--- Aku tak pandai merayu,
--- Jika ini adalah perasaan semu,
--- Mengapa semua nampak indah?
--- Membayangkan jika kita adalah, satu!
***
Ghibran membawa Lila kekamar mengunci pintu kamar dan meminum wine yang memang tersedia di kamar itu. Menenggak habis sampai satu gelas. Tak perduli jika dia akan mabuk, dia sangat marah. Bisa – bisanya ada seseorang yang ingin melukai istrinya di hadapannya.
"Dia siapa?"
"Leonardus, anak sahabat papa, dia bilang dia cinta aku dan aku tega karena tidak mau menikah dengannya," Lila menunduk, baru pertama kali dia melihat Ghibran semarah ini.
Ghibran duduk di ranjang samping Lila, "Maaf harusnya tadi aku tidak meninggalkan kamu sendirian, kamu pasti takut ya?" Ghibran menyelipkan rambut Lila ke balik telinganya, Lila menoleh padanya dan memeluknya. Dia mengangguk, sungguh dia sangat ketakutan tadi, sepertinya Leonardus telah mabuk sehingga berani melakukan itu terhadapnya, dan parahnya Eros tidak bersama mereka karena anaknya yang katanya sedang demam.
Ghibran menepuk pelan punggung Lila seolah menguatkannya, tangan sebelahnya membelai pipi Lila dan menyentuh bibir wanita itu, Lila mendongak dan membiarkan Ghibran menciumnya. Aroma wine tercium dari mulut Ghibran dan juga rasa manis yang tertinggal dari minuman beralkohol itu masih terasa di bibir Ghibran.
Lila membalas lumatan itu dengan sama panasnya. Ghibran seolah menuntut lebih dan lebih dari bibir Lila, dilesakkan lidahnya, Lila yang belum mengerti hanya mendiamkan lidah itu, dan lidah Ghibran membelit lidah Lila hingga wanita itu merasakan sensasi luar biasa dan membuat bagian bawah tubuhnya terasa basah.
Ghibran menarik turun resleting di punggung Lila dan menurunkan gaun Lila hingga meninggalkan bra yang masih melekat menutupi bukit kembar Lila. Mulut mereka masih berciuman dan Lila mulai berani mengeluarkan lidahnya dan melesakkan ke mulut Ghibran, Ghibran menghisap lidah Lila dengan sangat kuat dan b*******h sepertinya Wine membakar hasratnya malam ini.
Ghibran merasa perlu mengambil udara, dia melepas ciuman itu dan menyatukan kening mereka. Sambil tanganya membuka kemejanya dan melemparkan ke lantai. Bahkan lelaki itu membuka ikat pinggang dan menanggalkan celananya. Dia meminta Lila berdiri dan membiarkan gaunnya lolos, wajah Lila memerah, pertama kalinya dia bertelanjang di depan pria dan itu adalah suaminya.
Ghibran duduk di pinggir ranjang dan mengajak Lila duduk di pangkuan menghadapnya, Lila masih mengenakan bra dan celana dalam berenda berwarna putih.
Ghibran mencium bibir Lila lagi, lalu ciumannya bergeser membelai lembut daun telinga Lila, ciuman itu turun ke leher Lila, Lila sampai mendongak karena sentuhan lembut bibir Ghibran sangat memanjakannya. Tangan Ghibran terulur membuka kait bra Lila dan melepaskannya hingga bagian tubuh atas Lila benar-benar polos, Lila bisa merasakan junior Ghibran mengeras dibawah sana. Sangat tepat berada dibawah kewanitaannya.
Ghibran memanjakan p******a Lila dengan jilatan, hisapan dan lumatannya, sungguh Lila merasa terbang dengan perlakuan lelaki itu, dia merasakan sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Ghibran menyentuh inci demi inci kulit Lila, membuat Lila semakin b*******h dengan perasaan menggelitik yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ghibran merebahkan tubuh Lila dan menindihnya, "Aku basahin dulu ya," ucapnya, Lila tak mengerti dan hanya terdiam ketika Ghibran menurunkan ciumannya ke pangkal paha Lila, wanita itu menggelinjang kegelian apalagi saat Ghibran menurunkan celana dalamnya dan meniup pelan kewanitaannya, Ghibran melesakkan lidahnya membasahi kewanitaan Lila hingga wajah wanita itu memerah dan mata Lila terpejam di dera kenikmatan luar biasa.
Ghibran melepas celananya dan menindih Lila, memagut bibir wanita itu dan melesakkan batang kejantanannya di milik Lila. Secara pelan namun pasti, dia sangat pandai membuat Lila rileks hingga Lila merasa sangat siap dimasukkinya. Rasa menyengat memang di rasakan Lila namun anehnya dia tak ingin melepaskannya.
Ghibran mendiamkan miliknya beradaptasi didalam sana. Lila membuka matanya, menatap mata Ghibran yang seolah menusuk matanya, Ghibran mengecup mata Lila bergantian kanan dan kiri, lalu mulai menggoyangkan pinggulnya perlahan. Mencapai kenikmatan duniawi bersama dengan istri yang telah resmi menjadi miliknya.
Desah nafas mereka bersatu dengan irama penyatuan dua kulit, dan jerit tertahan Lila yang didera hasrat menggebu, debur ombak dan kapal yang bergoyang membuat perjalanan mereka untuk mencapai kepuasan semakin terasa menyenangkan.
Semesta seolah mendukungnya, desau angin yang masuk melalui kaca jendela menyamarkan desahan Lila dan Ghibran yang saling memacu gairah. Hingga pelepasan mereka berdua terjadi bersamaan dan tubuh Ghibran ambruk diatas Lila. Mendiamkan o*****e pertama mereka. Sementara bulir keringat membasahi kulit mereka sebagai saksi pergulatan mereka yang panjang dan sangat nikmat itu telah berakhir untuk saat ini.
Ghibran mengangkat tubuhnya, dan Lila merasa ruangan yang semula penuh itu kini terasa kosong. Ghibran menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua, kepala Lila berbaring di d**a Ghibran, memainkan p****g p******a lelaki itu yang berwarna kemerahan.
"Ban, kamu sayang aku?"
"Tentu," jawab Ghibran,
"Cinta?"
"Ya, aku cinta kamu," ucap Ghibran, Lila mendongak dan mengecup bibir Ghibran.
"Aku juga," ucap Lila riang, Ghibran tersenyum dan mengusap kepala Lila, memainkan rambut wanita itu sementara senyumnya hilang saat Lila tak lagi menatapnya.
Dia tak mau Lila salah paham jika dia tak mengucapkan cinta, bukankah perasaannya tidak penting saat ini?
Bukankah kebahagiaan Lila lebih penting dari segalanya di dunia ini? Seperti keinginan ayah mertuanya, dan dia akan mewujudkan keinginan itu. Karena dia juga membutuhkan Lila demi cita-cita yang sempat dipendamnya. Bertahun silam.
***
Ghibran sedang menemui temannya di belakang kantor, seorang pria yang memakai kaos security itu menghisap rokok dan membuang asapnya ka wajah Ghibran.
Hari ke lima setelah pernikahan, Ghibran sudah mulai masuk kerja. Dia menjadi tangan kanan Vincent saat ini, saham yang diterimanya cukup banyak di perusahaan, dan Vincent benar-benar mempercayakan pada menantunya itu.
"Ada yang lupa kayaknya," sindir pria bertubuh kekar itu, warna kulitnya hitam legam.
"Kemarin sibuk ngurus pernikahan," jawab Ghibran, menoleh ke kanan dan kiri, sepi, tak ada siapapun kecuali mereka berdua di tempat ini.
"Nggak lupa kan jasa saya?" leleki itu tersenyum miring dan menghisap rokoknya lagi. "Kamu ketemu nona juga kan atas jasa saya, tapi saya belum mendapatkan bayaran sama sekali!" nada suara pria bernama Aldo itu agak tinggi kentara sekali bahwa dia menahan marah.
"Saya tidak pernah lupa, ide itu kan tercetus karena telah lama kita bicarakan,"
"Ya, beruntung komandan tidak memecat saya karena bos besar tidak menghukumnya,"
"Komandan tahu?" tanya Ghibran, merujuk pada komandan security yang dipanggil Vincent ke ruangannya kala itu.
"Tentu, dia hanya meminta saya untuk tak masuk kerja sebulan, agar tak ada yang curiga, kalau dia tidak tahu, tidak mungkin saya dilepaskan begitu saja," sungut Aldo, Aldo dan Ghibran adalah teman sejak lama, hanya nasib yang membedakan mereka. Sejak sekolah menengah pertama, mereka berdua menjadi juru parkir minimarket, sampai SMA mereka satu sekolah, bahkan bersama mengajar bela diri.
Yang membedakan adalah Ghibran melanjutkan ke jenjang universitas, sementara Aldo berpuas diri bekerja sebagai security di perusahaan bonafid itu.
"Mana nomor rekening kamu? Dan ingat, jangan pernah bahas hal ini dengan siapapun!" ucap Ghibran mengeluarkan ponselnya.
"Komandan juga minta bagian,"
"Ya, saya kirimkan sekalian, sebagai uang tutup mulut,"
Aldo mengirim nomor rekening yang langsung diisi oleh Ghibran. "Jangan pernah temui saya lagi!" ucap Ghibran seraya memasukan ponsel dalam saku jasnya.
"Saya punya kartu kamu Ghibran," seringainya. Ghibran hanya menggeleng dan meninggalkan pria itu, dalam hati dia berkata bahwa dia akan menyingkirkan Aldo juga atasannya, agar dirinya lebih tenang.
***
"Dari mana?" tanya Vincent saat Ghibran masuk ruang kerjanya, ternyata lelaki itu sudah menunggu di dalam ruangannya mungkin sudah dari tadi, entahlah? Menutup koran yang dibacanya dan meminum teh yang tersedia di meja.
"Habis ketemu teman tadi," Ghibran berusaha tenang, dia tak boleh kikuk atau mertuanya akan mencurigainya. Vincent hanya melirik Ghibran, meletakkan cangkir teh itu di meja. Ghibran duduk di sofa tunggal, di hadapan Vincent.
"Kapan kalian berangkat ke Bali?" tanya Vincent lagi.
"Besok pagi Pah," jawab Ghibran, membiasakan diri memanggil papah pada atasannya di perusahaan ternyata tak semudah kelihatannya, memang di depan orang lain dia tetap memanggil Bapak, namun di saat berdua seperti ini Vincent akan bersikap santai dan meminta Ghibran memanggilnya Papah sama seperti Lila memanggil ayahnya.
"Fase tidur panjang Lila memang sudah terlewati bulan ini, namun bukan berarti dia tak mengalaminya lagi, karena ada beberapa saat dia mengalami tidur panjang beberapa kali dalam satu bulan, karenanya kamu jangan pernah jauh dari dia ya, saya khawatir jika dia tertidur saat kalian tidak bersama."
"Iya Pah, saya akan selalu disamping Lila," Vincent berdiri, mengancingkan jasnya dan merapikan ujung jas hitamnya itu.
"Cari cara untuk menghindari orang-orang yang ingin memanfaatkanmu, sebelum terlambat!" ucap Vincent seolah mengetahui sesuatu. Ghibran sampai menahan nafasnya karena terkejut, Vincent bahkan tak meliriknya saat berjalan ke luar dari ruangan Ghibran. Lelaki itu mengusap wajah dan memegang keningnya, hal yang harus dia lakukan adalah menutup mulut Aldo. Dan Ghibran akan memastikan lelaki itu tidak berbuat yang macam-macam yang membahayakan eksistensinya sebagai suami dari Lila.
***
Ghibran baru akan memasuki mobil pribadinya yang diberikan oleh mertuanya, sedan mewah berwarna hitam metalik, bahkan dia pun tak pernah bermimpi memiliki mobil itu sebelumnya, namun kini kehidupannya telah berubah. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak di kenalnya, awalnya Ghibran mengabaikan namun penelepon itu seolah tak putus asa, menelepon lagi dan lagi.
"Ghibran ini aku Bunga," ucap seorang gadis dengan suara parau, saat panggilan masuk drinya baru saja di terima Ghibran, dari nada suaranya terdengar dia sedang menangis atau menahan sakit.
"Kenapa?" tanya Ghibran datar, sungguh jika bisa ingin dia mematikan panggilan itu, namun hati seolah melarangnya, dia merindukan suara wanita yang selama lima tahun lalu pernah mengisi hari-harinya yang kelam.
"Aku,, aku takut Ghibran, tolong aku,"
"Telepon polisi jika terancam, bukan aku!" Ghibran memutuskan panggilan itu, namun ponselnya kembali bordering.
"Hanya kamu yang bisa menolong aku, please Ghibran aku kesakitan," ucapnya terputus-putus, lalu panggilan itu diputuskan Bunga, dilanjutkan dengan mengirim peta lokasi.
Ghibran ragu, namun dia tak bisa membiarkan Bunga saat ini, setelahnya dia akan memastikan bahwa tak akan berurusan dengan wanita itu lagi.
***
bersambung