Catatan Harian Seorang Penulis

1629 Words
Aku tidak terlahir sebagai penulis hebat. Saat SMP saja ketika kelas III, mengarang adalah salah satu keahlianku. Bahasa Indonesiaku sangat baik, 8.80 adalah nilai Bahasa Indonesia dan sewaltu SMA masih sedikit kupertahankan. Nyatanya juga saat kuliah Bahasa Indonesiaku nilainya juga bagus. Berbekal kemampuanku untuk memaksakan diri menulis, itu tidak mudah.Perlu sekitar 3 tahun aku bergelut dengan teori -teori jurrnalistik. Dan sesungguhnya, musuh utama diriku adalah malas. Mungkin lain soal, kalau idiologi menulis itu menjadi sarana perjuangan membela rakyat, nelayan, petani , buruh yang nasibnya masih terus terpinggirkan. Idealisme itu hanya ada di dunia mahasiswa. Saat aku kerja sebagai wartawan di Jogja Pos, aku hanya seorang reporter biasa dan buruh kuli tinta biasa. Masa magang 75 ribu dan sebulan 150000 di Jogja hanya membuatku bertahan 3 bulan. Lepas itu aku harus kuliah lagi walau dengan nilai pas-pasan. Lepas jadi kontributor sebuah majalah, ada sebuah majalah Islam di Ibukota memanggil pada tahun 2005. Saat itulah, seluruh atribut mulai ditanggalkan. AKU lebih suka menyebutnya masa "sterilisasi" dan pengendapan nafsu untuk berpolitik. Tantangan yang tidak ringan, harus dihadapi begitu rupa saat menginjak pertama kalinya di Jakarta, penuh pernak-pernik dan perjuangan. Menjadi Wartawan Pekerjaan wartawan bukanlah sebuah pekerjaan yang jatuh dari langit. Pernyataan ini menggambarkan bahwa proses pembentukan menjadi wartawan tidaklah tunggal dan monolitik. Memang terdapat sejumlah wartawan yang kehadirannya bak Superman atau Gatotkaca. Mereka berputar-putar di atas dan bertengger di mana pun tempat yang disuka. Mereka bisa melakukan itu karena privilege tertentu, seperti faktor darah biru, patronase politik maupun kepemilikan sumber kapital yang besar. Namun tidak sedikit pula, kemunculan seorang wartawan melalui jalan panjang berliku dan penuh tantangan yang tidak semua orang bisa melewatinya dengan selamat. Ia tidak bisa diproses dengan mantra simsalabim, melainkan melalui perjuangan dan pengkaderan yang cukup lama. Kalau pun ada wartawan yang lahir dari proses-proses pendek, nafas untuk menjadi wartawan yang sejati juga tidak terlalu lama, akan bernafas pendek pula. Wartawan yang sejati adalah seseorang yang berdiri sendiri, sekali pun proses kebesarannya pasti ditopang oleh faktor dominan di belakangnya yang saling kait-mengkait, apakah itu institusi keluarga, lingkungan, pendidikan, maupun ikatan organisasi dan kepentingan. Proses perkembangan seorang wartawan sejati pastilah dinamis, tidak statis. Dengan sikap ini maka sesungguhnya menjaga keberlangsungan eksistensinya. Menjadi wartawan harus banyak membaca teks-teks buku, siap bertransaksi ide dan gagasan dengan diskusi, memproduksi ide dan gagasan melalui artikulasi nalar kritis, lalu merefleksikannya dalam bentuk tindakan, berupa tulisan atau laporan-laporan. Karya tulis atau laporan-laporan terulis itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban pribadi yang harus ia penuhi secara kontan, apakah itu kepada perusahaan media maupun publik. Kalau tuntutan “public” atau amanah khalayak ini tidak terpenuhi, maka berarti ia siap tidak diberi kepercayaan pada masa berikutnya. Oleh karena itu seluruh susunan tubuh seorang wartawan harus dapat bekerja 24 jam lebih: hati, otak, kepala, tangan, dan kaki harus mampu digerakan untuk melayani kepentingan publik. Betapa pun rumit dan kompleksnya seorang wartawan, maka posisinya tidak bisa dianggap remeh. Seorang wartawan adalah pemanggul sejarah amanah-amanah public (khalayak). Dibutuhkan keberanian, kesungguhan, dedikasi dan loyalitas tinggi untuk mempertahankan dan memperjuangkan cita-cita yang diembannya. Resiko dan bahaya mengiringi setiap tindakan yang diambil, kecermatan berhitung dengan resiko menjadi seni tersendiri untuk tetap survive. Medan seperti inilah yang harus dihadapi oleh seorang wartawan, analisis yang tajam, informasi yang akurat, ketrampilan berartikulasi dan agresi menjadi prasyarat seorang wartawan bila ingin tetap bertahan di media. Lapangan bekerja di media semacam inilah yang harus dilewati para wartawan. Tantangan dan kenyataan di lapangan yang sedemikian rumit harus diselesaikan dalam waktu yang cepat. Seorang wartawan harus memainkan sekian banyak kepentingan, yang sering kali kepentingan itu bukan saja sekedar berbeda, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Namun, kepentingan public adalah di atas segala-galanya. Ia menjadi tujuan utama, tak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk kepentingan individu. Tidak semua orang bisa siap dengan profesi yang rentan dengan kritik semacam itu. Jika mereka sukses, orang akan berkata bahwa itu memang tugasnya. Begitu gagal, segudang caci maki dan sumpah serapah akan melayang. Hidup dalam dunia semacam itu tentu tidak mudah dan tidak semua orang berani mengambil pilihan hidup di dalamnya. Menjadi wartawan yang sejati dimulai dari proses “mendidik diri” secara mandiri, profesional dan penuh integritas. Kalau mau jadi orang kaya, jangan bekerja untuk melayani pemodal. Tapi layanilah diri sendiri. Olahlah sumber daya alam yang terkandung di perut bumi Nusantara. Engkau bisa tanam apa saja dan engkau olah menjadi sesuatu yang berguna. “Asalkan engkau bekerja keras dan tabah menghadapi kenyataan, maka engkau akan “PANEN” seperti yang kau kerjakan.” Ikhtiar, tidak pernah memghianati hasil. Bismika 'a'udzubika minal bukhli wal kasali..(Duh Gusti , jauhkan hamba dari sifat bebeh dan malas). Hari-hari ke depan masih sama, Rumus mengabdi untuk ke-umat-an selalu menjadi prioritas dalam hidup. Prinsip mengabdi dan melayani akan kepentingan-kepentingan orang banyak selalu menjadi rutintas. Semua itu hanyalah "sarana" untuk menunaikan tugas suci kemanusiaan seperti apa yang "dititahkan" Tuhan dan Rasulullah SAW. Maka ketika menulis jadi sebuah jalan, tinggal ikhtiar, ikhtiar saja yang perlu dilakukan berbareng doa. Bismillahi Tawakaltu 'alallohi La hawla Wala Quwwata illa Billahy...(**) AKU tidak terlahir sebagai penulis hebat. Saat SMP saja ketika kelas III, mengarang adalah salah satu keahlianku. Bahasa Indonesiaku sangat baik, 8.80 adalah nilai Bahasa Indonesia dan sewaktu SMA masih sedikit kupertahankan. Nyatanya juga saat kuliah Bahasa Indonesiaku nilainya juga bagus. Berbekal kemampuanku untuk memaksakan diri menulis, itu tidak mudah. Perlu sekitar 3 tahun aku bergelut dengan teori-teori jurrnalistik. Sesungguhnya, musuh utama diriku adalah malas. Mungkin lain soal, kalau idiologi menulis itu menjadi sarana petjuangan mbela rakyat, nelayan, petani, buruh yang nasibnya masih terus terpinggirkan. Idealisme itu hanya ada di dunia mahasiswa. Saat aku kerja sebagai wartawan di Jogja Pos, aku hanya seorang reporter dan buruh kuli tinta biasa. Masa magang dengan honor Rp75 ribu dan sebulan Rp150.000 di Jogja hanya membuatku bertahan 3 bulan. Lepas itu aku harus kuliah lagi walau dengan nilai pas-pasan. Lepas jadi kontributor sebuah majalah, ada sebuah majalah Islam di Ibukota memanggil pada 2005. Saat itulah, seluruh atribut mulai ditanggalkan. Aku lebih suka menyebutnya masa “sterilisasi” dan pengendapan nafsu untuk berpolitik. Tantangan yang tidak ringan, harus dihadapi begitu rupa saat menginjak pertama kalinya di Jakarta, penuh pernak-pernik dan perjuangan. Menjadi Wartawan Pekerjaan wartawan bukanlah sebuah pekerjaan yang jatuh dari langit. Pernyataan ini menggambarkan bahwa proses pembentukan menjadi wartawan tidaklah tunggal dan monolitik. Memang terdapat sejumlah wartawan yang kehadirannya bak Superman atau Gatotkaca. Mereka berputar-putar di atas dan bertengger di mana pun tempat yang disuka. Mereka bisa melakukan itu karena privilege tertentu, seperti faktor darah biru, patronase politik maupun kepemilikan sumber kapital yang besar. Namun tidak sedikit pula, kemunculan seorang wartawan melalui jalan panjang berliku dan penuh tantangan yang tidak semua orang bisa melewatinya dengan selamat. Ia tidak bisa diproses dengan mantra simsalabim, melainkan melalui perjuangan dan pengkaderan yang cukup lama. Kalau pun ada wartawan yang lahir dari proses-proses pendek, nafas untuk menjadi wartawan yang sejati juga tidak terlalu lama, akan bernafas pendek pula. Wartawan yang sejati adalah seseorang yang berdiri sendiri. Sekali pun proses kebesarannya pasti ditopang faktor dominan di belakangnya yang saling kait-mengkait. Apakah itu institusi keluarga, lingkungan, pendidikan, maupun ikatan organisasi dan kepentingan. Proses perkembangan seorang wartawan sejati pastilah dinamis, tidak statis. Dengan sikap ini maka sesungguhnya menjaga keberlangsungan eksistensinya. Menjadi wartawan harus banyak membaca teks-teks buku, siap bertransaksi ide dan gagasan dengan diskusi, memproduksi ide dan gagasan melalui artikulasi nalar kritis, lalu erefleksikannya dalam bentuk tindakan, berupa tulisan atau laporan-laporan. Karya tulis atau laporan-laporan tertulis itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban pribadi yang harus ia penuhi secara kontan. Apakah itu kepada perusahaan media maupun publik. Kalau tuntutan “public” atau amanah khalayak ini tidak terpenuhi, maka berarti ia siap tidak diberi kepercayaan pada masa berikutnya. Karena itu seluruh susunan tubuh seorang wartawan harus dapat bekerja 24 jam lebih. Hati, otak, kepala, tangan, dan kaki harus mampu digerakan untuk melayani kepentingan publik. Betapa pun rumit dan kompleksnya seorang wartawan, maka posisinya tidak bisa dianggap remeh. Seorang wartawan adalah pemanggul sejarah amanah-amanah publik (khalayak). Dibutuhkan keberanian, kesungguhan, dedikasi dan loyalitas tinggi untuk mempertahankan dan memperjuangkan cita-cita yang diembannya. Resiko dan bahaya mengiringi setiap tindakan yang diambil, kecermatan berhitung dengan resiko menjadi seni tersendiri untuk tetap survive. Medan seperti inilah yang harus dihadapi seorang wartawan, analisis yang tajam, informasi yang akurat, ketrampilan berartikulasi dan agresi menjadi prasyarat seorang wartawan bila ingin tetap bertahan di media. Lapangan bekerja di media semacam inilah yang harus dilewati para wartawan. Tantangan dan kenyataan di lapangan yang sedemikian rumit harus diselesaikan dalam waktu yang cepat. Seorang wartawan harus memainkan sekian banyak kepentingan, yang sering kali kepentingan itu bukan saja sekedar berbeda, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Namun, kepentingan public adalah di atas segala-galanya. Ia menjadi tujuan utama, tak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk kepentingan individu. Tidak semua orang bisa siap dengan profesi yang rentan dengan kritik semacam itu. Jika mereka sukses, orang akan berkata bahwa itu memang tugasnya. Begitu gagal, segudang caci maki dan sumpah serapah akan melayang. Hidup dalam dunia semacam itu tentu tidak mudah dan tidak semua orang berani mengambil pilihan hidup di dalamnya. Menjadi wartawan yang sejati dimulai dari proses “mendidik diri” secara mandiri, profesional dan penuh integritas. Kalau mau jadi orang kaya, jangan bekerja untuk melayani pemodal. Tapi layanilah diri sendiri. Olahlah sumber daya alam yang terkandung di perut bumi Nusantara. Engkau bisa tanam apa saja dan engkau olah menjadi sesuatu yang berguna. “Asalkan engkau bekerja keras dan tabah menghadapi kenyataan, maka engkau akan “PANEN” seperti yang kau kerjakan.” Ikhtiar, tidak pernah memghianati hasil. Bismika ‘a’udzubika minal bukhli wal kasali..(Duh Gusti, jauhkan hamba dari sifat bebeh dan malas). Hari-hari ke depan masih sama. Rumus mengabdi untuk ke-umat-an selalu menjadi prioritas dalam hidup. Prinsip mengabdi dan melayani akan kepentingan-kepentingan orang banyak selalu menjadi rutintas. Semua itu hanyalah “sarana” untuk menunaikan tugas suci kemanusiaan seperti apa yang “dititahkan” Allah dan Rasulullah SAW. Bismillahi Tawakaltu ‘alallahi La hawla Wala Quwwata illa Billahy…[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD