YUK Menulis Literair MENULIS literasi atau literair artinya kaya akan data dan fakta, bukan fiksi apalagi sekedar narasi. Itu setidaknya sebuah genre penulisan yang coba dikupas (alm) Budiman S Hartoyo, eks Wartawan Tempo, pendiri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Reformasi) yang dikemudian hari bermetamorfosis menjadi Persatuan Jurnalisme Indonesia.
Aji Setiawan
Tentu saya disini tidak akan mpembahas sejarah organisasi pers. Saya ingin sedikit berkisah soal berbagai aliran jurnalistik dunia. Menulis adalah jalan hidup BSH. Ketika orang sibuk bicara literasi digital sekarang ini, adalah ketakutan bagaimana kita tidak melahirkan generasi copy paste (plagiarism), di jaman serba online sekarang ini.
Kreatifitas menjadi penting, inovasi dan memperkaya bahasa untuk menulis kata-kata menjadi tidak sekedar enak dibaca di tengah revolusi digital dan audio visual yang sangat cepat. Tradisi transiterasi menulis, sebagai ruh tradisi kaum intelektual (intelegensia, kata Dr Arief Budiman, kakak Budiman Sujatmiko). Itu bermula dari membaca, berdiskusi dan menulis. Tradisi menulis opini, tentu berbeda dengan wartawan berliterasi.
Berliterair tidak sekedar menulis berita, menimbun fakta namun juga bermain bàhasa, menulis dengan pilihan kata untuk menggapai makna dan mengirim pesan dari berita yang ada di lapangan. Ini adalah kecenderungan di kalangan (sebagian kecil) wartawan meminati apa yang disebut “jurnalisme sastrawi”. Di kalangan orang awam, bahkan di kalangan sebagian wartawan Pilihan menulis secara literair sendiri, ada yang belum tahu persis apa itu “jurnalisme sastrawi”.
Mengapa jurnalisme dihubungkan dengan sastra? Bukankah jurnalisme mengandalkan fakta, sedangkan sastra mengangkat fiksi? Bukankah harus dibedakan antara fakta dan fiksi?
Benar. Berita, dan dengan demikian juga jurnalisme, memang mengandalkan fakta, tidak mungkin memperhitungkan fiksi, sedangkan sastra lebih mengutamakan fiksi. Lalu mengapa ada “jurnalisme sastrawi”? Maksudnya tiada lain ialah jurnalisme yang ditulis dengan gaya berkisah (mendekati atau agak mirip) dengan (gaya) menulis sastra.
Maksudnya, bukan “bersastra-sastra”, atau “memfiksikan fakta” (yang mustahil), melainkan menuturkan atau menggambarkan suatu fakta secara detil dan relevan dengan bahasa yang benar dan bagus. Di sinilah pentingnya penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar!
Tapi, saya tidak sepakat dengan penamaan “jurnalisme sastrawi”. Saya lebih menyukai jurnalisme literair karena lebih mendekati penamaan aslinya, yaitu literary journalism.
Namun, sekali lagi, saya merasa aneh jika belakangan ini jurnalisme literair justru diminati (sebagian) wartawan (di kota-kota besar). Padahal, untuk memahami – apalagi menulis dengan gaya jurnalisme literair – tidaklah mudah. Sangat sulit! Wartawan yang ingin menulis (dengan gaya) jurnalisme literair, terlebih dahulu harus mampu menulis feature.
Sedangkan wartawan yang ingin menulis feature terlebih dulu harus mampu menulis berita yang konvensional. Mulai dari straight news dan berita yang ditulis dengan metode “piramida terbalik” — yang semuanya harus mengandung unsur 5W dan 1H, yang juga disebut sebagai jurnalisme dasar (basic journalism).
Bagi para pemula, saya sarankan membaca secara teoritis pengantar jurnalisme, bagaimana menulis berita dengan prinsip 5W+1H untuk memahami apa itu straight news, news feature, dan sebagainya, menulis feature? Sehingga bisa membayang bagaimana menjadi wartawan profesional?
Dimana seorang wartawan, membiayai sendiri liputannya secara mandiri, menyusun budgeting ke perusahaan untuk mendukung biaya peliputan dengan target waktu tertentu. Ghalibnya, kerja di bawah inisiasi mandiri sang wartawan, secara independen, profesional dan penuh integritas.
Almarhum Budiman S Hartoyo (BHS), sangat penyayang dengan anak muda. Jadi kalau BSH berkisah dan melakukan transfer knowledge ilmu menulisnya, baiknya saya bercerita saja.
Ibarat orang yang mau belajar melukis, kata BSH, tidak bisa dia langsung melukis dengan gaya kubisme seperti gaya Picasso, AS Budiono, Fajar Sidik, atau modern abstrak seperti gaya Mondrian atau Affandi. Ia terlebih dahulu harus belajar melukis dengan gaya Leonardo Da Vinci atau Basuki Abdullah yang naturalis, bahkan berkali-kali harus studi atau berlatih menggambar anatomi tubuh manusia.
Misalnya, wujud tangan kanan mulai dari pergelangan tangan dan lima jari-jarinya yang sedang mencengkeram, atau wajah seorang perempuan yang sedang meringis atau menangis – tampak guratan urat dan kerut-merut kulitnya. Persis dan detil! Barulah setelah itu ia boleh mencoba melukis dengan gaya modern, abstrak atau ekspresionistis. Pendeknya, seorang wartawan yang bermaksud belajar menulis news feature dan literary journalism, terlebih dahulu wajib memahami basic journalism. Ya, wajib!
Jurnalisme literair sesungguhnya dimulai pada tahun 1970-an, ketika Tom Wolfe – seorang jurnalis di New York, Amerika Serikat — memperkenalkan gaya penulisan dalam pers yang sama sekali baru yang ia sebut “new journalism.” Namun, saya kurang sepakat dengan pendapat, bahwa jurnalisme literair di Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam sebuah kursus di Jakarta pada Juli 2001. Menurut saya, secara lebih luas, jurnalisme literair di Indonesia dimulai dengan terbitnya Majalah Berita Mingguan TEMPO, terutama ketika pemimpin redaksinya, Goenawan Mohamad – seperti halnya Tom Wolfe — memperkenalkan apa yang ia sebut “jurnalisme baru”.
Menurut GM, gaya TEMPO yakni menulis berita secara bertutur (deskriptif), adalah kombinasi antara ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian bersastra. Memang, gaya TEMPO seperti itu diakui berkat “cipratan” inspirasi dari gaya penulisan berita TIME, Weekly, Newsmagazine. Tapi, jauh sebelumnya sudah ada para wartawan senior yang menulis dengan gaya jurnalisme literair, seperti M. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang menulis laporan perjalanan Dari Rumah ke Barat.
Bahkan jauh sebelumnya, Adinegoro sudah menulis jurnal perjalanan Melawat ke Barat yang dimuat berseri di majalah Pandji Poestaka (Baca: Laporan Basah Laporan Sampah, Laporan Kering Laporan Berdaging).
***
SELAIN secara teknis sudah harus memahami apa itu straight news, metode piramida terbalik, persyaratan 5W 1H, dan tentang news feature, seorang wartawan yang ingin menulis dengan gaya jurnalisme literair harus memenuhi beberapa persyaratan penting lainnya. Pertama, ia harus punya wawasan luas karena sering dan banyak membaca buku.
Seorang wartawan memang harus banyak membaca buku. Tentu saja buku yang berkaitan dengan bidang minatnya. Tapi, membaca buku apa saja, itu penting. Dengan membaca buku, pengetahuan dan wawasan kita menjadi luas.
Dengan wawasan yang luas, pemilihan terhadap topik-topik yang akan kita tulis bisa beragam dan selektif. Selain itu ketika melakukan wawancara, pertanyaan yang kita ajukan tidak monotone (datar), bahkan bisa berkembang menjadi diskusi kecil. Ketika si wartawan melakukan reportase, ia mampu melihat situasi yang berbeda dibanding hasil reportase wartawan lain.
Demikian pula ketika si wartawan melakukan riset untuk memperkaya bahan wawancara atau reportasenya; ia dapat menemukan bahan-bahan yang lebih kaya. Bahkan ketika menyusun outline dan menulis, ia mampu mempertimbangkan mana yang bagus untuk dimanfaatkan, dan mana yang lebih baik dibuang. Berkat wawasan yang luas itu pula, ia mampu memiliki kepekaan dalam mengendus berita, memiliki nose of news. Ia mampu memilih mana kasus atau topik yang menarik atau layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Ini sangat penting, sebab sebuah news feature yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair tidak hanya harus menarik dari segi gaya penulisannya, melainkan juga tergantung dari menarik tidaknya kasus atau topik yang ditulis.
Berkat nose of news (kemampuan mengendus berita) itulah ia mampu menentukan atau memilih mana kasus atau topik yang magnitude atau bobotnya besar sehingga layak untuk kita tulis. Ilmu menulis jurnalistik hanya akan menjadi teori belaka dan menumpuk di ruang perpustakan kita. Maka agar ilmu menjadi tidaķ sekadar teori, baiknya kita mulai menulis saja. Kembali ke lapangan. “a journalist must reportase. i’m reporter and must write. Last go on.[]