwarna krem. Sebelumnya kukenakan ciput agar tidak bergeser.
“Sini, saya bantu,” tawarnya ketika melihatku agak kesulitan memasangkan jarum pentul. Sebenarnya memasang jarum pentul itu perkara mudah. Namun, menjadi sulit karena terus diawasi olehnya.
“Kamu tidak punya jilbab instan?” tanyanya. Aku menggeleng. Aku memang lebih suka mengoleksi jilbab segi empat. Entah mengapa merasa lebih pede saja dengan model itu.
“Lain kali kita beli, bisa digunakan kalau harus cepat seperti ini,” ucapnya sembari meraih jarum pentul dari tanganku. Menyatukan sambungan tepi jilbab di bawah dagu, kemudian menyematkan jarum itu di sana. Jarak kami sangat dekat. Hangat napasnya terasa menyapu pipi. Aroma tubuhnya kembali memenuhi rongga penciumanku. Relung hatiku lagi-lagi berdesir halus. Semakin lama desir itu semakin menyebar ke seluruh d**a. Aku menarik napas perlahan, menetralkan debaran yang terasa semakin kentara.
“Sudah!” Ia merapikan jilbabku kemudian tersenyum.
“Cantik,” lanjutnya tetap membingkai wajahku. Membuat pipi terasa hangat.