• KAMAR 07 •

1585 Words
Ruang cafetaria, 10:00 am. Semua orang di cafetaria langsung mengerubungi tubuh Elena yang kini tengah mengejang hebat di depan meja counter secara tiba-tiba. Wajahnya yang kini nampak pucat, mendongak ke langit-langit menahan sakit. Tangannya meremas d**a kuat-kuat dan sesekali mulutnya terbuka, nampak hendak memuntahkan sesuatu dari dalam tenggorokannya. (Meski satu-satunya yang keluar hanya angin dan suara hoek yang dipaksakan). Kedua teman Elena yang sedaritadi mengikutinya seperti dayang-dayangpun, tidak tinggal diam. Mereka berusaha membantu gadis bermata emerald (yang tengah sekarat) itu dengan mengipasi tubuh Elena menggunakan kedua tangan mereka. Mereka berdua kelihatan sangat panik, bingung dan... Tentu saja takut. Sementara itu, pria muda berkacamata dengan name tag bertuliskan Carl Simon (yang kebetulan berjaga di balik counter pada hari itu) segera keluar dari bilik meja kerjanya, untuk segera mendekati Elena. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa seseorang akan tiba-tiba menderita karena minuman buatannya. Bukankah nampaknya ini hari yang sial untuk seorang Carl Simon? Alicia yang sebelumnya berniat meninggalkan cafetaria, seolah terpanggil saat kalimat tolong yang nyaring menggema di ruangan tersebut. Gadis bernetra biru itupun segera berlari menuju pusat kerumunan siswa Golden High yang panik di dekat counter cafetaria. Alicia bahkan tidak ingat, di meja mana cangkir espresso miliknya mendarat. Karena ada sesuatu yang lebih penting  menunggunya, daripada sekadar cangkir kopi yang mengepulkan sisa-sisa uap panas di atas meja. Alicia merendah, menyamakan posisi tubuhnya dengan tiga orang yang sudah lebih dulu bersimpuh di dekat Elena. Lalu dengan sigap, punggung tangannya  menempel di dahi Elena yang kini berselimut peluh. "Apa yang terjadi dengannya?!" Alicia menatap tiga orang di depannya bergantian. Dilihat dari ekor mata Alicia, Brittany menyusul dan berdiri tak jauh darinya. Dan gadis berambut pirang itu nyatanya tidak sendiri. Ada Ace dan Luke yang turut mengamati Elena dengan mimik penasaran di sebelahnya. Salah satu teman Elena (gadis berambut hitam sebahu dengan mata cokelat) yang berada paling dekat dengan wajah Elena menggeleng lemah. "Kami... Kami tidak tahu," katanya parau. Alicia memerhatikannya intens. Matanya sembab, sementara kedua pipinya basah. Mungkin ia menangis karena terlalu ketakutan. Sesaat kemudian, netra biru Alicia beralih kepada teman Elena yang lain. Gadis berambut brunette dengan cat merah di ujung rambutnya yang ikal. "Apa kau mengetahui sesuatu?" Gadis yang ditatap Alicia penuh selidik itupun menoleh. Menatap lurus ke arah Alicia dengan tatapan misterius. Alicia membatin, mungkinkah dia Amanda. Tapi sesaat kemudian, gadis itu menggeleng. "Tidak." Bentuk defensif yang diberikan gadis itu malah membuat Alicia semakin curiga.  Bahwa gadis berambut brunette itu adalah Amanda, Amanda Greenie. Seseorang yang diduga meminjam jepit rambut perak milik Elena dan kabarnya sudah menghilangkannya. Alicia memindai gadis di depannya dengan hati-hati. Memerhatikan perubahan ekspresinya yang cukup signifikan. Antara sebelum berinteraksi dengannya dan sesudahnya. Dan anehnya, gadis berambut brunette itu tak lagi terlihat ketakutan dan panik seperti sebelumnya. Bukankah Elena masih terlihat sangat menderita di depan matanya? Kemana derai air mata dan mimik panik yang tadi tampak jelas di wajahnya? Alicia beralih kepada Carl, si penjaga counter cafetaria. "Apa ada sesuatu yang aneh dengan minumanmu hari ini?" Carl mendengus kasar. "Kau bercanda? Espresso buatanku sudah dipastikan kebersihan dan rasanya. Aku juga sudah memiliki sertifikat untuk--" Ia kemudian menggeleng yakin, saat Alicia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Seolah ingin menyampaikan oh-aku-tidak-menanyakan-hal-itu-sekarang melalui tatapan matanya. "Tidak. Kuyakin kami tidak memiliki masalah dengan minumannya." Alicia mengatup mulutnya dan memerhatikan wajah Elena lekat-lekat. Gadis itu dengan perlahan, mengusap kedua pipi Elena. "Elena, apa kau mendengarku?" Ia kemudian berbalik dan menatap Brittany serius saat Elena tidak memberi respons apapun. "Britt, aku butuh ambulance secepatnya," pinta Alicia. Yang kemudian dijawab dengan satu anggukan paham dari gadis berpipi chubby itu. Sejurus kemudian, putri semata wayang kepala NYPD, Paul scoots itupun segera berlari meninggalkan cafetaria untuk melakukan apa yang Alicia minta. Pertama, ia harus mencari CEO Golden High (Mr. Wilson Blake) untuk memberi informasi penting ini dan memintanya menghubungi ambulance. Kedua, Jake, yang kita semua tahu adalah kekasih Elena. "Boleh kuperiksa minumannya?" Alicia mengulurkan tangannya kepada Carl. Carl mengangguk dan bangkit dari lantai. Ia buru-buru mengambil cangkir kopi Elena yang sempat diletakkan di ujung meja counter sebelum tubuhnya terhuyung lemas dan ambruk di depan matanya. "Nona Sanders sempat memarahiku karena ia bilang, kopiku terasa berbeda." Carl menyodorkan cangkir itu kepada Alicia di depannya. "Ia meninggalkan kopinya sebelum tiba-tiba terjatuh." Alicia mengendus permukaan cangkir berbahan dasar kertas atau sering disebut juga paper cup milik Elena. Banyaknya volume kopi di dalam cangkir tersebut, mengindikasi betapa sedikitnya kopi yang sudah diminum Elena. Mungkin karena rasanya sedikit berbeda, lalu Elena memilih untuk tidak meminumnya lagi. Samar-samar, aroma almond menyentuh indera penciuman Alicia. Bahkan, meski kopi yang digenggam erat oleh Carl kini tak lagi mengepulkan uap panasnya. "Apa kau memiliki makanan atau minuman berbahan dasar almond hari ini?" tanya Alicia, tanpa meninggalkan sidik jarinya di cangkir tersebut. Carl menggeleng pelan dan meletakkan kembali paper cup itu ke atas meja. "Tidak. Kami hanya memiliki waffles dan espresso karena barista yang lain mengambil cuti hari ini." Ia mengangkat bahunya acuh. "Kau tahu, kan, aku akan sangat kesulitan kalau membuat banyak minuman untuk--" Carl menjeda, saat lagi-lagi Alicia menatapnya serius. "Baiklah, aku akan berhenti bicara sekarang juga. Maafkan aku," katanya sarkastik. Alicia menggeleng tak habis pikir. Untuk pertama kali di dalam hidupnya, ia menemukan seorang pria yang sangat suka berbicara melebihi para wanita. Ini langka. Tapi bukan berarti Alicia menyukainya. "Apa yang harus kita lakukan untuknya?" tanya Carl panik. "Dia mulai menutup matanya." Kedua manik biru Alicia mengedarkan pandangan ke seluruh arah. Dan dilihatnya, semua mata kini tertuju kepada Alicia, nampak menunggunya untuk mengatakan sesuatu--atau langsung melakukan sesuatu. "Aku akan melakukan CPR." Alicia kemudian sedikit bergeser dari posisinya, menjadi lebih dekat dengan d**a Elena. "Elena terindikasi meminum kopi yang terpapar racun kalium sianida," tambahnya. Semua orang di sekitar Alicia saling melempar pandangan shock dan suara-suara seperti apa, bagaimana bisa, yaampun mulai bertumpang tindih di belakangnya. Mengingat zat tersebut adalah sesuatu yang tidak mudah didapatkan secara bebas (terutama untuk para remaja yang masih bersekolah). Netra birunya kemudian melihat kedua teman Elena yang masih bergeming di tempatnya. Tidakkah salah satu di antara mereka mengetahui sesuatu? batin Alicia. "Aku akan mulai." Alicia berlutut dan menempelkan kedua tangannya tepat di d**a Elena. "Elena, bertahanlah," bisiknya pelan, tepat di telinga Elena yang kini tidak sadarkan diri. Gadis berambut abu itupun segera merendah dan melakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR) sebagai bentuk pertolongan pertama tanpa resusitasi mulut ke mulut untuk Elena. Beberapa kali dipompanya jantung Elena dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya gagal jantung akibat racun tersebut. Alicia menghitung dalam hatinya, satu, dua, tiga lalu ditekannya kuat-kuat jantung Elena. Menghitung lagi, satu, dua, tiga kemudian ditekan lagi. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Setelah itu, Alicia berusaha membuka jalur pernapasan Elena, dengan menengadahkan sedikit kepalanya ke atas dan memposisikan dagunya ke depan. "Elena, apa kau mendengarku?!" Alicia mencoba memancing reaksi Elena. Nihil. Tidak ada respons. Elena hanya terdiam seolah raganya disini, tapi jiwanya telah pergi. Dan untuk memastikan, Alicia segera mendekatkan pipinya ke mulut Elena. Dan walaupun terdengar samar, Alicia yakin bahwa dirinya masih merasakan hembusan napas hangat yang terengah dari dalam tubuh gadis bermata hijau itu. "ELENA! BERTAHANLAH!" Alicia menyemangati, sebelum kemudian memutuskan untuk mencoba melakukan CPR lagi. Jake, tiba-tiba datang dan menarik tubuh Alicia hingga ia tersungkur ke belakang saat tengah melakukan CPR untuk Elena. Ia ternyata berhasil menerobos kerumunan siswa Golden High dengan Mr. Wilson dan Brittany mengekor di belakangnya. "APA YANG KAU LAKUKAN?!" sentak Jake ke Alicia. "Aku..." Alicia menjeda, merasa tidak perlu mengatakan apapun. Ia kemudian mendorong tubuh Jake dan kembali berlutut di dekat d**a Elena. "Minggir, Jake! Aku harus menyelamatkannya." Tapi Jake yang tidak mengerti dengan situasinyapun terbawa suasana. Lelaki yang menggunakan varsity berlambang emas itu malah kembali menarik tubuh Alicia--bahkan lebih kasar dari sebelumnya--hingga kedua siku gadis itu membentur lantai dengan keras. "HENTIKAN! KAU MENYAKITINYA!" Jake berdiri dan menunjuk wajah Alicia dengan geram. Namun tanpa disangka, Ace beringsut mendekat dan meninju wajah Jake dengan satu pukulan telak yang langsung mengenai pangkal hidung lelaki berambut brunette itu. Jake terjungkal ke belakang dengan tetesan darah segar mengalir dari hidungnya. "b******k!" pekik Ace kemudian. Tanpa memberi kesempatan Jake untuk bangkit, Ace langsung menarik kerah jaket Jake hingga mata mereka bertemu. "APA KAU TIDAK BISA MELIHAT SITUASI, huh?!" dan menariknya ke depan tubuh Alicia. "Dia..." Ace menunjuk Alicia dengan satu tangannya, sementara tangan yang lain masih mencengkram kerah jaket Jake. "Berusaha membantu kekasihmu!" Ace lalu menghempaskan tubuh Jake ke lantai dengan kasar. "Lihat! Kekasihmu itu sedang sekarat!" kata Ace dengan nada tinggi. Ia kemudian menendang tubuh Jake dengan menggebu-gebu. "Buka matamu, b******k!" Sebelum Ace kembali menyerang Jake, Luke dengan segera berlari mencegahnya. Dengan beberapa kali aksi dorong-dorongan (karena Ace masih kesal dengan Jake), Luke mati-matian menahan tubuh sahabatnya itu dan berseru, "Tenangkan dirimu, Ace!" Ace terkekeh mencemooh. "Si b******k ini, bukannya berterima kasih malah menyakitinya." Ace menunjuk Alicia yang perlahan bangkit dan kembali mendekati Elena. "Lepaskan, Luke! Biar kuberi dia pelajaran!" Ace kembali mendorong tubuh Luke yang menghalanginya. "Cukup, Ace!" sentak Alicia. Ruangan cafetaria tiba-tiba berubah hening saat suara Alicia menggema di tengah keributan yang dibuat Ace dan Jake. Ace perlahan berbalik dan menemukan netra biru Alicia menatapnya serius. "Sudah cukup," kata Alicia dengan suara serak. "Semua sudah selesai." Ace menekuk dahinya dalam. "Apa maksudmu?" Alicia melepaskan tangannya dari d**a Elena dan menggeleng lemah. Ia bangkit dan menunjukkan matanya yang berkaca-kaca di hadapan Jake. "Kuatkan dirimu, Jake," katanya lirih. Ace yang berdiri di antara keduanya memutuskan untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Sama seperti siswa lainnya. Terutama saat Alicia mulai meneteskan bulir-bulir air dari matanya yang redup. "Karena..." Alicia menarik napas dengan berat. Lalu menghelanya penuh sesak bersama kalimat, "Elena sudah meninggalkan kita semua." Jake tertawa getir. "Kau bercanda, hm?" Kini Ace paham dengan situasi di depannya. Kedua teman Elena langsung berteriak histeris dan menangis sejadi-jadinya di depan tubuh Elena setelah mendengar pernyataan Alicia. Sementara Carl, si penjaga counter hanya menundukkan kepalanya sedih. Dan Brittany, perlahan beringsut maju untuk mengusap punggung Alicia;menguatkannya. "Maafkan aku, Jake," . . . "Karena tidak berhasil menyelamatkannya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD