Senja.
Adalah satu waktu yang paling dinanti sebagian insan, untuk menitipkan rasa rindu, ketika sang piringan matahari kembali ke peraduan. Senja yang tak pernah bosan memberi keindahan, tetapi selalu bertamu dalam waktu singkat setiap harinya.
Namun, suasana indah itu tidak begitu berarti bagi seseorang yang tak menyukai senja. Mereka justru lebih senang kala bentangan langit gelap mulai menyapa bumi. Karena bagi segelintir orang, malam adalah pelepas lelah, dan waktu ternyaman untuk kembali menjadi diri sendiri, setelah seharian berusaha bersembunyi di balik seulas senyum hangat.
Ya ... Seperti dia.
Seorang gadis pembenci cahaya lembayung, yang saat ini tengah duduk di sebuah balkon kamar rumah sakit. Menatap taburan benda langit pemancar cahaya, berteman rembulan penuh, penyempurna malam. Ia bahkan tak peduli, embusan angin dingin yang membelai wajahnya, seakan menusuk pori-pori kulit.
Sembari memegangi labu infus yang sengaja ia taruh di atas kepala, gadis bertubuh kecil, dengan rambut sebahu tergerai itu, menghela napas panjang.
“Bang, dateng ke rumah sakit, mau jagain Senja, atau mau kerja, sih?” protes gadis itu, ketika melihat pria berkemeja putih yang duduk bersila di sampingnya, tengah fokus pada layar laptop di atas pangkuan.
Pria tampan itu menoleh sesaat, lalu kembali bergelut dengan pekerjaannya yang tak dapat ditinggal barang sedetik.
“Selagi bisa dilakuin secara bersamaan, ya ... Abang lakuin keduanya,” jawab pria itu dengan santai.
“Terus, kenapa Abang gak izinin Senja buat lanjutin pekerjaan kemarin? Kak Lulu pasti udah nungguin naskahnya buat di review!” Lagi-lagi, gadis itu melemparkan protes pada sang Kakak.
“Salah sendiri, kenapa kamu gak jaga kesehatan sampai drop, dan pingsan di kamar kaya kemarin? Sampai-sampai, tekanan darah tinggi Bunda kambuh lagi, karena mikirin kesehatan kamu,” jawab lelaki itu.
“Kemarin, obat Senja habis, Bang Kiki. Senja juga gak tahu akibatnya akan sefatal itu.”
Mendengar kilahan sang adik, pria berdada bidang itu mengalihkan perhatian, lalu memandang gadis di sampingnya, dengan tatapan tajam.
“Kalau udah tahu habis, kenapa kamu gak bilang sama Abang dari dua hari yang lalu?” tanyanya.
Dengan wajah memelas karena merasa bersalah, gadis itu menunduk, sembari memegangi labu infus di kepalanya. “Senja kelupaan, Bang.”
“Berapa kali, sih, Abang harus bilang? Kalau obat kamu sisa enam butir, kamu harus cepet-cepet bilang sama Abang! Kalau udah kaya gini, gak cuma Bunda yang khawatir sama kesehatan kamu, tapi Abang juga, Senja! Abang bawelin kamu, bukan karena Abang benci. Justru, karena Abang sayang sama kamu. Abang gak mau, adik Abang satu-satunya ... adik Abang ... satu-satunya ....” Seakan ragu mengatakan kalimat selanjutnya, pria tampan itu perlahan terdiam, lalu membuang muka ke sisi lain, untuk menutupi kesedihannya.
Namun, gadis yang sangat paham betul, kenapa sang Kakak berhenti, dan tidak melanjutkan perkataannya, seketika tersenyum getir di balik rambut yang menutupi kedua sisi wajah.
“Lambat laun, cahaya senja pun akan memudar, ketika sang piringan matahari kembali ke peraduannya. Dan Senja juga tahu, bagaimana cara berpamitan dengan indah.”
Perlahan namun pasti, gadis cantik itu mengangkat kepalanya, menatap dalam-dalam pada sosok sang Kakak yang masih memalingkan wajah. “Senja kecewa, karena semesta selalu bersikap kejam, dan gak pernah memihak sama Senja. Tapi setidaknya, semesta mendengar, apa yang selalu Senja bisikkan di setiap berdoa dalam keheningan," lanjut gadis itu, dengan sangat tegar.
***