KUMPULAN CERPEN Elegi Masa Lalu
BAB 1 Elegi Masa Lalu SETIAP waktu di bawah basement FTI UII Jogjakarta, aku dengan Pak Anggodo, Paijo, dan sederet pegawai FTI UII senantiasa hidup berdampingan. Aktivitasku yang seabrek membuatku harus membagi waktu, selain bekerja sebagai penulis yang gajinya hanya pas pasan Rp150.000,- di tahun 1998. Aku terus berkeliling kampus, di empat kabupaten di Jogjakarta.
Apa saja bisa ditulis, dari menyensus kampus, orang diteror, orang demontrasi, sampai seminar, pesta musik dan diskusi di kampus. Rasanya aku ketemu dengan banyak orang, membuka dialog dan ruang bercerita.
Ada sesuatu yang hilang, kekasih yang direbut orang, kuliah berantakan, nilai ancur-ancuran. Yang ada jaringan orang, tentang sebuah cinta humanisme, berselempangkan tali silaturahmi, sebagaimana jaman Wali Songo.
Islam tidak disebarkan dengan perang dan terror, namun cara-cara yang lebih santun, penuh toleran dengan dakwah dan dagang. Setelah belajar tentang bertemunya dengan sesama manusia dari banyak orang. Pagi berangkat, pulang petang.
Cerita didiskusikan setiap pagi melalui rapat proyeksi, Pak Yahya Ombara dengan semangat berkobar memberikan catatan tema dan pertanyaan arah tulisan. Itulah Koran pagi Yogya Pos Kabar Kampus yang diliput sedari pagi hingga petang bahkan terkadang sampai malam hari, terbit sehari kemudian.
Sebagaimana makanan khas daerahku, mendoan. Disajikan saat hangat bahkan panas, jadi langsung bisa santap. Sesekali diteruskan beberapa komentar pendek Pak Teguh Ranusastra dan R Harun. Sederet bangku kosong kembali penuh serasa ruang kuliah, ada Sunu, Wahid Ma’ruf, Yulia, Waluyo dll.
Jauh sebelum aku masuk kantor ini, Emha Ainun Nadjib mengisi rubrik kopi sore Yogya Pos yang racikannya dari kopi, campur jahe, campur merica. Rasanya sangat pedas, menggigit membuat siapa saja ingin membaca lembar demi lembar Yogya Post Sore. Elegi itu aku baca, disaat umurku baru 17 tahun, dimana aku baru sering membaca, jarang bicara.
Aku terkenal diam, dikampuspun aku termasuk orang paling bingung sedunia. Bagaimana tidak, aku masuk di fakultas yang luar biasa pergaulannya, di mana letak kampus terpadu diapit dengan 4 fakultas besar yakni Fakultas Sipil, Psikologi, MIPA dan FTI Sendiri.
Fakultas kedokteran dibuka pada tahun keempat aku kuliah. Aku justru sering keliling dari kampus Fakultas Hukum, Ekonomi, Agama dan Ekonomi. Namun yang paling sering aku sapa di daerah Demangan. Karena aku dulu sering berdiskusi dengan Tatang Setiawan, anak Tasikmalaya.
Seluruh PU LPMF di kampus UII aku kenal, maka tak heran saat Musyawarah Anggota Musang Himmah UII (1998) aku sempat didapuk menjadi wakil pimpinan sidang Musta LPM Himmah UII.
Selain beraktifitas di kampus FTI UII, saya juga menjabat Ketua PWI-Reformasi Jogjakarta, padahal sebelumnya dedengkot JPPR dan PWI R ada Bambang Soen (Republika, mantan ketua PDI Perjuangan Bojonegoro, Masduki Atamimi (LKBN Antara) yang dikenal sebagai ketua Tim Pencari Fakta PWI Yogyakarta yang menangani Kasus Udin Bernas, Arto Naziarto dan Sugiarto (Suara Merdeka), Heri Purwata (Kab Biro Republika-sekarang) jauh sebelum itu sudah lama merumuskan sikap tentang Kasus Udin Bernas. Aku kemudian menghubungi Gatot Indroyono di LPM Arena Sunan Kalijaga di Jalan Solo atau Jalan Adisucipto.
Selain aku sering mampir di Kopma IAIN Sunan Kalijaga. Aku kemudian dipertemukan dengan Sunu Budi Purwanto yang kemudian diangkat sebagai Sekretaris Korda. Beberapa sahabat kentalku mulai Kholid Haryono (Sek Dosen Teknik Informatika FTI UII), Shohibul Hidayah (sekarang jadi petinggi wartawan se Indonesia di Banjarmasin).
Ada yang terlupa aku kost di salah satu rumah Dosen IAIN Jogja, yang sampai hari ini saya tidak tahu namanya. Karena saya hanya membayar kost lewat teman yang membawa saya kost. Aneh bin ajaib. Selepas rapat, sekretaris redaksi kantor di bilangan Cemara Tujuh, Mba Ratri Kumaraningsih memanggil ku, untuk mengambil gaji sebulan yang belum diambil.
“Ntar mbak.” Aku langsung memacu cepat motorku kea rah kampus pusat UII di Cik Di Tiro. Kulihat di bangku lincak bambu wulung, segelas teh manis panas yang masih berkebul asap air mendidih segera saja aku hirup. Minuman segar pengisi perutku yang keroncongan sedari pagi. Segar kurasa, kepalaku terasa enteng, Teh Himmah memang beda. Gratis.
Ada banyak teh yang ada diberbagai penjuru Nusantara,mulai Teh Tubruk, Teh Keroncong, Teh Geprek, Teh Tarik yang jelas bukan Teh dari Jawa Barat, cewek sunda yang paling dicari-cari, Teh Roris namanya. Namun teh paling nikmat adalah teh serbuk Palembang dan Lampung, khas Rumah Makan Padang. Memang beda.
Pergaulan dunia membuat kita semakin konsumtif. Apa saja pengin kita beli. Sementara harga-harga selangit, pendapatan tidak ada. Besar pasak daripada tiang. Islam mengajarkan Qana’ah. Partai kami yang kabinetnya cuci piring, senantiasa makin mengencangkan ikat pinggang, agar tidak kedodoran. Istilahnya “jarit”, kudu jejer dan irit. Senantiasa bersyukur dengan rezeki Allah SWT.
Apa yang anugrahkan Tuhan dari langit. Mulai semesta langit dan jagad raya, udara segar yang kita hirup, embun pagi yang menyegarkan menguras kotoran udara paru-paru, ebyte-byte jaringan satelit sehingga kita bisa berkomunikasi lewat langit dan planet cukup dengan microchip HP bahkan flash disk. Air segar yang diturunkan langit dan yang memancar dari bumi bisa gratis kita dapatkan. Ini adalah kekayaan yang berlimpah yang harus senantiasa disyukuri.
Alhamdulillahi rabill’alamin.
Nikmat kemerdekan melahirkan kita manusia yang berkarakter suka bekerja keras, pantang menyerah untuk menumbangkan sejarah bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Alam berlimpah kekayaan hayati harus terus di rabuk dan ditanam berbagai pohon-pohon dengan beragar senantiasa menghijau.
Lir ilir, tandure wis sumilir, tak ijo royo, nggak dibakarpun, Indonesia akan tetap menghijau dengan gerakan menanam bermilyar pohon. Apa saja bisa ditanam, mulai dari sekarang.
Mumpung masih ada hujan. Bersihkan rumput yang merebut humus pohon–pohon berguna. Rumput biar saja jadi rabuk atau jadi makanan hewan. Jadilah orang yang pandai bersyukur dengan apa? Dengan senantiasa mengucap hamdalah atas segala reziki dan karunia-Nya, dan jauhkan musibah dengan perbanyak istighfar.
Akhir kalam, selamat bekerja di tempat masing-masing sukses selalu untuk sekalian.[]
BAB 2 Filosofi Secangkir Kopi
Di ujung senja, aku bertemu Kang Tedy wartawan Reuter dan jurnalis freelancer (penulis bebas) surat kabar ibu kota. Secangkir kopi langsung diseruput olehnya, tanpa basa-basi. Tiba-tiba ia berkata, “Bang, ini majalah apa, kok warnanya norak? Isinya apa?”
“Allah segitu saja kok repot,” kataku singkat.
Apalagi koran Jakarta ada warna dominan tidak menyejukan, menyala dan mencolok mata tajam. Kesannya berani dan galak, tapi isinya ternyata pengumuman semua.
“Ha..ha ini pertama kali aku nulis di majalah BIAS, sekolah. Isinya biasa saja,” kataku lagi.
“Eh, saya kirim se Indonesia, sampeyan sudah pernah baca belum?”
“Kenapa harus plural? Tiga parpol saja cukup?
Reformasi masa memakan bapaknya? Memakan moyangnya? Menyesal??? Memang “cek kosong” kekuasaan ini. Siapa yang kuat, ia akan menang, sebagaimana hukum rimba.
Agar kuat, maka harus terorganisir, punya pemikiran (visi dan misi) serta modal.
Perampok dan pencopet juga terorganisir. Ada filmnya..bagus banget tuh.
Lepas tahun 2000-an, kran demokrasi dibuka. Banjir kebebasan penuh euphoria. Kemerdekaan pers dijamin, kemerdekaan berpendapat dilindugi undang-undang. Termasuk kemerdekaan perpolitik. Parpol tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan. Apakah ini akan dibiarkan begitu saja?
Hukum alam akan menyeleksi siapa yang mampu bertahan di dunia yang penuh persaingan. Laju informasi mengalir deras, tiada satupun mampu membrangusnnya. Karena kebebasan dijamin undang-undang. Tentu kebebasan yang bertanggung jawab. Kalau tidak, bukan kebebasan lagi tapi kebablasan!
Tentu tidak, informasi harus penting, jujur, akurat dan memenuhi standar keingintahuan pembaca. Lepas dari itu akan muncul opini publik,-perbincangan pembaca, para komentator berita. Beragamlah tanggapannya, menjadi standar subjektivitas ataukah objektivitas?
Tentu beragam pertimbangan dalam menentukan grand tema dalam membuat berita dari sudut pandang penulis , baik standar psikologis, psikografis (kedekatan pembaca) dan lain sebagainya.
Disinilah berita-berita itu dikemas, menjadi keshahihan dalam memperolehnya dan dikemas menjadi produk yang cantik dan menimbulkan minat keingintahuan pembaca serta kalau bisa menjadi rujukan sosial dalam menentukan setiap keputusan. Pokoknya, t*i kucing, jadi serasa rasa coklat…
Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Tendensi menjadi pilihan, keberpihakan dan dibangun menjadi produk rekayasa pencitraan berbaur menjadi kapital angka-angka, akhirnya menggempur norma dan akal sehat berfikir, betapa kita sangat haus informasi melebihi kehausan “yang sudah menggigit urat leher” di tengah panasnya awal musim kemarau tahun ini.
Puasa, apakah menjadi hak standar memenuhi hajat perut dan leher. Urusan kenyang dan haus saja? Ya, kalau itu menjadi puasanya anak kecil. Bersabar, berpuasa dalam sekian lama tidak melakukan apa-apa? Nrima ing pandum, sepi ing pamrih. Lalu tidak seketika orang berbalik-balik menjungkir logika nrima ing pamrih, sepi ing gawe.
Jadi kunci dari semua itu, adalah keikhlasan untuk selalu berbaik sangka. Kepada Allah, wajib. Kepada manusia berbaik sangka juga sama. Luar biasa, jadi berbaik sangka itu harus kepada Allah dan manusia serta semuanya harus sama, berbaik sangka tiada akhir. Mungkin ini bisa menyembuhkan di tengah hiruk pikuk banyak warna-warni kehidupan. Ada yang dominan, ada yang minoritas. Ada yang berimbang ada yang njomplang, yang penting bukan tirani.
Kemana saja engkau, wahai sang burung malam yang lama tidak berkicau indah. Kini engkau memekak sunyi, bertembang sepi dalam kesyahduan cinta tak bertepi. Wahai mahluk malam, sunyi seperti kiamat, membuatku lebih tenang menulis, untuk membayar kontan semua hutang-hutangku dengan orang yang kutemui. Bagiku ketemu orang serasa orang punya hutang, dikira masih menulis nulis orang. Aku bukan orang penting bagimu, ucapanku adalah kalam manusia biasa, yang sangat lemah dan tak bisa membohongi diri sendiri.
Menjadi hiperbolis dan menganak sungai, bersayap-sayap kata-kata itu mampu menyihir dan merubah keadaan. “what the meaning full?“ Kebermaknaan dari kata-kata itu tidak bisa diberangus apapun! Sekalipun engkau bakar dan musnahkan buku-buku dari laci sejarah, kata-kata akan terus teringang dan terbenam dalam memori otak manusia!
Apalagi kata-kata yang punya arti dan bukti konkrit. Tentu penuh kejujuran sehingga arsip-arsip yang menyejarah itu menjadi warisan terbaik bagi anak cucu yang siap disimpan dan dibaca di laci peradaban dan gudang-gudang perpustakaan bergengsi di republik ini. Untuk dibaca dari generasi ke generasi selanjutnya. Diharapkan menjadi contoh dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Engkau akan menemukan kata-kataku. Engkau akan temukan mutiara-mutiara kata-kataku yang kukemas dalam lautan sastra dan bahasa elok dibaca dan enak dikenang…
Aku tidak sedang mengeroyokmu dan menjajahmu. Engkau boleh memilih apa saja. Kembali aku baca koran yang dibawa Tedy. Gaya tulisannya memang penuh talenta. Corak puitis dan sastrawi, aku lebih suka menyebutnya gaya naratif atau literair.
“Yuk temani aku ke bundaran UGM!” ajaknya sembari menggenggam tanganku.
“Yuppp!”
Kami berdua dengan sepeda motorku, melaju kencang di ujung sore. Bundaran UGM tampak sepi.
“Di sini sepi, yuk ke gedung Ekonomi!”
Tapi, teman yang dicari Kang Tedy tidak ketemu. Masuk sebentar ke bag kantor. Ketemu juga. Sebentar, ngobrol dengan Prof Karseno pakar ekonomi UGM. Wawancara sebentar, cerita tentang tempe. Aku tak habis pikir. Di negeri krisis ekonomi berpuncak reformasi yang dikupas soal tempe.
Entahlah, aku berkelana, karena di kampus ini juga aku ketemu Popi Ismelina, pakar anti utang Indonesia. Akhirnya, kami berdua kembali ke markas lembaga pers yang ada di pusat kota, di Jalan Cik Di Tiro. Hari mulai larut. Secangkir kopi, teman yang selalu setia menemani setiap malam. Rasanya memang tidaklah nikmat jika nongkrong bersama saat malam tanpa ditemani secangkir kopi di pojok kampus, angkringan Pak Tri.
Ada yang bilang “di dalam sebuah rasa kopi terkandung sebuah perasaan nikmat yang dapat dirasakan setelah bekerja seharian.” Tapi pernahkah kamu merasakan kopi tanpa ada sesuatu yang kamu kerjakan hari itu? Hanya rasa kopi saja yang kamu rasakan tanpa adanya makna mendalam yang kamu dapat pikirkan.
Teuku Umar, pahlawan asli Aceh pernah berujar, “Andai aku masih hidup esok hari. Kita masih bisa minum kopi lagi.” Kopi yang warnanya hitam, membangunkan ide-ide segar yang bersemayam dalam alam bawah sadar. Mengajak berkelana untuk menyemai cerita malam panjang sebelum pagi.(***)
BAB 3 Jin Buang Anak
"Jin buang Anak" Kawasan Cawang tampak lenggang, Tebet pun begitu, Demikian pula Asembaris. "Rul, kamu tinggal di mana?" Kutatap mikrolet Cilitan arah Cawang nan gelap dinihari malam. "Katanya ini tempat 'Jin buang anak' ," gumanku sambil kulihat deretan kompor dan kerajinan periuk. Jembatan Cawang kalo ke arah barat menuju Mampang lewat Pancoran. Apabila ke selatan terus arah Cililitan dan kalo ke utara arah Kampung Melayu. Kadang pernah ada takut? Masa pulang pengajian jam 00.30 malam dinihari, Jakarta memang tak pernah tidur. Uangku pas saja, bersabar, di atas mikrolet sendiri via Otista. Nyambung lagi lewat Kampung Melayu. Kawasan Kebon Baru Jl O,Tebet Jakarta Selatan kembali terendam banjir setengah meter. Di dekat Madrosah Tsaqofah,, kuketuk pintu pedagang keliling peci Palembang dan busana muslim. "Asalamu alaikum...." "Wa'alaikum salam.." Dengan ramah, penghuni pedagang keliling menyambutku. Hairullah, saya menyebut pedagang peci keliling ditiap majelis taklim yang ada di seantero Jakarta raya. "Mas Aji sukanye nyaru..." Dengan muka merah padam kudesak ia, apà itu "Nyaru?" Habisnya nýaru itu tidak serupa dengan kata 'saru', kata paling jorok dalam konotasi bahasa Jawa. Di Betawi, kata dia, pekerjaan ''nyaru' itu menyamar...." kata Hairul. Kutatap wajahnya dengan tajam, ya kehidupan telah menempaku khusnudzan dengan segala kejamnya ibu kota. Tapi, bukankah "Khairunnas anfa uhum linnas?" Kita harus berprasangka baik dan sekaligus berperilaku baik dengan sesama manusia.Apalagi kepada Alloh, wajib itu. "O, begitu..kalao begono, 'nyaru' di dalam cerita pewayangan bisa jadi samar, nyamar. Dan sosoknya digambarkan menjadi sang Semar. Semar adalah bapak moyangnya Punakawan, sang hyang jagad wenang. Sosoknya dalam pakem pewayangan muncul setelah terjadi "Goro-Goro". Kecuali wayang yang keluar dari pakem, ketika Punakawan menjadi Subjek cerita, itu lakon carangan, contohnya Petruk Dadi Ratu, Semar Mbabar Jati Diri dlsb itu kreasi dalang. Sekarang, dalang-dalang sudah banyak meninggal.Sekalipun bisa bertahan hidup, dunia seni serasa makan tanah dan oli. Ya, bertahan hidup dari jual tanah dan kendaraan besi. Melakukan pekerjaan yang tidak kentara. Umpamanya sambil berdagang, sambil mengintai.Wah, jadinya nggak ada takutnya.Asyikin aja lagi. Jalan gelap di atas pekuburan, sering kutungguin. "Nih gimane, wong acara maulud, gue masa nungguin di atas kuburan berumput, malem malem lagi. Dari pada membuang sepi, kunyalakan rokok filter berteman sepi. Cerita Entong Gendut, Si Pitung, H Darip, Robin Hood Betawi kala itu, belum aku membuat penasaran.Hilir mudik itu, kubuang jauh bersama pergiliran waktu. Senjakala pagi yang berubah siang menjadi màlam. "Iye.Kerja wartawan, berjuang, ikut dagang....kalo jadi wartawan jadi wartawan aja, aye khan nggak enak dikira Hairu nih linknya banyak," tak kalah joke segar Hairul di pagi buta. "Belum lagi ada order," kata dia sambil memasukan kartu majlis taklim yang biasa rutin di sebelah utara istana negara, "Nurus Salam". Hampir aku juga curiga lagi, sebuah jaket hitam klas "Sang President" jadi hadiah. Kadang uang pinjaman, nggak usah dikembalikan. Tapi dengan halus, kukembalikan. Gimana, terlanjur basah, kerja profesional, jadi wartawan, bermalam di Tebet dan jadi imam sholat di musala kecil. Aku termenung di kawasan padat penduduk ini. Masih kuingat, di ujung jalan KH Facrurrazy Ishack dan KH Rhoma Irama bertaklim maulid sepanjang ujung aspal. Aku serasa tak sendirì, di tanah ini seperti di rumah sendiri.Kadang setiap malam minggu keliling, minggu pagi ke Tsaqofah.Baru ke Kwitang.b Malam Senin Pancoran.Entah siapa Hairulloh itu , pedagang keliling, yang ramah, suka membantu.Pejuang keluarga di mana saja. Dalam karungnya penuh peci dan segepok majalah yang siap di gelar di atas tikar tiap pengajian. "Gimana saya nggak kaget, gile.Seumur-umur kerja jadi sirkulasi dan iklan dari tahun 1997.Benar-benardi Betawi, jadi semakin asyik saja.Ibarat teori perusahan dari hulu sampai ke hilir industri itu paling terdepan di depan lapak," bisikku dalam hati. Tsun Zu, seorang panglima perang tentara Cina pernah menyatakan, a general is soldier in front off in the war. Seorang jenderal adalah seorang prajurit yang berada di garis terdepan medan pertempuran. Jalan gelap yang kupilih, sepi sunyi sendiri kulalui....cuma dengan sopir angkot warna biru muda. Selepas sampai terminal Kampung Melayu, kuberjalan ke utara di seberang menunggu Angkot jurusan Senin. Nggak kepikiran apa ada jambret , copet atau Suster Ngesot si Manis Jembatan Ancol? Antah berantah hantu ibu kota kubusng jauh. Tadi aja nongkrong di atas kuburan , ndak ada ape ape. Malah sudah habis sebatang nungguin haerul di Jalan Pedati Kebon Nanas, katenye mo liputan maulid, kagak nongol-nongol gue di tinggal di komplek pemakaman, nih gimane? Aku dan Haerulloh memang tidak kenal, herul seorang agen marketing majalah, penjual peci putih keliling, tinggal di Tebet dekat Tsaqofah.HP jadulnya memamg menjadi denyut radarku untuk bergerak cepat.Soalnya die pasti udah gelar tiker jual aneka dagangan di tiap pengajian. Istrinya, katanya orang Tegal. Baju koko dari Tegal, Jaket Sang Presiden SBY, Peci Putih, Sorban Putih, masih ada. Masih kuinget tarawih keliling, Subuh pagi dengan Tiga Serangkai (Habib Ali Bungur, Habib Ali Assegaf dan KH Abdurrahman Nawi, semua sudah alm) sampai paling pagi di Cipinang Muara saat pilihan Gubernur DKI. Lucu juga, pesan pilgub masuk jadi iklan kampanye di masjid-masjid, habisnya Calonnya dateng. Waktu kuajak ke Sukabumi, Hairul tidak mau. Aku akhirnya jalan sendiri, dianter sampe arah Ciawi, memang lewat jalur Ciawi, nanti Cianjur. Kutatap tetumbuhan padi sepanjang Cianjur sampai Sukabumi.Seumur-umur tinggal di Betawi, baru kulihat tanaman padi menguning di Cianjur. Tiba di Sukabumi, aku langsung pesan hotel di dekat, Gunung Puyuh. Setelah istirahat sebentar jelang Maghrib, aku telusuri jalan malam di Gunung Puyuh. Setelah tanya dengan seorang santri mengantarku ke sebuah makam pejuang Islam dari Sukabumi, KH Ahmad Sanusi, pendiri Persatuan Islam Seluruh Indonesia (Persis). "Kok cuma sebentar?" Tanya santri pengantar di gerbang pesantren. "Iya , Dik.Bahan tulisannya sudah ada, saya ke sini cuma dokumentasi foto.Salam untuk pak Kyai, ya" kataku basa basi sambil bergegas pamit menuju hotel. Pagi hari aku berencana menuju Cijurai sehabis Sukaraja. Namun perjalananku justru memutar ke barat dan Selatan lalu ke timur lagi lewat Sukaraja.Aku rasa aku telah membuang waktu srkitar 3 jam. Aku lalu minta pada sopir mikrolet merah untuk berhenti di Sukaraja arah Pulo Air. Segera aku naik bus jurusan Sukabumi arah Garut dan turun di Pulo Air. Kembali aku liputan pondok pesantren Al Quran Pulo Air,Sukabumi.Kebetulan aku pernah meliput ke Pulo Air ini di bulan Rajab terakhir.Saat haul pendiri pondok, banyak kyai, habaib bahkan menteri agama juga datang. Sampai siang di Pulo Air, aku kemudian harus segera pulang ke Jakarta. Sampai lagi Kampung Melayu sudah gelap malam. Menuju Salemba sudah jelang dini hari. Kembali kulihat Jembatan Cawang. "Nah ni dia, tempat jin buang anak itu," gumanku sendiri. Malam tengah merayap menuju pagi, Jakarta sudah sangat sepi pada dini hari.Kabut tipis mulai turun, menemani perjalanan panjang yang letih. (***)
BAB 4 Suara Adzan Yang Kurindukan REMBULAN penuh di pertengahan bulan Syakban tahun Hijriah membuatku bangun malam dan kutatap langit sejenak. Tampak cahaya putih terang berselimut warna pelangi berpendar indah di angkasa.
Kutepuk pahaku dengan keras, aku tidak sedang bermimpi. Cepat selepas itu, sembari setengah berlari kuambil air wudhu. Hening. Kuhadapkan wajahku ke kiblat. Allahu Akbar…Allahu Akbar…
Shalat adalah mikrajnya seorang mukmin dengan Sang Khalik, Pemilik semesta jagad raya. Ku adukan seluruh problem kehidupan pada-Nya. Selepas shalat Sunnah witir, sebagai penutup shalat sunnah, ku tengok pendora sang waktu lewat HP yang sedari pertengahan malam ku matikan.
Sebentar lagi Bulan Puasa. Puasa tahun ini, aku di kampung. Sudah seminggu jelang bulan puasa kali ini kuisi hampir seperti tahun kemarin. Di mana gegara Corona belum usai. Bencana pandemi jadi momok, tetap di rumah saja.
Banyak orang memilih tidak bepergian. Cuaca panas terik di siang hari. Bau polusi udara sudah membuat orang nyaman tinggal di rumah saja. Harga kebutuhan pokok mulai naik. Waktu hampir mendekati subuh. Udara dingin malam menyergap sekujur tubuh. Telapak tangan dan kaki semakin dingin.
Ku ambil air wudhu dan shalat sunnah berpergian. QS Qurais dan QS Al Kafirun dalam dua rakaat k****a dalam hati lebih cepat dari biasanya. Karena waktu menjelang adzan subuh segera tiba. Tak lupa doa mau bepergian k*****a doa setelah membaca QS An-Nas dan QS Al Ikhlas.
Doa mau pergi itu juga menjadi rutinitas ku di saat Pandemi tahun ini belum dinyatakan pemerintah daerahku jadi kawasan merah. Kadang ini membuat was-was banyak orang untuk keluar rumah. Di lebaran tahun kemarin saya sampai ketemu langsung dengan pak Lurah, bahwa masyarakat di daerahku yang sangat kental dengan kehidupan agamis tidak patuh benar mengikuti anjuran Prokes.
Mushala, masjid memang pernah menjalankan standar prokes, tapi itu cuma setengah tahun. Sembari berlebaran, aku sampaikan keadaan warga desa apa adanya.
“Masyarakat butuh keluar rumah. Ada yang ke pasar, ke tempat ibadah, dan keperluan mendesak lainya,” kataku.
Pak lurah diam tersenyum sambil menghisap sebatang lisong.
“Kamu ada rokok?,” katanya santai. Sembari memerintah istrinya untuk mengambilkan rokok dari dalam rumah.
“Bu….Kalau rokoknya habis ambil di warung barat di sebelah rumah Pak Lurah,”
“Mpun mboten ndamel repot-repot. Kulo mpun wonten. (Sudah jangan repot-repot. Saya sudah ada),” kutampik pemberian pak Lurah, sembari kukeluarkan sebungkus rokok yang masih setengah bungkus. Saya langsung menyulutnya merokok sambil berbincang dengan warga desa karena masih suasana lebaran.
“Alhamdulillah, desa kita zone zonk Pandemi. Sekalipun sampai ada jaga desa, Prokes. Sampai saat ini masih zonk pandemi dan kita berharap jangan ada warga desa kena pandemi,” terang Pak Lurah.
“Tapi warga desa sebaiknya jangan memaksakan diri bepergian jauh,” kata putra sulung Pak Lurah yang bekerja di Polres Kabupaten Sebelah timur dari daerahku.
“Iya, sekarang jadi serba sulit dan bikin pertemuan terbatas dibatalkan. Orang takut berkumpul. Bahkan lebaran tahun ini, reuni sekolah alumni SMP tidak digelar. Yang ada lebaran virtual. Semua serba lewat HP,” kataku.
Anak sulung pak Lurah, sembari memegang tisu, batuk-batuk sambil berjalan keluar rumah sebentar lalu balik lagi.
“Mestinya orang berkerumun, dilarang dulu. Maaf dik, saya masih pilek habis lembur sebelum Lebaran kemarin,” katanya sambil berlinang air mata. Putra Sulung Pak Lurah itu juga alumni sekolahku. Dia kakak kelas, beda angkatan alumni. Di dalam ruang tengah Pak Lurah, ada sekitar lima orang tamu dan warga desa juga berdatangan tiap dua menit, cuma datang sebentar lalu lekas berlalu, karena lebaran kemarin benar-benar tidak memakai salaman jabat erat tangan. Cukup seperti orang menyembah sambil berdiri.
Kadang lucu juga, jadi kayak orang merapatkan dua telapak tangan seperti sedang menyembah, salamannya kaum hawa perempuan sambil berdiri. Memang kuakui, lebaran kemarin aku selepas Shalat Ied, langsung ke kuburan ziarah dan berdoa. Baru selepas itu berlebaran bersama keluarga. Akankah lebaran tahun ini seperti tahun kemarin?
Masih kuingat, aku bertemu dengan sesepuh keluarga dan menjadi guru akuntansi. Ceritanya jadi membahas hutang luar negeri.
“Kamu di sini saja,” katanya bijak.
“Aku tak sanggup menolak ajakan pak guru akutansiku, aku sangat menghormatinya, bukan karena aku dapat nilai 9,” gumanku dalam hati.
Tepat dugaanku alumnian, tradisi itu juga kabarnya akhirnya ditiadakan diganti hari yang lain.
*
Waktu hampir menunjukan pukul 04.25. Bergegas aku keluar kamar menuju mushala depan rumah ku dan di mushala sudah ada beberapa jamaah menunggu shalat Subuh.
“Jie, adzan!” kata sang tetua mushala setengah memerintah, karena muadzin yang biasanya berangkat, katanya lagi minta gantian.
Adzan, pemanggil orang untuk shalat, tentu dirindukan ummat beriman. Agar segera bergegas memenuhi panggilan Sang pemilik jagad alam semesta. Bukti, sebagai hamba yang lemah harus patuh dan tunduk pada sang Khaliq.
Aku tak sanggup menampiknya, segera kuambil mikrophone toa dan kulantunkan adzan seperti biasanya. Cuma lebih cepat saja dari biasanya. Aku memilih lamanya adzan dari ukuran 3-9 oktaf. Kupilih semampuku tidak kupaksa seperti Adzan Kedah, Malaysia yang durasinya 12 menit. Saya coba mengikuti adzannya gaya Solo yang cuma 3-6 menit, hampir serupa adzan iqamat.
Habisnya, untuk suara nyaring, aku biasa pakai gurah tenggorokan dengan air sirih serta ramuan rahasia yang dimasukan lewat hidung, dan dahak atau air lendir kotor akan keluar dari rongga hidung.
Bagi yang sakit betul, bisa keluar darah hitam atau merah. Aneh, ketika aku digurah lewat hidung, yang keluar warnanya coklat muda keruh. Kata si tukang gurah, “Itu cuma kena efek udara kotor atau debu.”
Saya maklumi saja, karena saya sering naik motor. Nggak jauh cuma 3 kilometer arah kecamatan dan jalan aspal berdebu yang beterbangan mungkin kehirup lewat lubang hidung.
Untuk menambah suara panjang ketika adzan, setiap hari, aku membaca Al Qur’an yang ayat surahnya panjang-panjang. Mungkin karena itu sambil berlatih panjang pendek suara, oktaf.
Selain itu, temanku kost sewaktu SMA di Purwokerto punya trik agar suara jadi jernih. Yaitu dengan makan cabai cengis hijau satu mangkok. Itu Qariah kenamaan dari Pemalang juara Indonesia dan Internasional. Sementara temenku, hanya selalu juara dua.
Pagi kali ini aku tidak mau memaksa diri bersuara panjang seperti adzan Kedah, Malaysia. Tidak, aku lebih memilih makna dan isi dibanding ikut gaya orang dan suara orang.[*]
BAB 5
Sepatu Baru, Marathon Lari Pagi Hari itu aku mendapat info dari temanku di Ibu Kota, menawarkan projek penulisan ensiklopedia, entah seperti apa bentuk penulisan itu, pertama Malam mulai merayap Entah kenapa, temenku menyarankan beli sepeda.Duit dari mana? Ikhiyar dulu.Saya memang malas. Luntang lantung berbulan-bulan. Penghasilan nol. Alkhamdulillah ada yang kirim transferan, tapi itu cukup dua minggu. Orang-orang pada menggerutu. Tapi hiduo memang harus berakit-rakit dahulu, susah dulu, manis rasanya gula, lalu berharap bahagia. Berjuang sekuat tenaga tetapi pula harus disertai dengan. Harus penuh ketabahan baru bisa bersyukur dan bersenang-senang. Aku tiada gairah hidup, saat penaku, terkendala dan memang harus dihadapi dengan ketabahan jiwa. Temenku tiba-tiba datang lagi,"Kapan jadi beli sepeda?" Tanya Warson. "Nantilah, kalau uangnya datang," Berapa sih harganya ? Sepeda buat apa? "Bagus lho, sekarang musim gowes,. Harganya 2-3 juta." kata Warson lagi
Aku tidak tertarik sama sekal, tawaran beli sepeda.Sehabis minum kopi, aku cepat pulang. Kang Sukron Makmun sudah tiga hari ini di rumahku. "Ni kok lama ya? " Ya Alloh betapa durjana dan sombongnya dirikukah. Dua kali kocoba, melantun sepi bersama Rhoma Irama, lagu Perjuangan dan Doa. "Semoga uangnya cepat cair," kata Kang Syukron. Sudah seminggu terakhir ku minta uang sama Bapak untuk beli rokok dan kopi. "Bosnya galak betul. Eh, enggak kok. Rabu Sore kemarin kutelpon dan kukirimi naskah buku," kataku sembari kukirim 3 naskah buku tentang kehidupan Rasulullah SAW. Apa no rekeningnya hilang ya? Nanti kalo uangnya sampe, nggo mbojo saja," saran kang Sukron imam mushola kami. Dalam dadaku berkecamuk beli sepeda atau mbojo saja. Emangnta ikur sayembara rukun tani, berhadiah sepeda. Jadinya ngelantur ke mana.Sabarlah, aku nggak enak sama Prof Baharun. Semua sahabat, teman semakin habis."Kopinya di minum kang..." kami berempat menyelesaikan tugas di halaman rumah, mendungnya tadi berubah cerah. Semoga dalam waktu dekat ini, honornya sudah cair. Kutunaikan shalat Asyar. Ya muqolibal qulub, tsabit qolbi 'ala dinieka.la illa ha ila lloh.Ku masih menunggu kabar uangnnya datang. Kucoba jadi sales sebuah ensiklopedi 100 Tokoh Terkemuka dari Yayasan Amanah. Sebuah Yayasan ysng kutahu pernah menerbitkan majalah Amanah. Katanya bersedia menerbitkan buku sebanyak 200 ekslemplar dan akan dibayar secara royalti. Dan kebetulan saat pulang dari Tidu, saat ketemu Zainal 'Anbiya saat kuantar bunga melati menur dari berangkat sampai pulang, atm Bank BRI di depan pabrik rambut PT Suncang sedang dibongkar mungkin sedang diisi atau diperbaiki. Takutnya sudah jelang asyar dan gerimis menghadang rintik kecil kecl kirain membasahi batikku. k****a QS Al Fath sepuluh kali sepanjang perjalanan naik sepeda motor roda dua, aneh sampai kutunai sholat Asyar baju batik nya tidak basah. Sudah kupraktek berkali-kali, pernah gagal waktu pilkades. Hujannya malah tambah deras sehingga bilik TPS nya kebanjiran, padahal sama pak Kyai juga. Kupercaya saja. Ikhtiar, tidak menghianati hasil. Kamis pagi, kuseduh kopi dan menulis Cerita Pendek. Cak Mus kukirimi beberapa Sosok Pelantun Sholawat dari Sidoarjo, si VeVe dan Naswa, kemungkinan bulan Oktober. Karena Sabtu kemarin belum deadline.Sudah dekat juga jelang malam ada Munas. Kukirim dua sekaligus bersama fotonya. "Ya nanti siang di rapatkan di Riisalah," janji Cak Mus. Masih kuingat sosok penuh dedikasi dan pekerja keras sabahat kerja Budiman S Hartoyo (alm), Habib Harun Musawa, Habib Mohammad Baharun eks Wartawan majalah Tempo dan kemudian beberapa waktu mendirikan majalah alKisah di ibu kota Jakarta. Dari Cak Mus ini kudapat silsilah Tariqah Naqsabandiyah Khalidiyah Mbah Malik bin Sulaiman Basyaiban Purwokerto. Masih kuingat pesan Zainal Afifuddin temenku di darrah Ngablak, Magelang dari Fak Biologi , UGM yang pernah menyaraniku untuk menulis diary atau cerita pendek. Tak terasa sudah 4 Cerpenku dimuat. Tapi cerpenku ini pun seperti kisah nyata saja. Aku tak jadi ke Jambi, panitia menyaraniku ikuti webminar dengan Dr Rizal Ramli, Mantan Menteri Ekonomi. Wudhu dulu. Ini cerita kok pendek betul..ya kalau panjang namanya cerpan, ini khan cerpen. Cerita pendek. Kalo cerita bersambung (Cerbung). Udara makin dingin di Kamis sore. Lepas shalat Asyar, belum ku cek lagi atm. Temenku dari Gemuruh mengabari menawarkan sepeda via w.a. Tapi walau murah, belum kutawar dan kujapri juga.Walau murah harganya, bila uangnya belum ada, tentu malu juga menawarnya. Belum lagi kabar terakhir, sepeda stainles harganya sampe 2 jutaan baru dipake sebulan sudah plenyat plenyot, rodanya sampe ngobel kaya roda bekas, ketabrak kereta api. Senin sore, aku ketemu Warsono lagi. "Gimane, jadi beli sepeda kagak?" Kujadi inget tadi pagi, ada cewek cantik lari pagi pake sepatu cat.Jadi inget lagu Rhoma Irama, "Lari Pagi." Sampe ada tuh, bus pagi Jurusan Purwokerto Semarang di kaca dèpan ditulisi "Maraton, Lari Pagi." Ide bagus sekali, akunya nyeletuk,"Kalo olah raga pagi yang murah dan menyehatkan ya ...maraton lari pagi.Modal sepatu cat putih yg harganya paling banter 60.000 an nggak sampe jutaan." sahut istri Kang Warsono dari dalam rumah langsung menimpali,"Sepatu jaman SD yang ada pelet biru, merah dan putih, kayak gituan paling 15000 an," katanya sambil membawa nampan 2 gelas kopi sore. "Masalahnya rezeki itu di tangan Allloh, dikasih rezeki kadang usaha mati-matian pun, hasilnya setengah mati. Memang jaman lagi susah," kataku memecah kegalauan yang lama terpendam. Begitu transferan masuk, segera kuajak beli Sepatu baru di toko olah raga. Tapi, jalan raya juga susah, sepatu yang kubeli tak jadi untuk Lari Pagi, aku justru muter-muter pakai motor meliput jalan raya yang berlubang.(***)
BAB 6 Jalan Penuh Lubang
Mencoba melewati masa sulit.Ke barat kecamatan, jalan makin padat. Kalo mau ke luar kota ya pagi sekalian, tidak ada cegatan.Polisi ada berjaga di luar rambu, beberapa pengendara motor tak berhelm tampak dikejar polisi.Lucu jg di selatan pabrik Boyang, Bojong ada gang buntu, seorang pengendara motor terjebak ditangkap polisi.hayo ..mau ke mana? (Eit di posko polisi sdh ada cctv, 500.000 tilang elektronik ..ati ati lur!) Kulupakan bikin foto atau video, apes saja tuh orang, terus kupacu motorku ke arah bandara, masih padat sekali, polusi cuaca terik menjadi satu aku berkeliling sehabis menyantap Sate Mad Rosyid , di barat Batalion Bojong. Ku mampir di beberapa ATM.Aneh, uangnya tidak ada, padahal antrean banyak.Akhirnya dapat ATM di minimarket, malemnya kubeli raket. Siap2 main bulu tangkis, untuk sehat yang murah itu sehabis Subuh jalan pagi tanpa alas kaki. Tapi gimana lagi, hasil survey, mintanya olahraga yang ngetren dan keren. Saat ini yang ngetren, ya joging, gowes ada juga bulutangkis.. Sepanjang Selasa 15 Februari 2022 kepadatan arus lalu lintas dari berbagai arah di Purbalingga Selatan sangat padat. Pantauan di jalan, dengan adanya PTM serta mulai dibukanya kembali roda produksi pabrik-pabrik yang ada di pusat kota, membuat arus lalu lintas padat pada pagi dan sore hari.
Khusus jalan menuju Bandara JSB Wirasaba, yakni Tidu Timur ke arah Barat sebagian jalan banyak berlubang. Sehingga bagi kendaraan yang lewat harus hati-hati dengan mengurangi kecepatan.
“Harusnya preventif dan antisipatif. Kan ngak perlu pasang drum serta gedebog pisang di pinggir jalan,” kata Zen, warga Tidu.
Dikatakan, sudah seringkali terjadi kecelakaan. Apalagi dekat pertigaan dan lampu merah. Kontur jalannya terlalu curam. Jalan juga tidak kelihatan dari arah rambu, sehingga paling mungkin pengendara harus taat rambu lalu lintas.
“Kasih kesempatan pengendara lain untuk lewat,” kata Aji, warga lainnya.
Mengenai kepadatan arus lalu lintas, sebenarnya sudah di atur. Mana jalan propinsi, jalan truk barang, jalan alternatif serta jalan transportasi umum. Repotnya, semua masuk jalur tengah arah bandara. Terutama pada hari Kamis dan Sabtu saat jam penerbangan dibuka. Sehingga terjadi penumpukan jalur tengah.
Padahal, jalur tengah sebagai jalur alternatif, banyak berlubang. Baik dari arah Tidu. Bajong-Bandara maupun Bojong ke selatan.
“Saya kira dinas terkait (Dinas PU) perlu segera melakukan perbaikan, sebelum makin banyak yang mengakses jalan raya,” tegas Aji. Payah juga sudah buat laporan, tapi nyatanya lambat sekali penanganannya. "Kemarin malah palang kayu ditabrak juga.Padahal berbahaya sekali," kata Zenal suatu ketika. "Tetangga kabupaten di Kebumen, satu hari di bulan kemarin malah ada bus tabrakan, gegara menghindari jalan berlubang, " kataku memberi alasan, kenapa aku ngotot mengirim foto dan tisan jalan berlubang. Puji syukur , polisi beberapa waktu yang lalu sudah turun ke jalan, mulai memberi tanda di sepanjang jalan yang berlubang. Soal dana yang belum ada, itu soal lain, namun empati untuk pengendara jalan masih ada. "Bisa khan, di ambil dari dana pemeliharaan jalan atau apalah. Masa kita mau beli pilok untuk kasih tanda atau menanam batang pisang, khan tidak begitu?". (***) Aji Setiawan Penulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta ..
https://link.dana.id/minta/2qahjo3ewni