7. Kelam

1624 Words
--- Hanya aku, Kamu dan Tuhan yang tahu, --- Biarkan Sujudku, --- Bertirakat menyebut namamu, ***  Dengan langkah malas, Ghibran melangkah menuju ke sebuah apartmen yang dia tak ketahui milik siapa? Apakah milik Bunga?  Dia hanya mendapat titik lokasi di apartmen itu, serta kiriman nomor apartmennya, Ghibran menekan tombol bell depan pintu apartmen, itu namun tak ada suara yang membalasnya.    Dia mencoba menghubungi Bunga, terdengar samar dering telepon dari dalam apartmen dan Ghibran mencoba mendorong pintu apartmen tersebut yang ternyata memang tidak terkunci.    Dipendarkan pandangannya ke sekitar, tampak ruangan itu sangat berantakan, bahkan beberapa figura foto yang pecah dan terjatuh di lantai.    Kacanya berhamburan, Ghibran terus berjalan mencari asal suara dari ponsel Bunga. Suaranya jelas berasal dari salah satu ruangan lain, dimana pintu ruangan itu terbuka.    Ghibran membukanya semakin lebar dan mendapati Bunga tengah meringkuk di sudut kamar, bajunya terkoyak dan banyak lebam di tubuhnya.    Sudut bibir berdarah dan mata yang membiru. Ghibran berlari menghampirinya dan menepuk pelan pipi Bunga agar wanita itu tersadar. Bunga membuka matanya lemah dan meringis.  "Kamu datang?"  "Harusnya kamu telepon polisi!" geram Ghibran, Bunga menggeleng.    "Dia tidak boleh di tangkap polisi," ucap Bunga lemah.    "Kita ke rumah sakit sekarang!" Ghibran mengangkat tubuh Bunga dan menggendongnya, Bunga mengalungkan tangannya di leher Ghibran bersandar pada d**a pria itu dan tak henti mengeluarkan air mata.    Ghibran langsung membawa Bunga ke parkiran di basement, tak ingin di curigai petugas keamanan di lobi. Karenanya dia memasukkan Bunga ke mobilnya dan melajukan mobil menuju rumah sakit.    Petugas medis bergegas menolong Bunga, membersihkan lukanya dan mengompres bagian yang lebam.    Bunga juga diberikan infus agar lebih segar, melihat dari wajahnya yang sangat pucat.    Setelah itu Bunga dibawa ke ruang rawat inap. Ghibran masih menungguinya sampai para perawat itu pergi.    "Kamu harus hubungi orang tua kamu, setidaknya."  "Mereka akan menyalahkan aku," ucap Bunga lemah.    "Sebenarnya apa yang terjadi?"    Bunga menarik nafas panjang, membuang pandangan ke arah jendela kamar rumah sakit, matanya menerawang jauh ke kejadian beberapa tahun silam.    "Perusahaan ayah bangkrut, ayah meminjam uang dari lintah darat untuk menutup semua kerugian karena pihak bank pun sudah tak mau menggelontorkan dana, semakin lama bukannya semakin bangkit, perusahaan ayah semakin terpuruk, tak mampu membayar biaya bank dan lintah darat itu, hingga akhirnya aku dibawa oleh rentenir tersebut agar ayah melunasi hutang, namun ayah tak bisa berbuat apa-apa hingga di akhir hayatnya." Bunga terisak, menutup mata dengan tangannya.    "Aku menjadi simpanan rentenir itu sejak saat itu, , dan ibu justru menikah lagi dengan pria lain dan tak mempedulikan aku, aku sudah hancur Ghibran, aku memang di perbolehkan bekerja, namun ada satu atau dua malam dalam sebulan ada masa-masa aku harus melayani dia dan... dan dia akan memperlakukan aku layaknya hewan, lelaki tua itu sangat b******k, tapi aku tidak bisa apa-apa, anak buahnya sangat banyak,"  "Berapa hutang kamu?" Ghibran melihat mata Bunga yang terus saja mengeluarkan air mata. Bunga menggeleng, "tidak tahu, sudah bertambah berapa banyak?" Ghibran membuang nafas gusar, seandainya dulu dia bisa menjadi orang sukses dan mempersunting Bunga, tentu nasib wanita itu tak akan seperti sekarang ini.    Sebuah panggilan masuk ke ponsel Ghibran, dari Lila. Ghibran meminta Bunga tak bersuara dan dia mengangkat panggilan itu. Dia hanya tak mau Lila salah paham padanya.    "Ya, sayang," ucap Ghibran, Bunga membuang pandangannya, hatinya sakit. Dulu Ghibran hanya mengucapkan sayang padanya, namun kini?  "Lagi di luar sebentar, ya aku pulang sekarang," ucap Ghibran, "Jangan lupa makan malam ya, Love you," ucap Ghibran, matanya melirik ke Bunga yang kini menatapnya lekat. Memutuskan panggilan itu dan meletakkan ponsel genggam di saku jasnya.    "Biaya administrasi rumah sakit sudah aku lunasi, kamu istirahat saja, jangan temui laki-laki itu dahulu, aku akan cari cara untuk membantu kamu," ucap Ghibran, berdiri dan berniat pergi, tangan Bunga mencegahnya, menarik ujung jasnya.    "Kamu mau kemana?"  "Pulang, istriku menunggu," Ghibran melepaskan tangan Bunga yang masih memegang ujung jasnya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Dia mencoba memantapkan hati, bahwa membantu Bunga bukan karena dirinya yang masih menyayangi wanita itu, namun dia hanya simpati pada seseorang yang pernah dikenalnya, orang yang pernah menorehkan luka terdalam. ***    Ghibran masuk ke kamar besar milik Lila yang juga kini menjadi kamarnya, Lila masih duduk menekuri laptopnya. Mendongak dan menyodorkan tangannya untuk mencium punggung tangan Ghibran.   Semenjak menikah, mencium punggung tangan suaminya menjadi sebuah kebiasaan baru untuk Lila, kebiasaan yang menyenangkan salah satu bentuk baktinya terhadap suaminya. Ghibran melihat jam yang menunjukkan hampir pukul sebelas malam, padahal malam sebelumnya Lila selalu tidur sebelum jam sepuluh.  "Kok belum tidur?" Ghibran mengecup kening Lila, lalu membuka jas juga kemejanya dan meletakkan di keranjang pakaian kotor.   "Mau nunggu kamu," jawab Lila sembari tersenyum, mematikan laptopnya dan meletakkan diatas nakas.   "Sudah makan?" Ghibran menoleh, dan mengernyitkan kening saat Lila menggeleng.  "Kamu sudah makan?" tanya Lila lagi, "Aku tadi belajar masak, mau coba masakan aku?" sambung Lila.  "Kebetulan aku belum makan dan lapar," ucap Ghibran.   "Aku panasin makanannya ya," Lila turun dari ranjang dan tersenyum riang.   "Ya, aku mandi dulu, nanti aku susul ke ruang makan," ucap Ghibran, membalas senyum istrinya yang sangat cerah, Ghibran selalu melihat binar cinta di mata Lila, sebuah cinta yang sangat tulus, yang entah mengapa membuat dia sedikit sedih, bagaimana kalau Lila tahu bahwa sampai kini di hatinya nama Lila masih tampak samar.   Lila berjalan riang menuju dapur utama, memanaskan ayam rica-rica yang tadi dia buat, sejujurnya dia baru belajar masak, mengiris cabai dan bawang merah yang rasanya sangat pedih dimata. Mencoba memotong daging ayam sesuai instruksi Uncle Ko, memasukkan beberapa bumbu yang bahkan masih belum di hapalnya.   Dia bahkan tak memakan ayam rica-rica itu karena ingin tahu reaksi Ghibran saat mencoba masakannya, karenanya dia sangat antusias menunggu Ghibran pulang, meskipun agak kecewa karena suaminya pulang terlambat, namun tak apa, selama dia masih bisa menghubungi suaminya itu.   Lila sudah menata makanannya di meja makan, lengkap dengan air mineral, serbet makan, dan lilin yang dinyalakan agar lebih syahdu.   Ghibran memakai baju santainya, mengusap kepala Lila dan duduk di sampingnya.   Lila menyendok nasi ke piring, dan menyodorkan lauknya pada Ghibran, Ghibran menyendok lauk itu, memakan satu potongan kecil ayam dan tersenyum pada Lila.   "Bagaimana rasanya?"  "Enak, kamu belum coba?" Lila menggeleng.  "Beneran enak?" tanya Lila tak yakin, Ghibran mengangguk dan menyuap lagi satu suapan, Lila jadi penasaran, apakah benar rasanya se-enak itu karena Ghibran terlihat menikmatinya. Diambil sendok dan mencicipi potongan ayam itu, lalu dia mengernyit.   "Asiiinn,, Stop Iban, jangan dimakan!" ucap Lila, Ghibran justru tertawa.   "Nggak apa-apa, aku suka asin," Ghibran mengusap kepala Lila, "Terima kasih sudah mau masakin suaminya," goda Ghibran membuat Lila tersipu.   "Nanti sakit perut," Lila memelas, Ghibran terus saja memakan makanannya sampai habis.  "Nggak, tenang aja, perut aku kuat, lagi pula aku seneng bisa makan masakan istri sendiri, sering-sering yaa masakin aku," tutur Ghibran, menyelesaikan makannya dan meminum air yang telah di tuang Lila di gelas. Mengelap mulut dengan serbet dan meletakannya di meja.   "Mulai besok aku akan lebih giat belajar masak,"  "Nah gitu dong," Ghibran mencubit hidung Lila dengan gemas, "Tapi besok kan kita mau ke Bali? Lupa?" tanya Ghibran.   "Oiya, kalau gitu nanti setelah pulang dari Bali," kekeh Lila, menjentikkan tangan, memanggil pelayan yang sudah bersiap di dekat mereka, pelayan itu membersihkan meja makan, sementara Lila menggamit lengan Ghibran, berjalan menuju kamar mereka.   Lila naik ke ranjang duluan, Ghibran mengecek ponselnya dan ada sebuah pesan ucapan terima kasih dari Bunga, entah Bunga mendapat nomornya dari mana tadi saat meneleponnya? Ghibran berusaha tak peduli, menghapus pesan itu dan mematikan notifikasi ponselnya. Lalu ikut berbaring di samping Lila.   Membaringkan kepala Lila di dadanya, sementara tangan sebelahnya dipakai untuk bantalan kepalanya, mengawang menatap langit-langit kamar. Entah kenapa dia susah sekali menepis bayangan ketakutan dan kesakitan Bunga tadi.   Sebegitu menderitanya kah dia? Lalu mengapa dia tak menghubunginya sejak awal dijadikan b***k oleh lintah darat itu? Mungkin jika dia bertemu Bunga duluan, dia akan menikah dengannya, namun apakah itu yang akan terjadi?   Sia-sia selama ini Ghibran mengeraskan hatinya untuk Bunga atau wanita manapun, karena melihat tatapan dari wanita itu saja membuat Ghibran susah memejamkan mata seperti saat ini.   Nafas Lila terdengar teratur, sepertinya wanita itu sudah tertidur pulas. Ghibran dengan perlahan memindahkan kepala Lila ke bantal, sangat pelan agar tak membangunkan wanita itu, lalu dia berbaring miring, menatap wajah cantik istrinya yang tertidur pulas.   Saat tidur seperti ini, Lila persis seperti bayi, wajahnya yang putih seputih kapas, tatapan matanya yang polos dan senyumnya yang ceria persis anak-anak, apakah Ghibran tega menyakiti wanita yang telah membantu mewujudkan sebagian cita-citanya?   Ghibran mengusap kepala Lila dan mengecupnya, lalu memeluk perut Lila, dia tak akan tega menyakiti wanita itu, namun bagaimana dengan Bunga yang butuh pertolongannya?   Ghibran pun berjanji dalam hatinya setelah menolong Bunga, dia akan memutuskan kontak dengan wanita itu lagi, karena Ghibran tak akan tega menyakiti Lila.   Dia memang mengatur kejadian tempo hari di kantor ayah Lila, tujuan awalnya hanya ingin menjadi pengawal Lila yang kabarnya mempunyai gaji sangat besar, dia tahu bahwa pengawal Lila ingin mengundurkan diri, karenanya dia bekerja sama dengan Aldo untuk sekedar menunjukkan kebolehannya bela diri, hal yang ternyata membawa pengaruh lain.   Dia tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa kejadian hari itu membuat Lila tertarik dan jatuh cinta padanya sebagai seorang wanita terhadap pria, dia tak pernah menduga bahkan bisa menikahi wanita putri konglomerat itu dan semudah itu mendapat restu dari ayahnya.   Bagai tertiban durian runtuh, Ghibran mendapatkan keberuntungan berkali lipat dari rencananya. Yang semula hanya ingin menjadi body guard namun kini justru menjadi suami dari putri konglomerat tersebut.  Namun kini Ghibran ragu, dia pikir dia akan cepat mencintai Lila karena hatinya yang memang sudah kosong. Lalu saat Bunga hadir kembali, Ghibran baru menyadari bahwa nama Bunga sudah terlalu banyak dan terlalu lama mengisi relung hatinya, sehingga yang awalnya dia pikir rasa benci, justru sebenarnya adalah rasa cintanya, rasa rindunya yang membuncah.   Ghibran mengecup pipi Lila dan mengusapnya, "Maaf," ucapnya pelan, lalu dia memejamkan mata, mencoba menepis bayangan Bunga dan menggantinya dengan wajah Lila, meskipun sulit, namun dia bisa tertidur karena itu.  ***  bersambung        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD