Chapter 2

1038 Words
Nafisah menatap Danish yang kini sibuk memegang ponsel nya. Ntah hal apa yang sedang di lakukan pria itu, namun ia yakin, Danish sengaja melakukanya semata-mata hanya untuk menghindari pembicaraan padanya. "Nak Fisah, bagaimana kabarnya? Apakah kamu sehat?" "Ha?" Aminah tersenyum kecil. Sadar kalau sejak tadi Nafisah terlihat diam dan tidak banyak berkata apapun. "Em, Alhamdulillah saya baik, Tante. Tante sendiri dan.. " Tatapan Nafisah beralih ke arah Danish. "Mas Danish gimana kabarnya? " "Alhamdulillah kami baik. Iya kan, Danish? " "Hm, ya, begitulah. " Danish hanya mengangguk, memperlihatkan raut wajah senyumannya yang singkat, dan kembali memegang ponselnya. "Tante Nafisah, Diyah kangen Tante. " "Tante juga kangen sama kamu, sayang. Oh iya, Tante ada es cream di kulkas. Apakah Diyah mau?" "Es Cream?" tanya Diyah dengan raut wajah berbinar. "Aku mau, aku mau! " "Kalau begitu, ayo kita ke dapur." Nafisah pun pamit menuju dapurnya bersama Diyah. Rasanya ia juga enggan, berlama-lama duduk di hadapan keluarga Danish yang tiba-tiba datang hari ini. Sementara Latifah, Bunda Nafisah hanya tersenyum ramah sembari kembali berbincang dengan Aminah. Tapi tidak dengan Danish sendiri. Ia sadar, apakah ia bisa menjalani sebuah hubungan yang baru dengan wanita itu suatu saat? *** "Kenapa kamu banyak diam sejak tadi Nafisah?" "Aku hanya memikirkan suatu hal?" "Apa?" "Kenapa, keluarga sahabat aku datang kesini secara tiba-tiba, Ma?" "Loh, memangnya kenapa? Apakah hal itu masalah buat kamu?" "Bukan." Nafisah menggeleng pelan. "Maksud aku-" "Mereka jauh-jauh kesini hanya untuk silaturahim." potong Latifah cepat. "Lagian, mertuanya Danish juga tinggal di wilayah ini. Jadi Diyah sekalian liburan kesini dan nginap tempat Neneknya." "Beneran, Ma?" Latifah mengerutkan dahinya. Merasa heran mendengar semua pertanyaan putrinya. "Kamu kenapa sih?" Bukannya menjawab, Nafisah membalikkan badannya dan berjalan kearah jendela sembari menggigit ujung kukunya. Menggigit kuku adalah kebiasaannya sejak kecil, jika ia sedang mengalami gugup dan gelisah. "Em, aku merasa, kedatangan mereka kemari memiliki maksud dan tujuan lain." "Kalau urusan seperti itu, hanya Allah dan mereka yang tahu, Nafisah. Serahkan semuanya pada Allah. Yang jelas, jika mereka datang lagi ke sini, kita harus menerima dan menghargai mereka sebagai tamu, itu saja." "Bunda?" Nafisah segera mengalihkan tatapannya pada seorang gadis kecil berusia 4 tahun. Gara-gara obrolannya dengan Mamanya di rumah, hampir saja ia melupakan Rara, murid yang sedang ia ajari dalam les private membaca dan menulis. Kegiatan les privat itu adalah kegiatan freelance yang ia lakukan setiap seminggu tiga kali. "Eh? Iya sayang, Rara sudah selesai menulis?" Rara mengangguk. "Sudah Bunda." "Sini, Bunda lihat." Nafisah memperhatikan kerja keras Rara yang berusia 4 tahun. Rara sudah bisa menulis 5 huruf A sampai E. Nafisah tersenyum tipis. "Masya Allah, Rara hebat. Rara juga pintar. Sekarang lanjut lagi ya?" Rara mengangguk antusias, pujian yang di berikan Bunda Nafisah membuatnya semangat dan senang. Tiba-tiba pintu terbuka pelan, seorang pria berusia 29 tahun datang memasuki ruangan. "Assalamualaikum?" "Wa'alaikumussalam." jawab Nafisah pelan. "Yey, Om Irsyad datang!" Dengan riang Rara berdiri dari duduknya sejak tadi dan berlari kearah Irsyad. ia menoleh kearah Rara yang tengah disambut oleh Om nya kemudian di gendong. Seketika Nafisah terdiam. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke arah buku tugas yang ia tulis dengan huruf abjad. Pipi Nafisah merona merah. Sementara jantungnya berdegup kencang. Ntah kenapa selama 3 bulan menjadi guru private Rara, rasa kagumnya pada Irysad semakin menjadi saja. Seperti yang diketahui, kata Bunda Rara, keponakannya bernama Irsyad itu berprofesi sebagai pimpinan perusahaan tambang batu bara. "Sayang, ini ada kue buatmu. Nanti makan sama-sama dengan guru kamu ya?" "Namanya Bunda Nafisah, Om. Bunda sangat baik!" Irsyad tersenyum tipis. Ia melirik kearah Nafisah. Baginya, Nafisah memang cantik dan berwajah teduh. Setiap kali ia mengunjungi Rara, ia sering mendapati Nafisah yang sibuk membuat tugas untuk Rara. "Hm, iya sayang iya, oh iya, Bundamu ada didalam?" "Bunda pergi sebentar sama Ayah." "Oh ya? Kemana?" Irsyad menurunkan Rara dari gendongannya, tapi Rara malah menarik pergelangan tangannya. "Rara nggak tahu. Ayo om, temani Rata belajar. Om harus lihat, Rara sudah hebat menulis huruf. Iya kan Bunda?" Seketika Nafisah tersentak. Sebenarnya ia sudah selesai membuat huruf untuk Rara. Tapi sejak tadi ia pura-pura sibuk agar tidak menatap interaksi Rara dan Irsyad. Demi menghargai Rara, akhirnya Nafisah pun menoleh kearah keduanya. "Masya Allah, kenapa Irsyad makin hari makin tampan saja?" ucap Nafisah dalam hati. "Em, iya sayang. Ayo lanjut lagi belajarnya." Rara pun kembali mendekati Nafisah. Tapi tidak dengan Irsyad sendiri, ia hanya tersenyum tipis melihat Nafisah yang ramah dan santun. Akhirnya, ia pun memilih pergi dari sana dan menuju kamar tamu. Setelah kepergian Irsyad, saat itu juga Nafisah bernapas lega sambil mengelus dadanya dengan pelan. Ia sendiri tak habis pikir, apakah ia selalu begini jika bertemu Irsyad? Irsyad seperti membuatnya selalu tersipu malu-malu dan gugup di saat bersamaan. Apalagi Irsyad memiliki wajah yang tampan. *** Irsyad sudah berada di dalam kamarnya. Sejenak, ia termenung dalam diam. Pikirannya secara tidak langsung teringat pada Nafisah. "Kenapa setiap aku melihatnya dia terlihat gugup? atau hanya perasaanku saja?" Sebenarnya Irsyad ingin saja berkenalan dengan Nafisah. Tetapi rasanya begitu segan. Di satu sisi, Tiba-tiba ia teringat ucapan orang tuanya bahwa dirinya harus segera menikah. "Kayaknya wanita seperti Nafisah tidak ingin pacaran. Apa aku harus langsung ke intinya dan lamar dia?" Mendadak Irsyad seperti orang bodoh. Perkara soal wanita sebenarnya susah susah gampang. Kalau ia salah mendekati, di khawatirkan wanita tersebut akan ilfeel dengannya. Jangan sampai itu terjadi. Akhirnya Irsyad pun memberanikan diri keluar kamar, ntah kenapa langkahnya langsung menuju ruang tamu dan malah mendapati Nafisah duduk sendirian disana. "Loh, Rara mana?" Nafisah sedikit terkejut dengan kedatangan Irsyad yang tiba-tiba. "Em, tadi dia izin ke toilet." "Oh begitu.." Untuk menghilangkan rasa canggung, Irsyad mencoba untuk keluar rumah walaupun hanya sekedar duduk di teras. Irsyad mencoba untuk tenang. Padahal niatnya ingin berkenalan, kenapa sekarang ia terlihat seperti orang bodoh. Di sisi lain, Nafisah juga terlihat tidak tenang. Ia mendapati Irsyad ada duduk di teras. Sekarang hatinya tambah deg-degan. "Kok Rara lama banget sih ke Toilet? bikin aku tambah grogi sendirian disini. Apalagi ada dia duduk di teras." Irsyad pun akhirnya memilih untuk berdiri. Ia menarik napas sejenak. "Oke, aku cowok. Aku harus percaya diri hanya untuk berkenalan.." Irsyad pun bertekada masuk kembali masuk ke dalam rumah.Tapi sepertinya, kali ini Irsyad tidak beruntung. Baru saja ia memiliki sikap berani untuk berkenalan namun sayangnya, Nafisah terlihat sibuk kembali mengajar Rara. "Baiklah aku harus sabar. Mungkin belum waktunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD